Home Mozaik Kewajiban Orang Tua Menuntut Ilmu

Kewajiban Orang Tua Menuntut Ilmu

0

Oleh :Dr. Wendi Zarman

 

Orang tua yang baik adalah mereka yang peduli dengan pendidikan anaknya. Mereka senantiasa mengingatkan anaknya untuk serius dalam menuntut ilmu, baik di dalam pengertian formal maupun nonformal. Kalau anaknya terlihat malas atau kurang bersemangat, mereka tidak jemu-jemu mengingatkan, kalau perlu dengan paksaan bahkan pemberian sanksi. Demi pendidikan terbaik bagi anaknya, mereka bersedia menyediakan biaya berapapun meski harus berutang ke sana ke mari. Pendeknya, semua upaya akanmereka lakukan agar anaknya bisa lebih baik daripada mereka sendiri.

Menyediakan pendidikan terbaik bagi anak sebagai kewajiban setiap orangtua mungkin bukan sesuatu yang asing bagi para orang tua zaman dulu dan sekarang. Namun, ada hal yang penting yang kini justru terlupakan, yaitu menyediakan pendidikan untuk dirinya sendiri. Padahal, al-Qur’an telah mengingatkan, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (At Tahrim : 6). Di situ jelas disebutkan bahwa yang dijaga dari api neraka bukan hanya keluarga, tetapi yang tidak kalah penting adalah diri sendiri. Artinya, orang tua seyogianya tidak hanya peduli dengan pendidikan bagi putra-putrinya, tetapi juga bagi dirinya sendiri.

Sayangnya, pada masakini keinginan untuk menuntut ilmu di kalangan orang tua semakin memudar disebabkan semakin sibuknya mereka dengan urusan keduniawian. Di kota-kota besar, dewasa ini sudah bukan hal aneh lagi bila seorang ayah yang menghabiskan waktunya dari pagi hingga malam hanya untuk urusan pekerjaan. Demikian juga, kaum ibu, baik golongan wanita karier atau ibu rumah tangga juga tidak kalah sibuk dengan aneka urusan. Banyak yang merasa bahwa urusan mereka sudah terlalu banyak sehingga mereka tidak punya waktu menuntut ilmu. Atau, mungkin banyak diantara mereka yang merasa jemu setelah puluhan tahun menuntut ilmu.

Padahal, Nabi SAW telah bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Dan, kewajiban itu bukan saja ketika kanak-kanak, melainkan sepanjang usia. Di dalam Islam, menuntut ilmu adalah pekerjaan seumur hidup, bahkan termasuk bagi mereka yang sudah sudah bertitel doktor dan profesor. Sebab, ilmu ibarat makanan dan minuman bagi jiwa. Sebagaimana tubuh yang melemah bahkan mati ketika tidak memperoleh makanan, demikian pula jiwa pun akan merana bahkan mati ketika tidak mendapat asupan ilmu.

Para ulama menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadits di atas bukanlah sembarang ilmu, melainkan ilmu agama. Mengapa ilmu agama? Sebab, ilmu agamalah yang dapat menghidupkan jiwa sehingga memberikan kebahahagiaan bagi pemiliknya. Seseorang boleh menjadi profesor dalam bidang hukum, sains, atau ekonomi, tapi bila tidak ada ilmu agama dia tidak akan sampai pada kebahagiaan hakiki karena kebaikan itu muncul karena pemahaman agama sebagaimana sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan bagi dirinya, Dia pahamkan baginya ilmu agama,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bila agama dipahami, insya Allah hidup seseorang akanselamat, baik dunia terutama lagi akhirat. Sebab, dia tahu ke mana tujuan hidupnya, yaitu menuju ridha Allah dan bukan menuju murka-Nya. Dengan memahami agamja, ‘gas’, ‘rem’, dan ‘alarm peringatan’ jiwa berfungsi baik sehingga langkah kakinya dijamin di atas jalan yang lurus. Kalaupun terperosok pada perbuatan dosa maka dosa itu tidak sampai menenggelamkannya karena ilmu agama menolongnya untuk cepat sadar dan segera bertaubat. Sebaliknya, jika ilmu agama tidak ada, logika hidup mungkin akan terjungkir balik. Boleh jadi yang salah akan dipandang benar sedangkan yang benar dituding salah. Bukan tidak mungkin yang tercela dibela sedangkan yang terpuji diingkari.

