Wanita dalam Islam

wanita dalam islam
ilustrasi

Oleh:  Beggy Rizkiyansyah

Sungguh mengherankan apa yang terjadi saat ini. Begitu banyak pendapat orang yang menyatakan bahwa Islam harus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Ajaran Islam tidak lagi sesuai dengan masa kini. Dan salah satu ajaran dan pandangan yang harus disesuaikan adalah pandangan Islam adalah tentang wanita. Jika kita ditanya kenapa Islam menindas wanita? Bukankah Islam tidak memandang sama pria dan wanita? Wanita disuruh diam dirumah, pria yang menjadi penguasa? Sesaat kemudian lidah kita terasa kelu.  Bukan karena kita tahu mereka benar, malah hati kita mengatakan sebaliknya, tapi karena kita tahu harus menjawab apa?

Sikap tidak berdaya ini yang lama-lama membuat kita akhirnya membenarkan pendapat tadi. Tidak berdaya karena tidak tahu apa-apa. Terkadang malah tidak mau tahu apa-apa tentang Islam.  Akhirnya jadilah kita termasuk orang-orang yang meyakini Islam tidak menghargai wanita, Islam menindas wanita. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan derasnya kemajuan zaman. Tapi Sungguh ironis jika dibandingkan dengan perkembangan Islam di Eropa. Islam berkembang begitu pesat. Begitu banyak orang  Eropa memeluk Islam. Dan makin kaget ketika mengetahui yang paling banyak memeluknya justru wanita. Seperti yang terjadi di Inggris.(1). Kenapa bisa begitu? Padahal selama ini kita selalu berkiblat pada peradaban Barat. Melihat mereka sebagai contoh yang tepat untuk memperlakukan wanita. Tetapi kenapa sebaliknya? Kenapa para wanita Eropa tersebut malah memeluk Islam? Agama yang selama ini dikatakan mengekang, menindas dan tidak menghargai wanita? Oleh karena itu mari kita coba menoleh sebentar, mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai wanita.

Melihat pandangan sebuah agama mengenai sesuatu lebih tepat jika kita melihat apa yang diajarkan, bukan apa yang dikerjakan pemeluknya. Karena melihat dari pemeluk suatu agama bukan berarti mereka sudah menjalankannya dengan benar. Lantas bagaimana Islam memandang wanita? Apakah Islam menghargai wanita? Kedudukan  pria dan wanita dihadapan Allah adalah sama. Hanya ketaqwaanlah yang dinilai oleh Allah. Hal ini dapat kita lihat sebagaimana di surat At Taubah,

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS At taubah : 71-72)

Kedua ayat inilah yang menegaskan samanya kedudukan pria dan wanita di hadapan Allah. Tidaklah wanita itu lebih rendah kedudukannya daripada pria. Malah, ketika kita melihat bagaimana Al Quran mengisahkan  bagaimana Nabi Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi akibat kekhilafan mereka, bukanlah Hawa yang disalahkan. (2) Dalam Al Quran, dikatakan dengan jelas bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh syaitan. Sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Dan dijelaskan pula keduanya yang diperdaya oleh syaitan dan mereka berdua pula yang harus bertanggung jawab atas kesalahan mereka. (3) Malah jika ditelisik lagi, maka diantara mereka berdua Nabi Adamlah yang harus bertanggung jawab, karena beliau lalai akan janjinya pada Allah. Bukan Hawa. (4)

Jelaslah bahwa dalam Islam pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. Dalam Al Quran dijelaskan pria dan wanita itu pada hakekatnya adalah satu.

 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-nisa : 1)

Bila kita renungkan ayat ini, walaupun manusia itu terdiri dari pria dan wanita, pada dasarnya mereka adalah manusia juga. Dan darinya Allah menciptakan pria dan wanita sebagai jodohnya. Sehingga yang satu membutuhkan yang lain.  Hingga tak salah jika Allah mengumpamakan pria dan wanita itu ibarat pakaian.

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QsAl Baqarah : 187)

Sungguh indah perumpamaan yang Allah buat. Pria dan wanita yang diciptakan untuk saling melengkapi dan menutupi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling melengkapi dan dalam ketaqwaan kepada Allah dan memelihara hubungan antar sesama manusia dengan kasih sayang.

