Perempuan Indonesia Dijajah, Salah Siapa?

Oleh: Indah Febryyani*

Topik mainstreaming gender awalnya hanyalah isu transnasional saja. Namun 5–10 tahun belakangan ini menjadi sebuah wacana yang dipolitisasi untuk menjadi UU. Gaungnya semakin menjadi (ngawur) setelah beberapa serial Women’s March dilangsungkan. Kita bisa melihat betapa besar geliat kaum feminis serta kaum sekular-liberalis berbondong-bondong menciptakan RUU yang katanya ‘melindungi korban’ tetapi sayangnya mencoba menutupi fakta bahwa RUU tersebut tidak bisa diuniversalisasikan pada rakyat Indonesia. Terutama ketika pendukung kesetaraan beranggapan bahwa ketidakadilan yang dialami wanita berasal dari ketimpangan gender yang semakin jauh, berakar dari sistem patriarki.

Patriarki seakan ‘biang keladi’ yang sudah ada secara orisinil di Indonesia yang terus berlanjut hingga era modern sekarang. Tapi apakah benar bahwa patriarki yang menyebabkan perempuan Indonesia “terjajah”? Apakah benar bahwa sistem patriarki adalah sistem orisinil yang ada di masyarakat Nusantara?

Patriarki menurut Merriam-Webster dictionary,

1: social organization marked by the supremacy of the father in the clan or family, the legal dependence of wives and children, and the reckoning of descent and inheritance in the male line

Menurut definisi di atas dapat diringkas bahwa patriarki adalah penandaan supremasi laki-laki atau kaum ayah terhadap keluarga dan harta keturunannya. Menurut kaum feminis, patriarki menjadi penyebab rendahnya partisipasi para puan dalam ranah publik, hambatan terhadap akses pendidikan, sulitnya menapaki tangga karir, hingga beban ganda rumah tangga. Tentu semua pengkambinghitaman patriarki di atas dapat kita lacak lebih jauh dari bagaimana negara-negara di Barat memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua atau hanya sebagai objek. Celakanya, upaya menghancurkan patriarki tidak berhenti di negara Barat saja tetapi juga berlanjut ketika nilai-nilai liberalisme disuntikan kepada negara-negara Muslim, terutama negara Muslim bekas jajahan kolonialisme.

 Penjajahan dan Kemerdekaan Wanita

Sekarang mari mundur beberapa abad ke era kolonialisme. Apakah saat penjajah datang semua perempuan yang ada di Nusantara saat itu mengalami penindasan? Tidak!

Mengutip buku Peter Carey yang berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX yang ditulis bersama Vincent Houben, terdapat bukti bahwa kaum perempuan Jawa memiliki banyak peran penting. Buku tersebut menyebutkan sebelum meletusnya Perang Jawa (1825–1830), perempuan masuk ke berbagai peran baik politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial istana Jawa tengah selatan.

Menurut telaah Carey, priayi dan perempuan kelahiran keluarga kerjaan di Jawa Tengah selatan pada era akhir Perang Jawa telah menikmati kebebasan dan kesempatan hidup yang berlimpah dibandingkan dengan perempuan yang lahir pada akhir abad ke-19. Berbeda di Pulau Jawa, berbeda pula contoh di Sumatera. Kita bisa melihat bagaimana Kesultanan Pasai (sekarang Aceh) menempatkan perempuan dalam posisi terhormat dan akses yang luas terhadap partisipasi publik, tanpa embel-embel dipenjara oleh patriarki tentunya.

Ada catatan tentang Sultanah Nahrasyiyah yang memerintah Samudra Pasai selama 22 tahun (1406–1428 M). Ayahnya yang juga merupakan seorang sultan telah membimbingnya dengan baik sehingga ia menjadi wanita yang terlatih dan terdidik. Pengangkatan Nahrasyiyah sebagai seorang sultanah mendapatkan dukungan dari rakyat Samudra Pasai, khususnya para ulama. Dapat dilihat dalam sejarah Sultanah Nahrasyiyah absennya patriarki di budaya Kesultanan Pasai. Bahkan digambarkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan/ayah dan anak perempuannya/ratu dan masyarakatnya saling mendukung dan menopang. Tentu kondisi masyarakat ideal seperti inilah yang diimpikan cikal bakal aktivis feminis di Eropa. Sayang sekali, mereka terlambat 200 tahun untuk dapat mengecap manisnya komunitas masyarakat Islam dalam memperlakukan wanita.

