Oleh: Fahmi Salim (Wasekjen MIUMI, Dosen Uhamka Jakarta)
Suatu hari, saat sedang berkumpul bersama para sahabatnya, Rasulullah SAW didatangi Asma’ binti Yazid al-Anshariyah. Setelah dipersilakan, Asma menyampaikan aspirasinya kepada Rasulullah SAW, “Demi Allah yang jadikan ayah dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh Muslimah. Tiada satu pun di antara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengan dungi anak-anak kalian. Sementara, kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat berjemaah, shalat Jumat, menengok orang sakit, mengantar je nazah, bisa haji berulangulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah, atau berjihad, kami yang jaga harta kalian, menjahit baju kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?”
Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?” “Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat. Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke manapun ia pergi, pahalanya setara dengan apa yang kalian tuntut.” Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah di atas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol 22/420).
Kisah Asma’ itu menunjukkan bahwa sebenarnya tuntutan kesetaraan perempuan dan laki-laki pernah disua rakan kaum wanita pada zaman Rasulullah SAW. Itu bukan khas pada masa modern ini saja. Bedanya, dahulu posisi teologis Islam sudah tuntas, jelas, dan gamblang, diterima dengan ikhlas dan taat. Tapi, sekarang justru digugat, dikaburkan, dan mau dirombak total. Asma’ yang mewakili kaum hawa saat itu merasa puas dan bangga dengan arahan Rasulullah SAW. Kini, sebagian perempuan modern tampak minder dengan ajaran Islam dan mengalami gejala gangguan jiwa inferiority complex saat berhadapan dengan pemikiran Barat yang memuja konsep kesetaraan nominal antara laki-laki dan perempuan.
Posisi teologis Islam yang digariskan oleh Rasulullah SAW itu sebenarnya berangkat dari worldview Alquran yang bercirikan kedinamisan yang kokoh. Disebut “dinamis” karena sesuai de ngan fitrah dan perkembangan pola pikir manusia yang hanif di setiap waktu dan tempat. Dikatakan “teguh” karena tetap mengakui ada banyak hal yang sifatnya permanen dan tak berubah. Laki-laki dan perempuan memanglah memiliki perbedaan dan persamaan.
Alquran menetapkan prinsip al- Musawah (persamaan) laki-laki dan perempuan dalam hal-hal berikut. (1) Persamaan dalam hal asal-usul penciptaan manusia (an-Nisa: 1) dan ketundukan pada fitrah tauhid yang berasal dari Allah (ar-Rum: 30). (2) Persamaan dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan dengan segala kelengkapan rezeki-Nya serta potensi ketakwaan kepada Allah (al-Isra: 70 dan al-Hu- jurat: 13). (3) Persamaan dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah (menerima taklif) serta hak pahala yang sama di sisi Allah SWT (Ali Imran: 195, an-Nisa: 124, an-Nahl: 97, dan al- Ahzab: 35). (4) Persamaan dalam menerima sanksi jika melanggar hukum Allah dan susila di dunia (al-Maidah: 38 dan an-Nur: 2). (5) Persamaan dan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam menjaga etika dan norma kesusilaan (an-Nur: 30-31). (6) Persamaan dalam hak amar makruf nahi mungkar kepada penguasa dalam kehidupan sosial politik keumatan (Ali Imran:104 dan 110 serta at-Taubah: 71).
Alquran tak hanya mengakui hak keagamaan dan sosial kaum wanita, namun juga mengakui hak-hak perempuan dalam bidang ekonomi, seperti kepemilikan pribadi (mahar dan warisan), sewa-menyewa, jual beli, dan semua jenis akad muamalah perempuan diakui secara penuh. Demikian pula dijamin hak-hak mereka untuk belajar dan mengajarkan ilmunya, berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.
Istri-istri Rasulullah SAW aktif memobilisasi kaum hawa dalam jihad fi sabilillah. Khadijah RA dikenal sebagai pebisnis tangguh yang mendermakan hartanya untuk dakwah. Aisyah RA dikenal keluasan ilmunya sehingga ratusan sahabat berguru kepada beliau dan meriwayatkan hadis Rasul di majelis ilmunya. Demikian pula istri- istri sahabat Nabi. Asma’, putri Abu Bakr RA, berperan penting dalam hijrah Rasul dan ayahnya ke Madinah. Juga putri-putri Rasul, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah RA, aktif berjihad mendampingi suami-suami mereka, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Ruqayah bahkan harus dua kali hijrah bersama Utsman ke Habsyah dan Madinah. Khalifah ‘Umar RA men- gangkat al-Syifa’, seorang perempuan sebagai pengawas pasar Kota Madinah.