Dalam sejarahnya, wanita pada zaman sebelum Al quran turun, tidaklah lebih berharga daripada barang. Yang bisa dimiliki, bisa diperlakukan seenaknya. Dan kedudukan wanita pun sangat rendah. Saat itu jika seseorang memiliki bayi perempuan yang baru lahir, maka buat mereka itu adalah aib. Tak sedikit anak perempuan yang lahir itu dikubur hidup-hidup. Perempuan dewasa pun nasibnya tidak lebih baik. Seorang wanita bisa di pergilirkan oleh beberapa pria.(5) Bayangkan bagaimana perasaan kaum wanita ketika Islam datang. Mereka memperoleh harga dirinya kembali. Didudukkan sejajar dengan pria. Maka tak heran, orang-orang pertama yang memeluk Islam sebagian dari kalangan wanita. Terlebih pengakuan terhadap wanita diabadikan dalam Alquran. Terdapat surat Maryam yang menggambarkan kesucian seorang wanita yang shaleh. Surat An Naml, yang mengisahkan seorang Ratu Bilqis dengan kekuasaan yang besar namun tunduk kepada Allah. Bahkan terdapat satu surat yang memakai nama kaum wanita, yaitu surat An Nisa. Dapatkah kita temukan penghargaan ini pada kitab suci agama lain?

Jelas sudah bagaimana kedudukan wanita dalam Islam. Ditempatkan dalam kedudukan sejajar dengan pria. Memiliki kewajiban yang sama dihadapan Allah untuk berbuat kebaikan dan menolak kejahatan, dan kewajiban ibadah yang sama. Namun dalam menjalankan kewajiban tersebut Islam mengakomodasi keistimewaan pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan oleh Allah dengan kondisi fisik, emosi dan psikologis yang berbeda. Pria diciptakan dengan kondisi fisik yang lebih kuat, dan lebih berpikir mengutamakan logika. Hal ini untuk mengakomodir tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi keluarganya. Sedangkan wanita diciptakan dengan kondisi fisik yang tak sekuat pria, namun dengan hati yang sangat lembut dan lebih penyayang. Naluri ini membentuk naluri keibuan yang menjadi ciri istimewa seorang wanita. Kombinasi ketegasan pria dan kelembutan serta sifat penyayang wanita menjadi suatu sifat yang saling melengkapi. Sebuah rumah tangga yang terdiri dari dua sifat utama tadi akan menjadi rumah tangga yang sempurna dan lengkap. Yang pria dituntut untuk bekerja keras mencari kebutuhan keluarga, memimpin dan melindungi mereka. Yang wanita dituntut memelihara, membina mendidik anak di rumah tangganya yang menguras tenaga. Keduanya sama-sama berkorban.  Inilah yang diminta oleh Islam.

 Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…(Qs. An-nisa : 34)

Islam telah menempatkan pria menjadi pemimpin bagi wanita. Bukan karena wanita lebih rendah kedudukannya, namun karena Allah memberi kelebihan tertentu kepada pria. Kelebihan fisik, kelebihan ketegasan namun juga diberi tanggung jawab yang lebih berat.  Secara naluriah pun pria dibentuk menjadi pemimpin. Ketika ada sekelompok orang tidak saling mengenal, terjebak dalam sebuah kapal yang karam, maka prialah yang mendahulukan wanita untuk selamat. Ketika ada rumah yang kemasukan perampok, maka anak laki-lakilah yang melindungi anggota keluarga yang lain. Ini bukan akbiat konstruk sosial seperti yang didengungkan para feminis. Pria harus bergerak ketika ada kejadian tadi karena memang dilebihkan oleh Allah, namun kelebihan itu pula harus mereka pertanggung jawabkan.

Begitu pula dalam rumah tangga. Pria menjadi pemimpin atas keluarganya, atas diri, anak dan istrinya. Sementara istri menjadi pemimpin atas rumah suaminya beserta istrinya.

 Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Hadis Shahih riwayat Bukhari no. 4789)

Ketika Islam menempatkan pria sebagai pemimpin keluarga dan wanita sebagai pemelihara rumah tangga maka bukanlah berarti Islam merendahkan wanita. Melihat pria sebagai pemimpin keluarga (rumah tangga) jangan dilihat sebagai ketentuan Islam untuk melebihkan pria. Inilah yang banyak disalahpahami. Sering dianggap pemimpin rumah tangga itu sebagai kemewahan atau disamakan dengan jabatan. Kita harus melihat hal ini dari kacamata Islam. Kacamata yang menimbangkan dunia dan akhirat. Menjadi pemimpin berarti harus  berpikir keras memberikan keputusan yang terbaik bagi keluarganya. Harus mencarikan penghidupan yang terbaik yang halal dan mengarahkan bahtera keluarganya. Dan yang terpenting, bertanggung jawab atas keluarganya, tidak hanya di dunia, namun terlebih di akhirat nanti. Dan memikul beban dan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah nanti sungguh sangat berat. Itulah yang  sering luput dari pihak yang masih salah memahaminya.

Begitu pula dengan peran wanita sebagai pemelihara rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga bukan “pekerjaan” yang hina. Malah sebaliknya, sangat mulia dan tidak ternilai. Bayangkan, para ibu bekerja tanpa batasan waktu. Tanpa digaji. Namun buah yang mereka hasilkan akhirnya luar biasa. Tak bisa dipungkiri peran didikan ibu pada tokoh-tokoh sukses. Para ibu rumah tangga bukan saja menghasilkan pribadi, namun menghasilkan sebuah generasi yang luar biasa. Inilah pokok dari Islam. Islam tidak hanya berbicara mengenai membentuk pribadi yang bermanfaat, namun lebih dari itu menciptakan sebuah generasi, masyarakat yang bermanfaat. Dan untuk membentuk masyarakat yang bermanfaat dibutuhkan peran dari ibu-ibu rumah tangga yang luar biasa. Ibu rumah tangga ibarat tiang dalam sebuah rumah. Peran ini menuntut totalitas dari seorang ibu rumah tangga. Dan apabila seorang ibu rumah tangga membentuk anak-anak yang bermanfaat, bukankah ibu tersebut turut menerima ganjaran (pahala) yang diperoleh dari kebaikan yang dilakukan anak-anaknya? Inilah yang luput dari sebagian kita, ketika Islam memerintahkan sesuatu maka kita hanya mempertimbangkan aspek duniawinya saja, padahal ada aspek lebih penting, yaitu kebaikan yang diperoleh di akhirat

Keterangan diatas menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap wanita. Namun kesalahpahaman kerap kali terjadi ketika menemui beberapa tuntunan Islam yang berhubungan dengan memperlakukan wanita. Diantaranya yang kerap menjadi pertanyaan mengapa pembagian waris untuk wanita lebih sedikit daripada pria? Apakah ini semacam diskriminasi? Dan mengapa suami diizinkan memukul istri? Bukankah ini sejenis kekerasan dalam rumah tangga? Sebaiknya ketika membahas hal-hal seperti ini yang utama adalah melihat secara menyeluruh pandangan Islam terhadap wanita. Tidak melihatnya sebagian-sebagian. Termasuk ketika membicarakan hak waris bagi wanita.Hal itu dasarkan kepada ketentuan Allah dalam surat An Nisa,

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (QS An Nisa : 11)

Ayat ini memberikan ketentuan-kententuan waris secara umum dalam Islam. Ketika melihat ketentuan ini, baiknya kita kembali kepada konsep Islam mengenai pria dan wanita. Pria dituntut menjadi pencari nafkah dan pemberi mahar ketika menikah. Maka semua kebutuhan rumah tangga dibebankan kepadanya. Sedangkan wanita dalam hal ini menjadi tanggungan suaminya. Maka yang adil adalah bukan memberikan secara rata. Namun membagi sesuai porsinya.Bahkan jika ditelisik lebih lanjut ada kondisi-kondisi khusus dalam Islam yang menentukan bagian perempuan sama bahkan lebih besar daripada laki-laki. (6)

Tuntunan Islam lain sering disalahpahami adalah boleh suami untuk memukul istri. Ayat ini dituduh sebagai ayat pengesah KDRT. “Kewenangan” itu muncul dari sebuah ayat pada surat An nisa ayat 34

 “…..Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An Nisa : 34)

