Ummu Sulaim dan Mahar Ke-Islamannya

Oleh: Prapta Nugraha Ardiatma*

Ummu Sulaim, sahabat perempuan Rasulullah Shalallahu ‘alai wa sallam, memiliki kisah menarik di balik kesuksesannya menelorkan keturunan yang shalih dan shalihah. Kesembilan cucunya menjadi huffadz (para penghafal al-Qur’an). Ketika menikah ia hanya meminta mahar “keislaman”. Tidak hanya itu, kesabarannya ta’at pada suami, dipuji oleh Nabi. Sehinngga baginda Nabi pernah mendoakan agar keturunannya diberkahi Allah.

Ummu Sulaim telah memeluk Islam  ketika Abu Thalhah, salah seorang pemuka Madinah yang saat itu masih musyrik, melamarnya. Perempuan yang memiliki nama asli Rumaisha binti Milhan, adalah seorang janda dari  pernikahannya di masa jahiliah dengan Malik bin Nadhar. Dari hasil pernikahannya dengan suami yang pertama ini, Ummu Sulaim memiliki anak yang patut dibanggakan bernama Anas bin Malik r.a – salah satu sahabat kenamaan yang banyak sekali meriwayatkan hadis.

Ketika dilamar Abu Thalhah, Ummu Sulaim menawarkan mahar cukup unik. Yakni keislaman Abu Thalhah. Seperti diketahui, Abu Thalhah saat itu belum memeluk Islam. Oleh sebab itu, Ummu Sulaim cukup meminta Abu Thalhah masuk Islam sebagai maharnya. Ummu Sulaim, “Wahai Abu Thalhah, Demi Allah tidak ada wanita yang akan menolak lamaran orang sepertimu. Tetapi aku seorang wanita muslimah dan engkau seorang yang kafir, karenanya aku tidak dibenarkan menikah denganmu. Jika engkau mau, masuklah kamu ke dalam agama Islam, itulah mahar yang kuminta, dan aku tidak akan meminta mahar yang lainnya lagi!”.

Abu Thalhah menyetujui permintaan Ummu Sulaim untuk memeluk Islam. Abu Thalhah akhirnya memberikan mahar ke-Islamannya kepada Ummu Sulaim. Anas bin Malik r.a – anak dari pernikahannya yang pertama sepakat dengan mahar tersebut.  Kemudian Ummu Sulaim berkata, “Hai Anas, nikahkanlah ibumu ini dengan Abu Thalhah”.

Mendengar kabar berita pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah tersebut, seorang sahabat bernama Tsabit berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang perempuan yang mahar pernikahannya lebih utama daripada maharnya Ummu Sulaim”.

Dari pernikahannya dengan Abu Thalhah, lahirlah seorang anak bernama Abu Umair. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sering bercanda dengan Abu Umair ketika berkunjung ke rumah Abu Thalhah.

Suatu ketika, Abu Umair menderita sakit yang cukup parah. Pada saat yang sama, Abu Thalhah sedang bepergian keluar dalam waktu yang agak lama. Tiba-tiba, tidak lama setelah itu anaknya, Abu Umair,  meninggal dunia. Ummu Sulaim dalam kondisi dilema. Sebab, suaminya tercinta berpesan agar selama bepergian, Ummu Sulaim tidak keluar rumah sampai sang suami datang. Padahal ketika anaknya meninggal ia perlu ke luar rumah untuk memberi khabar ke sanak saudaranya bahwa anaknya meninggal dunia. Tapi Ummu Sulaim memegang janji dengan suaminya, yakni tidak keluar rumah sampai sang suami pulang. Lantas, Ummu Sulaim mengurus sendiri jenazah anaknya. Ia memandikan dan mengkafaninya serta membaringkannya di tempat tidur.

Hari itu Abu Thalhah sedang berpuasa sunnah, sebagaimana biasanya Ummu Sulaim pun menyiapkan makanan bagi suaminya untuk berbuka. Ia juga berhias dan memakai wangi-wangian untuk menyambut suaminya. Malam harinya, saat Abu Thalhah pulang, ia berbuka dengan makanan yang disiapkan istrinya. Ia bertanya tentang keadaan anaknya yang sakit, dan Ummu Sulaim menjawab, “Alhamdulillah, dia dalam keadaan yang baik-baik saja. Engkau tidak perlu memikirkan keadaannya lagi.”

Tentu, maksudnya adalah menenangkan suaminya tanpa ia harus mendustainya. Karena sudah meninggal, jelas saja tidak perlu dipikirkan lagi. Umu Sulai tidak berbohong,  anaknya yang telah meninggal dunia itu memang telah dalam keadaan baik-baik di sisi Allah, tidak sakit lagi. Ummu Sulaim berusaha agar sang suami tetap tenang karena baru saja bepergian. Abu Thalhah akhirnya menjadi tenang, ia meneruskan makannya. Malam itu ia juga menggauli istrinya, kemudian tertidur.

