Labelisasi itu Bernama Domestikasi

 Oleh: Sarah L. Mantovani S.H., M.P.I[1]

Kala banyak negara di dunia sedang sibuk dengan wabah virus baru yang berasal dari Cina bernama Corona, sejumlah perempuan pada awal Maret lalu sibuk meributkan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, bahkan menjadi salah satu tuntutan dalam perayaan hari perempuan sedunia yang dilaksanakan di Jakarta.

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menilai RUU Ketahanan Keluarga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sementara itu menurut aktivis perempuan yang juga pendukung hak-hak LGBT, Tunggal Pawestri berpendapat bahwa RUU tersebut memunculkan stigma bahwa perempuan, khususnya para Tenaga Kerja Wanita, tak becus mengurus rumah tangga (hukumonline.com, 04/03/2020).

Belum lagi, justifikasi-justifikasi lain yang mereka kemukakan selama ini terkait perempuan diharuskan mengurus anak dan suami, kemudian berbagai pekerjaan domestik yang selalu diidentikkan dengan kasur, sumur dan dapur membuat perempuan terdiskriminasi.

Dalam RUU Ketahanan Keluarga, Pasal 25 ayat 3 adalah pasal yang paling mendapat banyak sorotan karena berisikan kewajiban yang harus dilaksanakan para istri, yaitu mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, kemudian memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami sesuai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundang-undangan.

Satu-satunya pasal inilah yang akhirnya menuai labelisasi bernama “domestifikasi” dari berbagai kalangan, khususnya Ombudsman. Domestifikasi dianggap merendahkan oleh mereka yang mengaku sebagai aktivis perempuan. Benarkah demikian?.

Domestikasi

Labelisasi bernama domestifikasi sesungguhnya tidak pernah dikenal dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia, khususnya sebelum Indonesia merdeka hingga orde lama. Pada saat itu pun istilah-istilah yang dikenal ialah vrouwen emancipation, suffragettes dan kemadjoean perempoean.

Organisasi Feminis, Istri Sedar, yang terpengaruh organisasi Feminis Sosialis Woman, Social and Political Union (WSPU) di Inggris, dalam koran-korannya bernama Sedar pada tahun 1930-an juga tidak pernah melabeli domestifikasi pada perempuan yang mengasuh anak dan mengurus rumah tangga.

Begitu pula jika mengetikkan kata ini dalam KBBI 2018 sebagai rujukan, jawabannya hanya entri tidak ditemukan. Lain halnya jika mengetikkan kata domestikasi, maka akan muncul yang artinya penjinakkan hewan, hewan yang dirumahkan.

Berbeda halnya dengan kamus merriam webster, domestication atau domestikasi salah satunya diterjemahkan sebagai proses adaptasi seseorang ke dalam kehidupan rumah tangga (domestic life). Kata ini, masih menurut merriam webster, digunakan pertama kali pada tahun 1718.

Merujuk pada KBBI dan merriam webster maka domestikasi dapat dipahami sebagai perempuan yang dirumahkan atau perannya hanya dipersempit pada ranah domestik saja dan tidak punya atau tidak diakui peran publiknya sama sekali.

Domestikasi dalam literatur Barat salah satunya pernah digaungkan oleh mantan Konsultan PBB, Barbara Rogers dalam bukunya the Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies yang diterbitkan Routledge pada tahun 1980 di London.

Kritik yang tajam, diungkapkan Barbara dalam bukunya ini. Diantaranya domestikasi perempuan yang dilakukan lembaga dan program pembangunan internasional, kemudian cara pandang masyarakat Barat dalam menggambarkan perempuan sebagai masyarakat primitif, sampai dominasi laki-laki dalam perencanaan pembangunan sehingga membuat perempuan terdiskriminasi.

Bagaimana dengan perempuan dalam Islam? Perempuan dalam Islam punya kewajiban sama seperti laki-laki, yaitu melaksanakan ibadah, beramar ma’ruf nahyi munkar dan mendakwahkan Islam kepada mereka yang belum memahami. Ajaran Islam pun tidak pernah merendahkan para perempuan yang lebih banyak mengambil peran domestik karena itu tugas yang berpahala dan mulia sekali.

Malah jika suami itu punya kemampuan ekonomi yang lebih, menurut ustadz Ahmad Sarwat Lc., M.A. dalam bukunya Istri Bukan Pembantu, maka ia harus menyediakan khadimah atau pembantu untuk istri yang bertugas membantu segala pekerjaan rumah tangga, namun jika suami belum mampu maka suami berkewajiban pula untuk membantu istrinya.