Kemudian selanjutnya pada tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diperintah oleh raja perempuan, yakni Sultanah Safiatuddin. Ia adalah anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M) yang lahir dengan nama Putri Sri Alam pada 1612 M. Putri yang bergelar Sultanah Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641–1675 M) memberikan dampak politik yang signifikan terutama atas penempatan 16 wanita dari 73 kursi anggota Majelis Mahkamah Rakyat.

Penempatan 16 wanita tersebut tidak dilatarbelakangi politik kesetaraan gender seperti yang terjadi di era modern ini dimana pengusulan kuota legislatif perempuan terkesan “dipaksakan” menjadi 30% bahkan 50%! Padahal seyogyanya, penempatan kursi politik bukan karena seseorang tersebut perempuan atau bukan tetapi menyoroti pada kompetensi yang dimiliki tiap individu. Lagi-lagi, yang disalahkan adalah sistem patriarki. Salah patriarki sehingga perempuan modern sebelum tersentuh feminisme tidak bisa sekolah dan berperan dalam ranah publik. Salah patriarki bahwa wanita selalu terjajah.

Delusi Kemerdekaan

Esai-esai Katrin Bandel dalam bukunya yang berjudul Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial menekankan secara tegas pentingnya posisionalitas dalam dikursus gender terutama di negara bekas jajahan. Katanya, alih-alih memperjuangkan persamaan hak, individu yang mengkaji malah akan terjebak praktik pelanggengan hegemoni Barat, menganggap Eropa lebih unggul daripada negara jajahan sehingga negara dunia ketiga tersebut perlu “diselamatkan”. Meskipun Katrin adalah akademisi yang bergerak dalam kajian gender, tetapi poin yang diutarakannya cukup menarik tetapi juga kontradiktif, karena menekankan isu keperempuanan yang hadir di Indonesia adalah karya cipta kolonialisme, lalu melakukan infiltrasi “how their society works to their colony” sehingga menciptakan delusi berasaskan Western Supremacy yang masih terjadi hingga sekarang. Wong ketika aktivis feminis mencoba melempar diskursus mengenai upaya penyejahteraan perempuan, lagi-lagi kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori-teori feminisme. Bukankah ini sama saja dengan mengatakan bahwa perempuan Indonesia sekarang hanya merdeka fisiknya tetapi jiwa dan mentalnya masih terjajah?

Kenyataannya paham feminisme yang dianut pengusungnya di Indonesia masih terhegemoni oleh feminis Barat. Isu yang diangkat pun senantiasa berulang dari aktivis feminis Barat sehingga belum menghasilkan gagasan orisinil yang merepresentasikan Indonesia. Hal ini telah lama disoroti oleh Prof. Saparinah Sadli yang meragukan bahwasanya feminis Indonesia telah mengembangkan teori feminisme secara mandiri untuk menyelesaikan masalah keperempuanan di negaranya sendiri (Lihat: Saparinah Sadli, “Feminism in Indonesia in an International Context”, dalam Women in Indonesia: Gender, Equity, and Development, (ed) Kathryn Robinson dan Sharon Bessell, 2002: hlm 80).

Bagaimana bisa feminis mengobati problem (kemerdekaan) perempuan Indonesia bila khazanah berpikir untuk memecahkan masalah tersebut saja masih membeo dari Barat? Inilah mengapa feminisme menjadi paham yang rapuh dan tidak bisa bersanding dengan Islam.

