Penyelenggaraan malam puncak ajang Miss World yang rencananya akan di gelar di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor pada bulan September mendatang menuai banyak protes bahkan kecaman dari banyak organisasi masyarakat diberbagai wilayah di Indonesia, khususnya wilayah Jawa Barat sebagai salah satu tempat dimana ajang tersebut akan diselenggarakan.
Diantaranya, kecaman itu datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui pernyataan ketua VII MUI Bogor, Fahrudin Soekarno sebagaimana dikutip dari metrotvnews.com (12/4/2013). Fahrudin memandang ajang Miss World ini tidak sesuai dengan budaya dan karakteristik bangsa Indonesia karena dinilai acara ini cenderung memperlihatkan sisi pornoaksi dan pornografi. Sehingga beliau yang juga mejabat sebagai Ketua Keluarga Muslim Bogor ini menyatakan akan melakukan aksi besar-besaran jika sampai acara ini tetap digelar di Sentul.
Senada dengan pernyataan Fahrudin, Habib Muhsin Alatas Ketua Bidang Dakwah dan Lintas Agama DPP Front Pembela Islam (FPI) menyatakan penolakannya secara tegas atas rencana diselenggarakannya Miss World di Bogor. Baginya jika alasannya adalah untuk mempromosikan Jakarta dan Indonesia, itu kurang tepat, “kalau mempromosikan itu ya keberhasilan pembangunan, keberhasilan pemberantasan korupsi, bukan promosi mengumbar aurat wanita.” Jelasnya sebagaimana dilansir itoday.co.id (4/10/2012). Ia juga menambahkan, jika kontes ini dilangsungkan itu sama saja dengan melanggar konstitusi karena di era Soeharto dulu ada Keppres yang melarang pengiriman wanita mengikuti kontes kecantikan dunia, yang hingga sekarang Keppres itu belum dicabut.
Penolakan juga datang dari Yunahar Ilyas, ketua PP Muhammadiyah yang menganggap ajang ini sama saja dengan melombakan perempuan dengan penilaian sebatas kecantikan, kecerdasan atau bahkan bentuk tubuh. “Penolakan ini bukan soal bikini saja, tapi melombakan perempuan tidak pantas,” kata Yunahar pada republika.co.id (12/4/2013). Menurutnya, kontes seperti itu tidak pantas dilakukan di tengah masyarakat muslim dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Yang menarik, kecaman dan protes bukan hanya datang dari para tokoh muslim saja, Dr. Daoed Joesoef mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dikenal sebagai tokoh sekular, berdasarkan perbincangannya dengan hidayatullah.com via telepon (9/4/2013) ia mengaku konsisten menolak segala ajang ratu kecantikan sejak menjabat Mendikbud di era Presiden Soeharto. Hal ini didukung oleh tulisan dalam memoarnya yang berjudul Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (2006) yang berisi:
”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara.”
Islam sangat melarang kaum wanita untuk mengumbar aurat mereka, ini dinyatakan dengan jelas melalui beberapa ayat dalam Al-Qur’an (Q.S An-Nur: 30-31, QS. Al-Ahzab: 32-33, QS. Al-Ahzab: 59). Disamping itu Islam juga memerintahkan kaum lelaki untuk menjaga pandangan mereka, dalam Qur’an Surah An-Nur ayat 30-31 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Ayat ini pertama kali memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk “Ghaddu ‘l-Bashar” yang secara literal berarti menghindari pandangan. Perintah ini dimaksudkan untuk mengingatkan mereka agar selalu waspada terhadap zina mata. Meskipun dalam ayat ini pula kaum wanita tidak hanya diperintahkan untuk menjaga pandangan mereka melainkan juga menutup aurat demi menjaga kemaluan mereka serta tidak memperlihatkan perhiasan yang mereka kenakan. Menikmati kecantikan dan perhiasan wanita lain atau kaum laki-laki menjadi objek pandangan kaum wanita, bisa menimbulkan akibat-akibat negatif, sebab kenakalan dan tindakan tidak senonoh, biasanya dimulai dari pandangan. Oleh karenanya, pintu ini ditutup dengan Ghaddu ‘l-Bashar.