Memahami Fardhu ‘ain dan Fardhu Kifayah

Di dalam Islam kedudukan setiap ilmu itu tidaklah sama, tetapi bertingkat-tingkat. Ada ilmu yang bermanfaat, ada yang tidak tidak bermanfaat, dan ada juga yang mudharat, sebagaimana diisyaratkan oleh salah satu doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, “Ya Allah, aku memohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat.” Di dalam doa lainnya beliau mengajarkan, “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat…” Oleh karena itu, langkah pertama bagi setiap Muslim yang hendak mempelajari suatu ilmu adalah mengenali manfaat dari ilmu tersebut bagi dirinya.

Semua ilmu agama—ilmu yang dasarnya adalah wahyu Allah—pada dasarnya merupakan ilmu yang bermanfaat karena memang diturunkan untuk membimbing manusia. Idealnya, setiap Muslim diharapkan bisa mempelajari ilmu agama secara sempurna. Namun, usia manusia sangat terbatas sementara ilmu agama itu teramat luas sehingga tidak mungkin bagi setiap orang bisa mempelajarinya semuanya. Apalagi, tidak seluruh waktu bisa digunakan untuk belajar, mengingat manusia pun disibukkan dengan urusan-urusan lain.

Sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an (al-Baqarah : 286), Allah tidak membebani manusia dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya.

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

Maka dari itu, tidak semua ilmu agama perlu dipelajari, namun perlu ada prioritas. Itu sebabnya ulama sejak dulu menegaskan bahwa ilmu dilihat dari kewajiban untuk mempelajarinya terbagi dalam dua kelompok, yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu’ain adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap insan agar ia dapat menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah dan menjaganya agar tidak jatuh ke dalam dosa. Sifat dasar ilmu ini adalah diperlukan saat ini (segera) oleh karena itu dia mesti didahulukan. Misalnya, seorang yang sudah baligh wajib melaksanakan shalat lima waktu maka ilmu seputar shalat yang membuatnya dapat menjalankan kewajiban ini harus didahulukan ketimbang ilmu mengenai tata cara ibadah haji.

Adapun ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian orang dalam suatu kelompok masyarakat demi kemaslahatan mereka secara umum. Jika tidak, semua orang dalam masyarakat tersebut berdosa di hadapan Allah. Ilmu ini meliputi ilmu agama (berdasar wahyu) dan ilmu nonagama (berdasar pada penyelidikan manusia saja). Dalam hal ilmu agama, misalnya, di dalam suatu masyarakat tidak setiap orang harus menjadi pakar ilmu tafsir al-Qur’an, namun harus ada di antara mereka yang menguasainya agar dapat menjelaskan makna dari ayat-ayat al-Qur’an kepada masyarakat. Demikian jugadalam konteks ilmu nonagama, misalnya, harus ada yang menguasai ilmu kedokteran meski tidak setiap orang wajib menjadi dokter.

Ilmu Fardhu ‘ain untuk Orang Tua Masa Sekarang

Terkait kewajiban orang tua menuntut ilmu maka sekarang yang menjadi pertanyaan adalah ilmu fardhu ‘ain apa yang wajib dipelajari oleh orangtua masa sekarang? Perlu dipahami bahwa ilmu fardhu‘ain itu tidaklah tetap, tetapi terus berkembang sesuai dengan perkembangan individu dan keadaan lingkungan sekitar yang dialaminya. Sebab, keadaan dan yang berbeda melahirkan kewajiban yang berbeda pula. Dengan demikian, maka kewajiban menuntut ilmu fardhu ‘ain setiap orang akan berbeda-beda pula.