Walau demikian, perempuan dalam Islam bukan berarti tidak punya peran publik sama sekali. Tersebutlah dalam sejarah, nama-nama Ilmuwan Muslimah diantaranya Syifa’ bint Abdullah Al Quraisyiyah, Guru menulis dan membaca para Shahabiyah termasuk Ummul Mukminin Aisyah, kemudian ada Pustakawan di Negeri Andalus, Lubna Al-Qurthubiyah hingga Ahli Matematika asal Baghdad, Sutayta Al-Mahmali (muslimheritage.com).

Peran mereka dalam ranah publik tidak membuat mereka lupa diri, mereka sangat menjaga batasan-batasan yang telah Allah tetapkan, berhati-hati dan interaksi yang tidak perlu dengan lawan jenis pun mereka hindari, termasuk tidak mengajari kaum laki-laki tanpa adanya hijab sama sekali.

Sayangnya, para perempuan Barat sendiri yang telah membuat stigma domestikasi merupakan bagian dari diskriminasi perempuan. Tentu saja, stigma ini tak terlepas dari trauma perempuan Barat pada perlakuan masyarakat Barat yang sungguh menindas dan merendahkan.

Tidak hanya itu, perempuan yang memilih profesi sebagai ibu rumah tangga dinilai menunjukkan ketidakberdayaan dan oleh karenanya harus diberdayakan dengan diberikan pekerjaan yang membuat perempuan wajib ikut andil dalam pembangunan.

Sehingga tidak heran jika penolakan-penolakan yang diserukan sejumlah perempuan terhadap RUU Ketahanan Keluarga, melihat RUU ini sebagai ancaman, pelemahan dan memperpanjang diskriminasi hak-hak perempuan. Mereka hanya memikirkan perempuan sebagai individu yang harus dipenuhi haknya, bukan sebagai bagian dari makhluk sosial yang berkeluarga.

Keseimbangan

Jika seorang perempuan yang berstatus sebagai ibu dan istri keluar rumah bekerja sama seperti yang dilakukan suaminya dan lebih mementingkan pekerjaan daripada mengurus rumah tangga, apakah akan terjadi keseimbangan dalam keluarga? Apakah akan menghasilkan anak-anak yang bertakwa, beradab serta sehat mental dan fisiknya?.

Menurut data Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) menempati posisi paling pertama sebanyak 504 kasus.

Kemudian posisi kedua ada 325 kasus keluarga dan pengasuhan alternatif atau anak yang orangtuanya bercerai, setelahnya 255 kasus pornografi dan cyber crime. Total ada 1885 kasus pada semester pertama 2018. (detik.com, 23/07/2018).

Pola asuh orangtua dan ketidakseimbangan dalam keluarga menjadi salah satu penyebab yang paling disoroti dari kenakalan anak dan remaja. Faktor terbesar ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara tetangga seperti Australia.

Australian Institute of Family Studies menyebut pada tahun 2016 ada 61 persen orangtua yang keduanya bekerja (aifs.gov.au). Bahkan di tahun yang sama, satu dari tiga orang tua melaporkan konflik antara pekerjaan dan peran keluarga mereka, di sisi lain mereka juga sulit menyeimbangkan keduanya, demikian menurut penelitian Judith Lumley Center di Universitas La Trobe. (theage.com.au)

Akibatnya, Australia harus menghadapi youth disengagement yang dialami anak-anak dan dewasa muda berusia 12-25 tahun. Ketika faktor keluarga menjadi dampak paling besar untuk mereka, maka mereka yang termasuk youth disengagement ini bisa membuat masalah dalam pendidikan dan kehidupan sosialnya.

Oleh karenanya sangat penting bagi orangtua menciptakan keseimbangan dalam keluarga dan tidak hanya mementingkan karir semata, terutama sekali peran perempuan sebagai ibu karena ia adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya.

Meski perempuan punya kewajiban mengurus rumah tangga pun, saling membantu secara lahir maupun batin antara suami dan istri sangat perlu sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24 ayat 2 RUU Ketahanan Keluarga. Jika pasal ini diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga, maka labelisasi bernama domestikasi hanyalah delusi belaka.

Dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 19 Maret 2020

 

[1] Penulis merupakan Aktivis Yayasan Peduli Sahabat dan seorang Ibu Rumah Tangga

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.