Penjajahan Terselubung

Belum lagi persoalan orientalis Barat yang berteriak meminta agar negara dunia ketiga meratifikasi bebagai macam kebijakan terkait ketimpangan gender, padahal masyarakat mereka saja belum paham bagaimana menyelenggarakan dunia yang adil bagi perempuan. Mereka lupa berkaca pada “peradaban” milik sendiri. Mereka juga terkesan khilaf bahwa karena kolonialisme pula, perempuan di Indonesia di framing seolah tertindas oleh patriarki. Mereka yang berbuat, tetapi yang disalahkan untuk berbenah malah negara jajahanya. Solusi yang ditawarkan juga datangnya dari mereka yang berujung omong kosong belaka.

Salah satu fakta menggelikan yang ditemukan dalam kegiatan bedah buku Joseph Massad — Islam in Liberalism terkait cara-cara liberal masuk ke negara Islam adalah dengan Developmental Action atau ‘misi pemberadaban’Dalam buku itu disebutkan bagaimana perwakilan Inggris di Mesir, Lord Cromer, memanfaatkan wacana emansipasi wanita sebagai justifikasi perlunya kehadiran Inggris di Mesir. Lord Cromer mempropagandakan bahwa tanpa kehadiran Inggris, tatanan sosial masyarakat Mesir akan selalu menindas perempuan. Sayangnya, pengembangan peradaban yang dimaksud kaum liberal bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru. Salah satu contoh bahwa liberal hanya memberikan pengembangan palsu kepada negara dunia ketiga adalah ratifikasi CEDAW. Seberapa banyak yang mengetahui negara mana yang BELUM meratifikasi CEDAW ke dalam UU mereka?

Seven member-states of the United Nations have yet to ratify it: Iran, Nauru, Palau, Somalia, Sudan, Tonga — and the United States. This makes the US the only industrialized democracy in the world that has not ratified CEDAW.

Adalah Amerika Serikat. Negara yang gencar melakukan liberalisasi ke negara kita, negara yang mengeluarkan CEDAW tetapi sampai sekarang belum juga meratifikasinya! Bukankah ini terlalu janggal? Ketika Indonesia begitu bersemangat melawan “penjajahan” perempuan dan melepaskan diri dari “kekerasan seksual”, negara yang memproklamirkan CEDAW sendiri justru belum terusik untuk meratifikasinya! Hebat bukan semangat kaum feminis Indonesia?

Ketika kita sudah sadar bahwa Barat yang menebar racun, kenapa pula kita harus mengikuti gerakan mereka menghapus “patriarki”? Semua itu tidak perlu terjadi karena “obat” yang mereka tawarkan akhirnya adalah produk sekuler dan liberalisme. Turunannya ya paham bertajuk feminisme.

Paham-paham rusak tersebut yang berusaha memisahkan otoritas agama untuk mengatur hidup manusia dan pembebasan hak manusia tanpa batas. Dengan demikian, bukankah yang diper-Tuhankan adalah justru manusia yang menghasilkan kerusakan itu sendiri?

Pendakuan Feminisme as the only one Problem Solver

Tapi di akhir zaman ini, fakta sejarah akan sangat mudah dicomot secara asal bagi pemangku kepentingan, termasuk politik feminisme. Meskipun negara Islam sudah memiliki catatan sejarah perempuan merdeka tanpa kungkungan sistem patriarki, tentu feminisme punya akal untuk melanggengkan pahamnya. Sebut saja perempuan merdeka sebelum adanya feminisme tersebut merepresentasikan semangat mereka. Mudah bukan? Istilah kerennya adalah proto-feminist.

Edward DuBois memaparkan definisi proto-feminisme sebagai berikut,

“an ancient or early author/thinker who, despite cultural and societal beliefs to the contrary, promoted or endorsed beliefs dealing with the equality of women to men in key aspects regarding social status and function.”

