LGBT dan RUU KKG

LGBT dan RUU KKG
oleh: Rita Soebagio, M.Si.
Peneliti INSISTS, Sekjen AILA (Aliansi Cinta Keluarga)

Pada 2006, di Yogyakarta, berkumpullah sejumlah aktivis HAM internasional. Mereka kemudian merumuskan apa yang dikenal sebagai “The Yogyakarta Principles: a universal guide to human rights”.   Piagam ini memperjuangkan penghapusan seluruh bentuk diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender. (All human rights are universal, interdependent, indivisible and interrelated. Sexual orientation and gender identity are integral to every person’s dignity and humanity and must not be the basis for discrimination or abuse). (http://www.yogyakartaprinciples.org/principles_en.htm).

Tampak jelas, selama ini, usaha penyetaraan gender sering terkait dengan usaha legalisasi LGBT (Lesbian Gay Biseksual and Transgender). David A.J. Richard menegaskan: “homosexual love as a variation on theme of the gender equality” (Women, Gays, and the Constitution: The Grounds for Feminism and Gay Rights, David A.J Richard, University of Chicago Press, 1998:291)

Biasanya, sejumlah aktivis  gender di Indonesia menolak jika agenda mereka dikaitkan dengan agenda legalisasi LGBT. Padahal dalam Draft RUU KKG/Timja/24/Agustus/2011,   “semangat” Keseteraan Gender sangat terasa membawa ”agenda”  yang mendukung legalisasi kelompok homoseksual. Misal, pasal 12.a menyebutkan: “Dalam perkawinan, setiap orang berhak    memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas”.  Pakar hukum Dr Neng Djubaedah, menganjurkan,  pasal ini harus jelas siapa suami dan siapa istri;  harus jelas lelaki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Bisa saja istri adalah Lelaki dan suami juga Lelaki. (Majalah Gontor, Edisi 12 tahun IX April 2012, hal 22).

Dalam draft RUU KKG Tahun 2014 pasal yang dapat menjadi celah upaya  melegalkan pernikahan sesama jenis telah mengalami perbaikan dengan menambahkan kalimat “perlindungan untuk memilih suami atau istri yang berbeda jenis kelamin” (Draft RUU KKG September 2014, pasal 11a). Namun demikian para pembela legalisasi LGBT  tetap berusaha mencari celah melalui perundangan. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Maria Mustika, seorang aktivis pembela hak LGBT dalam Kajian terkait RUU KKG di Universitas Brawijaya Malang Jumat 12 Mei 2012, seperti dikutip oleh laman Komunitas Kajian Gender Malang (www.kojigema.or.id). Maria mengajak peserta kajian agar dapat melihat celah dan nilai universal dalam RUU ini yang dapat digunakan bagi advokasi hak-hak LGBT. Misalnya dengan mempertanyakan apa saja yang termasuk dalam kekerasan berbasis gender (KBG) sehingga jika ada kasus pemukulan waria karena orientasi seksnya bisa dianggap sebagai KBG.

Draft RUU KKG 2014 juga mengalami perubahan yang cukup signifikan terutama dengan dimasukannya asas Agama dan Budaya dalam penyelenggaraan KKG. Namun demikian hal ini tidak berarti persoalan menjadi selesai. Disamping secara ideologis dan filosofis konsep Gender mengandung sejumlah persoalan, dalam RUU KKG juga masih banyak persoalan yang harus dijelaskan penggagas dan pendukungnya. Misalnya, terminologi diskriminasi gender dikatakan sebagai “segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, pemanfaatan atau penggunaan hak asasi manusia yang didasarkan atas jenis kelamin”. Pertanyaannya, apakah penolakan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap kelompok LGBT karena tidak sesuai dengan Asas Agama dan Budaya Indonesia  masih dapat dimasukan ke dalam bentuk diskriminasi gender ?

