3 Mitos KDRT

sumbergambar zarafaris.com
sumbergambar zarafaris.com

Oleh: Zara Faris

Dalam video klip singkat pada tautan berikut ini, https://youtu.be/u3PgH86OyEM sepasang laki-laki dan perempuan (diperankan oleh aktor) sedang berjalan melalui sebuah taman di London dan mulai berdebat. Dalam skenario pertama, perdebatan menjadi semakin intens, hingga si laki-laki mulai menganiaya si perempuan. Hampir bersamaan, pengamat sekitar mulai mengintervensi, dengan tegas mereka mengancam akan memanggil polisi. Dalam skenario kedua, perdebatan kembali memanas. Tapi, kali ini, si perempuan-lah yang menganiaya si laki-laki, bahkan  menyerang kepalanya dan mendorongnya ke tiang. Kali ini, para pengamat sekitar- yah, mereka hanya menonton saja, bahkan menertawakan apa yang mereka lihat.

Video ini menggarisbawahi standar ganda di tengah masyarakat terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sangat mengkhawatirkan. Ketika perempuan menjadi korban, mereka wajib dibantu; sementara laki-laki, ketika menjadi korban – yah, mereka tak pernah benar-benar menjadi korban, bukan?

Hubungan antara laki-laki dan perempuan selayaknya diatur atas dasar keadilan dan persetujuan yang bersifat timbal-balik. Tak seorang manusia pun seharusnya dianiaya atau dipermalukan oleh pasangannya, apapun gendernya. Kekerasan dalam rumah tangga sejatinya merupakan pengalaman yang merendahkan, menyakitkan, dan traumatis–dan ini terjadi pada laki-laki juga. Gerakan keadilan apapun yang benar-benar mencari solusi bagi pemulihan para korban KDRT, serta berupaya mencegah penyakit sosial ini, perlu mengakui bahwa KDRT bukan merupakan problem berbasis gender (gender-based problem), sehingga tidak memerlukan solusi yang berbasis gender pula (gender-based solution), seperti misalnya feminisme. Mengapa? Berikut ini adalah beberapa penangkal mitos penting yang menjelaskannya.

 Mitos 1: “KDRT merupakan hal yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan”

Persoalan KDRT hampir sebagian besar dimonopoli oleh lembaga-lembaga hak asasi perempuan dan feminis, maka korban hampir selalu diasumsikan sebagai perempuan.

Realita: Pada tahun 2012, laki-laki yang sudah menikah lebih banyak menderita kekerasan oleh pasangannya sendiri, daripada perempuan yang sudah menikah (Sumber: British Crime Survey).

Realita: Setidaknya 40% dari para korban KDRT sebenarnya adalah laki-laki (Sumber: Office for National Statistics).

Realita: di Amerika Serikat, sebuah studi awal menemukan bahwa dalam 70% kasus hubungan yang penuh dengan kekerasan sepihak (non-reciprocally violent relationships), perempuan adalah pelaku kejahatannya (Sumber: American Journal of Public Health).

Meski begitu, menyitir realita bahwa penyerangan oleh perempuan hampir sama banyaknya dengan yang dilakukan oleh laki-laki (bahkan kadang lebih banyak) sering ditanggapi dengan kemarahan yang berlebih oleh berbagai pihak masyarakat, termasuk para feminis. Hal ini seolah bahwa mengakui kemalangan korban laki-laki sama artinya dengan meniadakan atau merendahkan kemalangan yang dialami para korban perempuan.

Mengesampingkan sejenak pasangan heteroseksual dan menilik KDRT pada pasangan sesama jenis, sekali lagi kita menemukan realita yang mengherankan: di antara pasangan homoseksual, lesbian mengalami lebih banyak KDRT daripada para laki-laki gay!