Sebenrnya ayat ini tidak bermula dari hal nusyuz saja. Awal ayat ini berbicara mengenai hak dan kewajiban pria, lalu membicarakan mengenai wanita (istri) yang shalehah.Lalu kemudia berbicara mengenai istri yang durhaka (Nusyuz). Nusyuz sendiri dapat diartikan tidak mau menuruti perintah suaminya (dalam hal ini menjalankan tanggung jawab berumah tangga). (7)

Dalam hidup ini, tak bisa kita pungkiri, sebagaimana pria,ada pula wanita yang keras kepala. Sebagaimana pria, ada juga wanita yang tak tahu diri. Ayat ini menjadi panduan bagi suami bagaimana mengajari istrinya yang tak mau menuruti tadi. Ada tiga tahapan yang harus di ikuti, yaitu; mengajari mereka, lalu memisahkan mereka pada tempat tidur; baru kemudian memukul mereka. Tiga tahap ini justru menjadi rambu-rambu bagi pria untuk tidak berbuat seenaknya dalam membimbing. Wanita umumnya berperasaan halus, diajari baik-baik langsung mengerti. Berikutnya ada juga yang akhirnya sadar setelah dipisah tidurnya. Tetapi yang berikutnya, jika yang dua tadi sudah dilakukan, dan belum menerima juga, maka baru ada yang mengerti jika sudah dipukul. Sependapatkah kita jika disebut, selain wanita yang terpelajar, yang mudah diajak bicara baik-baik, ada juga wanita yang kurang wawasan, tidak bisa diajak berdiskusi, keras kepala? Bahwa yang diatur Islam itu seluruh macam manusia dengan berbagai tabiatnya? Kadang-kadang, ada wanita yang khilaf dia adalah seorang istri yang juga memiliki kewajiban. Kewajibannya tidak dijalankannya. Maka justru pria (suami) yang baik ialah justru yang masih mau menyadarkan istrinya.

Dibolehkannya memukul dalam Islam ini, hendaknya kita lihat sebagai suatu tuntunan, bukan penindasan. Ibarat undang-undang, maka memukul termasuk undang-undang yang paling berat hukumannya. Dan memukul istri dalam Islam pun ada aturannya. Memukul tidak boleh sampai melukai. Memukul juga tidak boleh diwajah dan kepala. Tidak boleh menimbulkan bekas. Tidak boleh dipukul satu tempat yang sama. (8) Lantas jika sudah begini, memukul macam apalagi yang akan dilakukan? Sejujurnya  sulit sekali untuk memukul tanpa meninggalkan bekas dan melukai. Saat kita akan memukul, jika tidak boleh melukai dan meninggalkan bekas, pasti secara tak sadar yang dilayangkan adalah pukulan yang tak bertenaga.  Terbayang oleh kita memukul seperti ini semacam memukul untuk mendidik anak-anak kita. Pukulan yang ditimbulkan oleh rasa sayang untuk mendidik.  Terkadang anak-anak pun kita sentil atau ‘pukul’ hanya untuk mengingatkan. Jika sudah seperti ini apakah kita masih berpendapat Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dalam rumah tangga? Padahal Nabi Muhammad SAW sudah berpesan,

“Kenapa salah seorang dari kalian memukul isterinya sebagaimana memukul kudanya atau budaknya, semoga saja ia dapat memeluk isterinya…” (Hadis Shahih Bukhari No. 5582)

 “Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya, seperti ia memukul seorang budak, namun saat hari memasuki waktu senja ia pun menggaulinya.” (Hadis Shahih riwayat Bukhari no. 4805)

Tidaklah seorang suami yang baik membiasakan memukul istrinya, memperlakukan istrinya dengan tidak baik, padahal Rasulullah SAW tidak pernah memukul wanita  seumur hidupnya (9), artinya tidaklah pernah sampai  beliau menggunakan ‘hak memukul’ tersebut untuk mendidik istri-istrinya. Malah beliau berpesan untuk memperlakukan istrinya dengan baik,

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.” (Hadis riwayat Sunan Tirmidzi No. 1082)