Beberapa tahun belakangan ini, kegiatan pornografi yang dengan mudah diakses melalui berbagai perangkat media mengakibatkan tingkat kriminalitas yang semakin tinggi. Tidak asing lagi telinga kita diperdengarkan dengan banyaknya kasus pemerkosaan yang dilakukan bukan saja kepada orang lain yang bukan mahramnya bahkan pada yang sesama mahram dan masih mempunyai hubungan darah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena merambahnya berbagai bentuk tayangan melalui media sosial maupun elektronik yang menampilkan aurat wanita maupun wacana-wacana yang mengarah pada pornografi dan memicu gairah untuk timbulnya pikiran maupun tindakan ke arah pornoaksi.
Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan berjudul “Al-Hijab dan Status Wanita Islam” (Bandung: Risalah. 1984, cet. ke-1) Abul ‘ala Maududi menulis: “terdapat perbedaan psikologis yang halus antara kaum wanita yang memandang kaum pria, dengan kaum pria memandang kaum wanita. Secara alami, kaum laki-laki lebih agresif jika terdapat sesuatu yang menarik hatinya, sehingga timbul dorongan untuk memperolehnya. Sebaliknya, jika kaum wanita tidak dirusak naluri kewanitaannya ia tidak akan bersifat agresif, berani dan tidak kenal takut ketika ia tertarik pada kaum laki-laki.”
Timbulnya berbagai macam kasus pemerkosaan yang menimpa kaum wanita adalah tidak lepas dari sebab dilanggarnya perintah Allah Ta`ala dalam ayat tersebut di atas. Yaitu dalam menahan pandangan terhadap yang diharamkan, dan wanita yang tidak menutup aurat bahkan memperlihatkannya di depan umum. Sehingga menimbulkan nafsu yang akibatnya mendatangkan berbagai macam tindakan yang dilakukan untuk memenuhinya. Dalam buku yang sama dikatakan Ibnu Jabir mengomentari ayat 31 surah an-Nur bahwa Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhum berkata: “Seorang wanita muslim dilarang memperagakan dirinya dan perhiasannya di depan kaum wanita-wanita kafir, lebih-lebih di depan kaum prianya” (Tafsir-Kabir: Komentar atas al-Qur’an, An-Nur: 31)
Menurut Abul ‘Ala Maududi, keinginan wanita bersolek, mengumbar aurat, berdandan, memakai perhiasan merupakan penjelmaan dari keinginan birahi yang mengharapkan pemenuhannya. Sebagaimana tidak bisa ditolaknya di balik gunung api yang tertutup oleh asap, selalu ada tenaga lava yang mencari lubang untuk menyemburkan isi dalamnya. Islam telah mensinyalir adanya kecenderungan seperti ini dan menghindari tumbuhnya kenakalan dan kejahatan.
Dalam konteks ini, memperbolehkan bahkan mendukung perhelatan Miss World dilakukan di negara ini bukan saja berarti membiarkan berlakunya apa yang menjadi larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi juga menghendaki segala akibat dan dampak yang akan terjadi. Ajang ratu kecantikan ini juga akan berdampak pada kaum wanita yang menyandarkan standar kecantikan atau kelebihan dengan standar yang ‘diakui’ dunia itu. Sehingga bukan tidak mungkin mereka berlomba-lomba berpenampilan layaknya sang ratu dunia yang untuk itu segala hal akan dilakukan bahkan dengan cara-cara yang akan mendzalimi dirinya sendiri seperti mengabiskan banyak uang untuk membeli kosmetik maupun perhiasan, diet yang berlebihan, minum obat pelangsing dan lain sebagainya yang bukan tidak mungkin berdampak pada kesehatan jiwa maupun fisik mereka. Masihkah hal ini dilihat membawa banyak manfaat dan dampak positif?
Oleh: Sakinah Fitriyah