Menurut penemuan Centers for Disease Control (sic: Centers for Disease Control and Prevention, CDC, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit- ed.) [1], 44% lesbian telah mengalami kekerasan seksual oleh seorang pasangannya (lebih dari dua-pertiganya, atau sekitar 29%, hanya oleh perempuan), dibandingkan dengan 35% perempuan normal dan 26% laki-laki gay, atau 29% laki-laki normal.

Kita bisa menyimpulkan bahwa para feminis serta pihak-pihak lain yang membela mitos tersebut, memiliki andil dalam mencerminkan laki-laki selalu sebagai agresor atau penyerang, dan perempuan selalu sebagai korban dalam rangka untuk melanjutkan bias terhadap laki-laki yang menghasilkan simpati, kebebasan, dan pembelaan bagi perempuan, serta menghapuskan toleransi bagi laki-laki.

Mitos 2: “Perempuan tidak bisa menyakiti laki-laki”

Beberapa orang menyatakan bahwa para pengamat di dalam video menertawakan kesusahan si laki-laki karena toh secara fisik ia lebih kuat, sehingga si perempuan tidak bisa benar-benar menyakitinya, dan dia (si laki-laki) memiliki kekuatan untuk membela dirinya sendiri terhadap si perempuan.

Realita: perempuan bisa sama menyakitkannya seperti halnya laki-laki. Sementara laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih besar daripada perempuan, para penyerang perempuan sangat mampu mengakibatkan kecelakaan fisik kepada laki-laki (terutama dengan penggunaan alat tertentu), serta memiliki kekuatan hukum dan psikologis untuk membungkam mereka setelahnya.

ManKind Initiative melaporkan kasus-kasus di mana laki-laki “telah dibuat terkapar dengan batangan-batangan besi, mendapatkan pecahan kaca dalam makanan mereka dan diserang dengan pisau. (Laki-laki) lainnya telah ditikam, dipukul di bagian muka dan diancam dengan kapak.” Parity, sebuah organisasi, merinci bahwa, dari sampel sejumlah korban laki-laki, “lebih dari setengahnya telah pernah diancam menggunakan senjata dan sebagian besar melaporkan berbagai bentuk cedera serius (sebagai hasilnya – ed.). Sepertiganya telah pernah ditendang pada alat kelaminnya, dan yang lainnya terbakar atau tersiram air panas, tertikam, atau terpukul oleh benda-benda berat.” Sehingga, perempuan pun dapat menyakiti laki-laki.

Bukan hanya itu saja, namun korban laki-laki lebih cenderung untuk tidak melaporkan apa yang terjadi pada mereka dibandingkan perempuan. Ketika mereka melakukannya, mereka ditanggapi dengan prasangka oleh kalangan luas atau diskriminasi oleh pihak-pihak yang berwenang, bahkan oleh pengadilan. Sedikit tindakan yang dilakukan polisi terhadap para penyerang perempuan, kecuali para laki-laki menunjukkan cedera yang berarti dan jelas terlihat.

Parity melanjutkan bahwa “tiadanya toleransi dan kebijakan-kebijakan pro-penangkapan nampak diarahkan lebih banyak terhadap laki-laki dan menawarkan sedikit perlindungan terhadap korban laki-laki yang sesungguhnya dan anak-anak mereka. […] Seorang korban laki-laki lebih dari dua kali berpotensi untuk ditahan daripada seorang penyerang perempuan ketika polisi menanggapi sebuah panggilan darurat.” Sekitar satu per lima korban KDRT laki-laki sendiri ditahan.

Jadi, tidak saja perempuan dapat menyakiti laki-laki, namun mereka dapat mengakitbatkan korban mereka ditahan ketika polisi datang–hanya karena ia seorang laki-laki.

Mitos 3: ““Kesetaraan Gender” akan menghasilkan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan”

Gerakan-gerakan seperti feminisme yang menyokong “kesetaraan gender” berjuang untuk menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan memiliki “kewenangan” (“entitlements”) yang sama dengan laki-laki, menempatkan mereka pada “lahan yang sejajar”.