Terkait dengan Diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia, laporan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani pembangunan (UNDP) seperti dikutip situs www.bbc.co.uk pada tanggal 14 Agustus 2014, menyebutkan bahwa  perundang-undangan nasional Indonesia umumnya tidak mengenali atau mendukung hak-hak kaum LGBT. Bahkan, tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang spesifik yang berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender (SOGI). Berdasarkan kondisi itu, Dede Utomo, aktivis LGBT, menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.”Pemerintah Indonesia harus mengakui keberadaan LGBT yang juga adalah warga negara Indonesia. Diskriminasi muncul karena tidak ada peran negara. Kemudian, undang-undang yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan kaum LGBT harus direvisi,” kata Dede.

Dengan dimasukannya asas agama dalam draft terakhir RUU KKG yang selama ini ditentang  para aktivis gender, bisa jadi perjuangan kaum LGBT di Indonesia akan lebih keras lagi. Mereka bukan saja tetap memperjuangkan RUU KKG dengan agenda LGBT terselubung, tapi dalam bentuk gerakan yang lebih nyata sebagai bagian dari SOGI Project. SOGI (Sexual Orientation and Gender Identity) Project adalah sebuah proyek International yang dilaksanan secara sistematis dalam mendukung hak-hak kelompok LGBT. Dengan mengerahkan semua dukungan baik dalam bentuk pendanaan melalui lembaga dunia seperti World Bank ( Dokumen PDF Gender and Sogi Safeguard, Spring Meeting 2014 IMF World Bank.). Mendorong hadirnya berbagai resolusi PBB seperti Resolusi Human Rights, Sexual Orientation and Gender Identity, (HRC/RES/17/19) di Afrika Selatan pada Juni 2011. Atau pun melahirkan resolusi regional namun strategis seperti lahirnya Jogja Principles pada tahun 2009 (www.arc-international.net). SOGI Project juga didukung dengan berbagai riset di berbagai bidang seperti Psikologi, Sosiologi dan Biologi.
Dukungan bidang Psikologi terhadap SOGI project telah memberikan sumbangan berarti bagi gerakan Normalisasi kelompok LGBT.  Bahkan perubahan mendasar di bidang Psikologi melalui pemakaian berbagai istilah gender menggantikan istilah sex adalah upaya tidak terpisahkan dari gerakan ini. Sex Identity atau identitas seksual yang menggambarkan jenis kelamin apa yang dimiliki seseorang apakah laki-laki atau perempuan adalah terminologi yang jarang dipakai di dunia Psikologi. Sexual Orientation and Gender Indentity (SOGI) adalah dua terminologi yang menggambarkan kepada siapa orientasi seksual seseorang diberikan serta identitas yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan gendernya apakah feminin atau maskulin. Janis S Bonan, menggambarkan “The Psychological of Sexual Orientations is a study of the process of coming to terms with life as a heteroseksual, biseksual, lesbian or gay person. (Psychology and Sexual Orientation: Coming to Terms, Janis S. Bohan, Psychological Press, 1996).
Faktanya, perjuangan legalisasi LGBT di Indonesia — baik melalui agenda meloloskan RUU KKG atau pun menjadi bagian dari SOGI Project – dilakukan dengan kerja keras, sungguh-sungguh, dan sistematis. Maka, tidak ada pilihan, bagi bangsa Indonesia, dan kaum Muslim khususnya, harus berjuang keras memberikan pemahaman dan penyadaran tentang hakikat LGBT dan paham Kesetaraan Gender yang telah terbukti membawa kerusakan bagi umat manusia. Apalagi, kaum beriman, pasti paham dan yakin benar, Allah SWT telah melaknat dan mengazab perilaku biadab dari kaum Luth. Semoga para petinggi pemerintah Indonesia yang mengaku berketuhanan Yang Maha Esa sadar dan mau peduli terhadap bahaya yang mengancam negeri Muslim ini. (***)

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.