Karena visi Alquran yang memuliakan martabat perempuan itulah maka dalam peradaban Islam lahir tokoh-tokoh wanita hebat, seperti Asma’ binti Abu Bakar, Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Waraqah (imam kaum wanita pada zamannya), Hafsah binti Sirin, Sukainah binti al-Husain, Sayidah Nafisah binti Zaid bin al-Hasan (guru Imam Syafi’i), Zubaidah binti Ja’far (istri khalifah Harun al-Rasyid), Rabi’ah al-‘Adawiyah (tokoh sufi), dan lain-lain.
Perbedaan
Selain menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaan, kemuliaan, dan hak- hak umum yang terkait langsung dengan posisinya sebagai hamba Allah SWT. Islam telah membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu dilakukan sesuai dengan adanya perbedaan kodrati dan alami (nature) di antara keduanya dalam fungsi, peran, dan tanggung jawab.
Syariat Islam dalam pembedaan antara laki-laki dan perempuan ditetapkan bukan karena alasan untuk menindas atau menzalimi perempuan, tetapi berdasarkan hikmah dan alasan yang kuat. Di antaranya, hak yang diterima masing-masing itu harus sesuai dengan beban dan tanggung jawab sosial ekonominya di tengah keluarga dan masyarakat, perbedaan fisiologis dan psikologis dalam kendali emosi, dan agar terhindar dari percampuran nasab anak. Di antara bentuk pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah:
- Laki-laki wajib bekerja mencari nafkah bagi keluarganya, perempuan boleh bekerja, tapi tidak wajib.
- Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dengan porsi 2:1.
- Hak talak di tangan suami (laki-laki)tidak dimiliki oleh istri (perempuan).
- Perempuan tidak bisa menjadi wali pernikahan.
- Laki-laki boleh berpoligami, tapi perempuan tidak boleh poliandri.
- Istri wajib menunggu masa ‘iddah ketika cerai hidup/mati dari suaminya, sementara suami tidak ada masa ‘iddah karena cerai hidup/mati dari istrinya.
- Perempuan tidak boleh menjadi imam shalat dan khatib Jumat.
- Jika negara diserang, kewajiban jihad diutamakan terlebih dulu kepada laki-laki dan kemudian baru perempuan, dan lain-lain.
Jelasnya, antara laki-laki dan perempuan, baik persamaan maupun pembedaan yang diatur Islam, itu semua berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan bukan hasil konstruksi budaya manusia. Karena itu, konsep Islam bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Definisi tentang “gender” berikut ini adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Pada masa Rasulullah SAW hidup, saat wahyu Alquran turun sempurna dan dikukuhkan dalam praktik contoh hidup Rasul sebagai idealitas sosial Islam paripurna, kaum perempuan berlomba dalam kebajikan dengan kaum laki-laki untuk meraih kesempurnaan hidup. Namun, sehebat apa pun posisi dan prestasi kaum perempuan pada era tiga kurun terbaik umat Islam (sahabat, tabiin, dan tabi’ tabiin), mereka tidak pernah berpikir untuk memprotes berbagai syariat Islam yang membedakan kewajiban dan hak mereka mereka dari kaum laki-laki. Apalagi, sampai dengan lantang bersuara bahwa syariat Islam itu bias laki-laki, patriarkis, dan merugikan perempuan, sebagaimana nyaring dis- uarakan sebagian kalangan perempuan modern saat ini.
Tidak ada tokoh perempuan, seperti Aisyah Ummul Mu’minin, Ummu Sala- mah, Al-Syifa’, dan sederet nama Mus-
limah terkemuka lainnya, yang memberanikan diri, misalnya, untuk memimpin ibadah Jumat sebagai khatib dan imam—sebagaimana dilakukan oleh Prof Aminah Wadud dan pendukungnya. Atau, mereka menuntut jatah warisan sebagai seorang anak perempuan yang sama rata dengan saudara kandung laki- lakinya. Bahkan, saat Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia, selama ratusan tahun, tak terdengar pula ada yang menggugat syariat Islam dengan alasan perkembangan zaman dan kemajuan.
Prof Dr Yusuf al-Qarhawi menulis, “Kaum sekuler-liberal inginkan umat Islam memandang sesuatu dengan kacamata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berpikir dengan framework Barat sehingga apa saja yang bagus menurut Barat maka baik menurut Allah, dan apa saja yang dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut Allah. Mereka hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep Barat tentang sekularisme, dan berbagai teori Barat di bidang hukum, sosial, politik, bahasa, dan kebudayaan!” (Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari’ah: 2007, hlm 96). Wallahu a’lam bish shawab.
Artikel ini telah dimuat di: Republika Kamis, 18 April 2013
سبحان الله