Realita: dalam kebangkitan feminisme, dan dalam usaha untuk menjadi “sama” dengan laki-laki, berbagai pola yang ada menunjukkan bahwa perempuan menjadi semakin garang. Dilaporkan dalam  The Independent, kejahatan kekerasan oleh perempuan (female violent crime) pernah meningkat 12% hanya dalam jangka waktu 5 tahun – ini empat kali lebih cepat daripada peningkatan di kalangan pria. Pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan wanita melakukan kekerasan, perampokan, pembunuhan serta kejahatan terkait narkoba (drug-related crimes), juga telah meningkat 250% sejak 1973. Selepas itu turut dilaporkan bahwa hingga tahun 2011, statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang didakwa melakukan KDRT meningkat empat kali lebih banyak dalam enam tahun terakhir, mulai dari 806 menjelang 2004-2005 hingga 3,494 orang pada 2009-2010.

Gerakan-gerakan sejenis feminisme yang menyokong “kesetaraan gender” berjuang untuk menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan memiliki “kewenangan” yang sama dengan laki-laki – tapi mereka tidak selalu berjuang untuk menyamakan tanggung jawab yang mendasari kewenangan-kewenangan tersebut.

Ketika perempuan hanya berjuang untuk mendapatkan semua “kewenangan” yang menurut mereka dimiliki oleh pria, tanpa tanggung jawab yang menyertainya, pada akhirnya mereka melakukan ketidakadilan yang sama dengan yang mereka tuduhkan telah dilakukan oleh para pria, karena ujungnya hanyalah sebuah tindakan melucuti kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri (a wielding of power for its own sake).

Dalam Islam, seorang perempuan berhak untuk dicukupi kebutuhannya–tetapi secara sebanding ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya, dan bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan membesarkan anak-anak mereka. Sebaliknya, seorang suami berwenang untuk menjadi “kepala” rumah tangga–tetapi ia bertanggung jawab atas kesehatan, serta tindakan istri dan anak-anaknya. Sehingga, dalam masyarakat Muslim saat ini, di mana “kewenangan” diperturutkan tanpa implementasi tugas-tugas yang mengikat, berbagai bentuk ketidakadilan seperti KDRT pun terjadi.

Dalam masyarakat Barat, dimana baik laki-laki maupun perempuan cenderung tidak memegang keputusan atau perjanjian atas nilai-nilai apa yang menjadi acuan hidup, rasa frustrasi dan kekacauan anarkis antara mereka tidak dapat dihindari. Perempuan bisa menghabiskan berabad-abad demi “kesetaraan” dengan laki-laki, tetapi mereka tidak pernah mempertanyakan apakah berbagai kewenangan yang dimiliki laki-laki sebenarnya mewakili nilai-nilai yang benar atau tidak.

Sehingga, bukan “kesetaraan gender” yang akan menghasilkan harmonisasi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat manapun – melainkan pemahaman yang jelas dan persetujuan antara sepasang laki-laki dan perempuan mengenai apa yang mereka kehendaki dari sesama, serta peralihan terhadap sistem hukum yang tidak menyangsikan atau mencemooh kemalangan pihak manapun ketika ekspektasi-ekspektasi tersebut tidak terpenuhi.

 

Catatan kaki:

[1] LIhat: http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/cdc_nisvs_ipv_report_2013_v17_single_a.pdf table 3.4 and 3.5, and http://www.cdc.gov/ViolencePrevention/pdf/NISVS_SOfindings.pdf at p.27

Diterjemahkan dari tulisan Zara Faris: 3 Myths on Domestic Abuse oleh Lisana Shidqina

 

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

1 COMMENT

  1. Dalam hukum positif di Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk menggugat kekerasan yang dilakukan pasangannya. Bagaimana dalam hukum Islam, apakah seorang istri berhak menggugat suaminya atas kekerasan yang dilakukan suaminya tersebut ?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.