Meski demikian, kewajiban tersebut secara umum dapat kita sederhanakan menjadi lima perkara.Yang pertama adalah ilmu yang berkaitan dengan akidah atau keyakinan-keyakinan pokok seorang Muslim. Sebagaimana diketahui, akidah adalah pilar bagi kehidupan seorang Muslim sehingga penyimpangan akidah akan berakibat rusaknya seluruh amal bahkan dapat membuat seseorang menjadi kafir.  Itu sebabnya program dakwah pada tahun-tahun pertama kenabian Muhammad SAW dititikberatkan untuk membenahi masalah ini.

Perlu disadari bahwa tantangan akidah saat sekarang tidak sama dengan yang terjadi, katakanlah, 50 atau 100 tahun yang lalu. Jika pembahasan akidah pada masa lalu biasanya seputar rukun iman, tauhidullah, syahadatain, atau hal ihwal kemusyrikanmaka pada masa sekarang perlu diperluas berkenaan dengan kemunculan pemikiran sekuler dan liberal yang disebarluaskan oleh para orientalis Barat. Hal ini patut mendapat perhatian serius mengingat pemikiran ini sudah semakin banyak merasuki umat Islam dan berhasil menyimpangkan keyakinan banyak Muslim dari akidah yang benar, baik disadari maupun tidak.

Sebagai contoh, dulu hampir tidak ada umat Islam meragukan al-Qur’an sebagai wahyu Allah semata tanpa ada sedikitpun campur tangan pihak lain. Tapi, kini para orientalis Barat menyebarkan keraguan bahwa al-Qur’an bukanlah sepenuhnya kalamullah karena di dalamnya ada pemikiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu mereka juga menuduh bahwa kandungan al-Qur’an sudah tercemar oleh kepentingan politik suku Quraisy saat al-Qur’an dikumpulkan menjadi kitab yang utuh (Lihat M.M. al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an : dari Wahyu Sampai Kompilasinya, 2005).

Contoh lainnya adalah merebaknya penyebaran paham pluralisme agama yang sering disalahpahmi dengan sekadar masalah toleransi antara umat beragama. Padahal, pluralisme agama adalah paham yang memandang semua agama sama baik dan benarnya sehingga seseorang tidak berhak mengklaim agamanya sebagai satu-satunya kebenaran (truth claim) (Lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 2005). Tentu hal ini bertentangan dengan pernyataan al-Qur’an yang mengatakan bahwa agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. Yang lebih menyedihkan lagi adalah gagasan semacam ini tidak saja disebarluaskan oleh orientalis Barat tapi juga para intelektual Muslim sendiri. Oleh karena itu, persoalan ini perlu dibahas dalam kajian akidah.

Yang kedua adalah ilmu yang berkaitan dengan praktik ibadah, khususnya ibadah yang wajib. Misalnya, bersuci dan shalat. Ilmu seputar ibadah ini seringkali disepelekan karena telah rutin diamalkan suetiap hari selama bertahun-tahun. Karena sudah menjadi rutinitas harian, maka kebanyakan orang merasa sudah menguasai ilmunya dengan baik. Padahal, boleh jadi dalam pelaksanaan ibadah ini kita melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak disadari sehingga mempelajari ilmu ini kembali menjadi sangat penting untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan tersebut. Bayangkan, jika seseorang melakukan kekeliruan dalam ibadahnya selama bertahun-tahun, bahkan bila sampai dia wafat belum juga memperbaikinya, tentunya hal itu akan meringankankan timbangan amalnya di akhirat kelak. Selain itu pembahasan fikih ibadah berfungsi untuk menguatkan motivasi dan semakin menyempurnakan ibadah tersebut. Misalnya, melalui pembahasan mengenai keutamaan shalat jamaah diharapkan dapat menguatkan motivasi shalat berjamah.