Banyak hal lain yang mungkin belum kita pahami perihal tuntunan Islam mengenai wanita. Namun hal itu dapat kita pelajari satu persatu. Kunci memahaminya adalah, apapun ketentuan Allah itu pasti baik, dan kita harus memulainya dengan berbaik sangka  kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW, bahwa Islam tidak akan mendiskriminasikan wanita. Dan dalam melihat hal yang ada haruslah melihat secara menyeluruh memakai kacamata Islam (Islamic worldview), dan dalam Islam aspeknya tidak hanya pertimbangan ganjaran dunia namun juga akhirat. Allah memandang sejajar pria dan wanita, menciptakannya dengan kondisi emosional dan psikologis yang berbeda-beda dengan keunggulan masing-masing,  namun memiliki hak dan kewajiban yang berbeda untuk saling melengkapi. Sejak awal pandangan Islam justru memuliakan wanita, berbeda dengan kondisi di Eropa. Bahkan hingga masa pencerahan revolusi Perancis, hak kewarganegaraan Perancis pasca Revolusi Perancis 1789, ditenggarai gagal memberikan status yang sah terhadap perempuan. Sehingga tahun 1791, Olympe de Gouges, mempublikasikan Declaration of The Rights of Women and of the (Female) Citizen, yang mendeklarasikan wanita tidak hanya sejajar dengan pria namun juga partner bagi mereka.(9) Islam bahkan mendengarkan suara-suara kaum wanita. Bukan hal aneh Rasulullah menerima berbagai pertanyaan dan pengaduan dari kaum wanita. (10) Suatu hak yang tidak didapat kaum wanita di Amerika hingga 1832, saat wanita masih belum diakui memberikan suaranya.(11) Islam juga mengakui kepemilikan harta milik wanita, bahkan ketika mereka sudah menikah sejak 1400 tahun yang lalu. Suatu hak yang tidak didapatkan wanita di Inggris hingga 200 tahun yang lalu. (12) Hak lain yang didapat wanita diantaranya adalah hak untuk menyetujui calon suami pilihannya, baik ketika masih gadis ataupun janda. (13) Akses terhadap ilmu adalah akses yang diberikan kepada wanita sejak 1400 tahun yang lalu. Kaum wanita terbiasa untuk mendiskusikan berbagai masalah kepada istri Rasulullah SAW, Aisyah RA. Bahkan Aisyah dikenal dalam tradisi keilmuan Islam sebagai salah satu periwayat hadis. Sehingga Islama memberikan ganjaran surga bagi penuntut ilmu, pria ataupun wanita.(14) Lantas dari kenyataan-kenyataan tadi masihkah kita menggugat Islam sebagai agama yang mendiskriminasikan wanita? Jika memang Islam mendiskriminasikan wanita, tentu Rasulullah tidak akan menyuruh kita berbakti pada Ibu (yang tentunya seorang wanita) tiga kali melebihi ayah (yang pasti seorang pria),

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dia menjawab: “Kemudian ayahmu.” (Hadis Shahi hriwayat Bukhari no.5514)

Wallahualam.

 

1.Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan oleh Universitas Swansea, jumlah orang Inggris yang masuk Islam telah meningkat dari enam ribu orang pada tahun 2001, menjadi sekitar sepuluh ribu orang pada tahun 2010. Dan 62% dari mereka adalah perempuan.(http://hidayatullah.com/read/20761/20/01/2012/jumlah-muallaf-di-inggris-meningkat.html)

2. Bandingkan dengan Kitab Kejadian 3:6 dan Kejadian 3:12.

3.  Lihat surat Al Baqarah ayat 36 dan Al A’raf ayat 20. Keduanya diperdayakan oleh syetan. Keduanya, artinya sama-sama bersalah dan bertanggung jawab.

4. “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS Thaha :115)

5. Perhatikan Hadis Shahih Bukhari No. 4732

6. Henri Salahuddin, MA, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam : Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia. Vol. III, No. 5. 2010

7. Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam.  Jakarta. Pustaka Panjimas. 1984

8. Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam.  Jakarta. Pustaka Panjimas. 1984

9. “Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya pelayan beliau atau pun seorang wanita pun, kecuali saat berjihad di jalan Allah, …” Hadis Shahih Muslim no. 4296)

10. Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam.  Jakarta. Pustaka Panjimas. 1984

11. Henri Salahuddin, MA, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam : Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia. Vol. III, No. 5. 2010

12. idem

13.  “Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.” (Hadis Shahih Bukhari No. 4741)

14. Banyak sekali hadis yang berbicara keutamaan menuntut ilmu. Bahkan mewajibkannya. Salah satunya adalah :

“Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadis riwayat Imam Abu Daud No. 3157)

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.