Tentunya definisi proto-feminisme menuai kritik di ranah konseptual. Hal tersebut seakan memaksakan kepercayaan modern kepada orang-orang yang tidak merasa berada di lingkup istilah-istilah tersebut, dan memang beberapa proto-feminis memiliki pandangan yang sangat tidak sejalan seperti apa yang disuarakan aktivis feminisme. Contohnya sosok Fatimah al Fihri dan Aisyah radhiyallahu anha yang diklaim sebagai tokoh proto-feminisme padahal jelas pandangan hidup beliau semua bertentangan dengan semangat feminisme. Tentu saja bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep proto-feminisme adalah hasil kegagalan Barat berafiliasi dan mencari jejak penindasan perempuan yang tidak pernah ada terutama dalam peradaban Islam.

Ironi, ketika sebuah semangat menghapus patriarki yang berakar dari budaya ‘berperadaban’ Western countries dipaksakan menjadi universal values terhadap negara-negara yang justru menjunjung martabat wanita, seperti yang dapat kita contoh pada era Kekhilafahan. Sebenarnya bukan masalah pengimporan paham feminisme yang perlu kita kritisi, tapi lebih jauh adalah bagaimana sebenarnya sebuah paham “lokal” hasil protes masyarakat di bagian negara tertentu yang tidak mengecap indahnya penghormatan wanita dalam tatanan sosial harus pura-pura hadir sebagai obat penindasan perempuan. Padahal feminisme dan semua wacana turunannya bukanlah obat yang bisa dicerna oleh negara Muslim.

Harusnya sekarang kita bisa lebih banyak berkaca dari segi sejarah maupun keagungan Islam dan syariat tentang bagaimana Islam menjaga wanita di posisi yang bermartabat. Seharusnya para muslimah feminis bisa lebih teliti melihat permasalahan perempuan abad ini bukanlah berasal dari sistem patriarki yang orisinil buatan Indonesia. Tetapi perlu dipahami bahwa kolonialisme lah yang menjadi biang kerok perubahan tatanan masyarakat kita mengikuti socio-culutural ala Barat. Maka, bila kita paham bahwa fenomena “perempuan tertindas” masa kini adalah efek dari kolonialisme, kita harus cerdas menolak feminisme yang diproklamirkan sebagai problem-solver tools.

Islam sudah memberikan kita “tools” tersendiri baik dalam cara berpikir hingga bermasyarakat tentang bagaimana memperlakukan wanita secara mulia tanpa tapi. Sebagai Muslim/Muslimah seharusnya kita bangga untuk memiliki pijakan berpikir yang mandiri tanpa mengusung feminisme atau menghancurkan patriarki sebagai alat meraih kesejahteraan.

Masyarakat Islam tidak mengenal patriarki sebagaimana patriarki tidak pernah tercermin dalam syariat Islam.

*Penulis merupakan Alumni KOFI (Kuliah Online Feminisme & Islam) dan anggota komunitas Calami VeritatisThe Center for Gender Studies.

 

Daftar Pustaka

Amnesty USA. A Fact Sheet on CEDAW: Treaty for the Rights of Women (https://www.amnestyusa.org/files/pdfs/cedaw_fact_sheet.pdf diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 17:29)

Dinar Dewi Kania, dkk. 2018. Delusi Kesetaraan Gender: Tinjauan Kritis Konsep Gender. Jakarta: Yayasan Aila Indonesia.

Henri Shalahuddin. 2020. Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta: INSISTS.

Iswara N Raditya. Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah (https://tirto.id/ketika-serambi-mekkah-diperintah-para-sultanah-cqkW diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 15:37)

Joseph Massad. 2015. Islam in Liberalism. USA: University of Chicago Press

Lisa Baldez. Why Hasn’t the US Ratified the UN Women’s Rights Convention? APSA 2011 Annual Meeting Paper (https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1900265 diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 16:21)

Saparinah Sadli. 2002. Feminism in Indonesia in an International Context, dalam Women in Indonesia: Gender, Equity, and Development, (ed) Kathryn Robinson dan Sharon Bessell. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Sarah Mantovani, Sejarah Partisipasi Politik Perempuan Indonesia Bagian I, (https://thisisgender.com/sejarah-partisipasi-politik-perempuan-indonesia-bagian-i/ diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 15:29)

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.