Yang ketiga adalah ilmu yang terkait muamalah. Ini adalah ilmu yang berkaitan dengan interaksi antara seseorang dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Ilmu ini meliputi pembahasan mengenai akhlak-akhlak yang terpuji dan tercela secara umum, seperti jujur, menghormati orang tua dan guru, menunaikan amanah, menyebarkan salam, tolong menolong, dan lain sebagainya. Selain itu ilmu ini juga meliputi perkara-perkara yang terkait dengan peran dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang haruslah mengerti cara-cara berdagang yang diridhai oleh Islam, seperti menghindari riba, tidak berlebihan dalam menawarkan dagangannya, tidak mengurangi timbangan, dan lain sebagainya. Atau,seorang pejabat pemerintah haruslah mengetahui kewajiban serta akhlak seorang pemimpin seperti hukum Islam mengenai meminta jabatan, melakukan suap, berbohong kepada masyarakat, memamerkan kebaikan-kebaikannya untuk menarik simpati pemilih, dan lain sebagainya. Seorang yang telah menikah mesti mengetahui apa hak dan kewajiban suami atas istri serta kewajiban seputar pendidikan anak, dan seterusnya.

Yang keempat adalah ilmu seputar halal, haram, serta syubhat. Seorang Muslim sudah semestinya mengetahui apa status segala sesuatu yang dimakan, dipakai, atau diperbuatnya. Namun, di zaman modern seperti sekarang banyak sekali perkara-perkara baru sehingga sulit bagi seseorang mendeteksi apakah merupakan hal yang haram atau bukan. Dalam hal makanan misalnya, kebanyakan Muslim mafhum bahwa memakan daging babi atau miminum khamr merupakan perbuatan haram. Tapi, tidak banyak yang memahami bagaimana status hukum kue yang mengandung rum atau makanan di restoran-restoran asing yang belum mendapat sertifikasi halalatau obat kapsul yang disinyalir masih banyak yang menggunakan gelatin babi. Dalam hal keuangan dan perbankanbanyak umat Islam yang masih merasa nyaman dengan transaksi nonsyariah, padahal telah ada pilihan yang lebih baik (halal) meskipun masih terdapat sejumlah kekurangan. Semua ini karena kurangnya pengetahuan tentang halal, haram, dan syubhat.

Yang kelima, adalah ilmu yang terkait dengan amalan batin. Hal ini karena kebaikan di dalam Islam senantiasa memiliki dua dimensi yang tidak terpisahkan, yaitu dimensi lahiriah dan batiniah. Setiap kebaikan lahiriah belum dinilai sebagai kebaikan jika tidak diikuti oleh amalan batin yang baik juga. Karenanyaorangtua Muslim hendaknya mengetahui amalan-amalan batin yang baik, seperti ikhlas, ridha, tawakal, qana’ah, zuhud, khauf (takut), raja’ (harap), syukur, dan sabar, serta cara-cara untuk mengamalkannya. Selain itu ia juga harus mengetahui amalan-amalan batin yang buruk (penyakit hati) seperti syirik, ingkar, hasad, sombong, tamak, ujub, dan nifak, serta cara-cara mengatasinya jika penyakit itu menimpa dirinya. Tidak seperti penyakit jasmani yang mudah mendeteksinya, penyakit batin sering kali tidak dirasakan tanda-tandanya, kecuali oleh orang yang mengetahui karakteristik penyakit hati tersebut.

Apa yang penulis sampaikan sebenarnya tidak khusus bagi para orang tua saja, namun juga umat Islam pada umum. Tapi, kedudukan sebagai orangtua semakin menguatkan kewajiban tersebut sebab sebagaimana dinyatakan surat at-Tahrim di atas, ilmu yang dimiliki oleh seorang ayah atau ibu bukan saja untuk menyelamatkan dirinya pribadi, tetapi juga keluarga atau keturunannya sendiri. Wallahua’lam.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Exit mobile version