Ketika bangun pagi harinya, Ummu Sulaim yang sudah bangun terlebih berusaha memberi khabar. Ummu Sulaim berpikir sang suami telah hilang lelahnya dan kondisinya tenang. Ia lalu bertanya, “Wahai suamiku, seandainya seseorang diberi suatu amanah, kemudian pemiliknya mengambilnya kembali, haruskan ia mengembalikannya kembali?”

“Tentu,” Kata Abu Thalhah, “Dia harus mengembalikannya, ia tidak punya hak untuk menyimpannya!”
Mulailah Ummu Sulaim menjelaskan keadaan anaknya, “Suamiku, Allah telah mengamanatkan Abu Umair kepada kita, namun kini Dia telah memanggilnya kembali kemarin.”

Mendengar penuturan ini Abu Thalhah jadi sedih, bahkan sedikit marah. Ia menyesali kenapa Ummu Sulaim tidak memberitahukannya semalam. Ia menemui Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam dan mengadukan apa yang dilakukan istrinya. Ternyata Rasulullah memuji kesabaran dan apa yang dilakukan Ummu Sulaim tersebut, beliau juga mendoakan, “Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberkati hubunganmu tadi malam dengan istrimu.”

Doa ini menjadi kenyataan. Dari hubungannya itu Ummu Sulaim melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah. Dan lama berselang setelah Nabi Shalallahu alai wassalam wafat, Abdullah mempunyai sembilan anak yang semuanya hafal al-Qur’an (hafidz).

Pantas saja Rasulullah mengapresiasi kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim. Ia teladan istri yang shalihah. Ia menikah dengan Abu Thalhah dengan niat dakwah. Tidak ada niat yang lainnya. Buktinya ia cukup meminta mahar Abu Thalhak masuk Islam. Ketika menjadi istri Abu Thalhah pun ia tidak arogan karena sang suami seorang muallaf. Justru ia memberi teladan bagaimana menjadi istri yang baik. Berkat kebaikannya ini ia dikaruniai cucu penghafal al-Qur’an dan semuanya jadi ulama’. Mahar keislamannya, berbuah ‘emas’.

Selain itu, ia juga wanita pemberani, pembela Nabi di medan pertempuran. Walaupun seorang wanita, Ummu Sulaim juga terlibat dalam beberapa pertempuran. Dalam perang Uhud, bersama Ummu Mukminin Aisyah r.a, ia mengisi tempat-tempat air dan memberikan pada para mujahid yang memerlukannya. Ia juga merawat mereka yang sakit dan terluka dalam pertempuran itu.

Dalam Perang Hunain, ketika itu ia sedang mengandung anaknya, Abdullah bin Abu Thalhah, tidak menghalanginya untuk ikut berjuang. Ia berdiri di dekat kemah Nabi Saw sambil memegang tombak. Ketika Nabi Saw menanyakan tentang tombaknya, ia berkata, “Jika ada orang kafir yang akan mendekatimu, aku akan melemparkan tombak ini ke perutnya.”

Referensi : Kitab Sirah Nabawiyah, al-Rahiq al-Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury

*Penulis adalah mahasiswa Politeknik POS Indonesia, Bandung dan aktivis LDK Commitment Politeknik Pos Indonesia.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

1 COMMENT

  1. ya ALLAH dahsyatnya performa Ibunda Ummu Sulaim, Ibunda Sang Tsiqoh Anas, Ibunda Abu Umair yg dekat dgn Sang CintaMu, Ibunda Huffaadz, Ibunda kami ini…

    Sungguh mengingatkan kami dgn Bunda Khadijah ra dgn kalimat meyakinkan akan nilai pesona dirinya ““Wahai Abu Thalhah, Demi Allah tidak ada wanita yang akan menolak lamaran orang sepertimu. Tetapi aku seorang wanita muslimah dan engkau seorang yang kafir, karenanya aku tidak dibenarkan menikah denganmu. Jika engkau mau, masuklah kamu ke dalam agama Islam, itulah mahar yang kuminta, dan aku tidak akan meminta mahar yang lainnya lagi!”.

    ‘ajiibnya pengendalian emosi Bunda, fantastisnya persembahanan Bunda “malam itu” untuk sang suami yg menghasilkan generasi penghafal mu’jizat abadi…

    dan anggunnya keberanian Bunda di medan tempur yg kemudian hari menghadirkan Bunda Keumalahayati di tanah rencong

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.