Kesetaraan Gender Dan Kebebasan Perspektif Islam

Kesetaraan Gender Dan Kebebasan Perspektif Islam

Oleh: Mohammad Ismail*

“Human beings are the measure of all things”, seru Protagoras. Mungkin inilah suara yang merasuk ke dalam pikiran para feminis liberal. Mereka meyakini bahwa manusia adalah ukuran segala hal. Manusia dipercaya sanggup melakukan apa saja yang mereka inginkan. Termasuk menjadi manusia yang bebas tanpa ikatan apapun (liberal). Dengan modal keyakinan itu, mereka yakin bahwa saat ini kondisi wanita sedang tertindas oleh kaum laki-laki. Entah apa yang dijadikan ukuran penilaiannya. Namun kesimpulan tersebut telah menggaung sebagai dogma yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Mereka membawa bendera kesetaraan sebagai motivasi, keadilan sebagai misi, dan kebebasan adalah prinsip utamanya.

Rosemarie Tong (1997) dalam bukunya Feminist Thought : A Comprehensive Introduction mengatakan bahwa feminis liberal memiliki pandangan tentang kenegaraan yang tidak memihak kepentingan kelompok. Bagi kaum feminis liberal, negara saat ini didominasi oleh kaum pria sehingga peran dan kebijakan politik pun dianggap hasil kerja para laki-laki saja. Intinya, bagi mereka, negara ini dikendalikan oleh satu jenis manusia saja sedangkan perempuan tidak memiliki porsi yang cukup. Sehingga mereka beranggapan telah terjadi ketidaksetaraan atau ketidakadilan di ruang publik. Karena itu perlu ada penyetaraan antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah publik—termasuk di bidang politik—, maupun keluarga.

Pandangan seperti itu sangat bertentangan dengan konsep dasar Islam. Dalam Islam, kesetaraan maupun keadilan bukanlah ukuran kemuliaan seseorang. Sama halnya dengan kebebasan. Islam pun memiliki konsep tersendiri dalam kebebasan. Berikut ini akan dibahas mengenai problem ideologis kesetaraan gender dan relasinya dengan kebebasan perspektif Islam.

Problem Ideologis Kesetaraan Gender

Berbicara tentang kesetaraan gender berarti membahas perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya dan bukan perbedaan yang dilihat sekedar dari anatomi biologi sebagaimana dicantumkan dalam RUU KKG yang digagas oleh para feminis. Mereka mendefinisikan istilah gender sebagai “pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tepat dan dapat dipelajari serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin tertentu ke jenis kelamin lainnya”. Artinya, bagi pegiat feminis, perilaku, tanggungjawab, serta kodrat laki-laki dan perempuan bukanlah ketetapan Tuhan melainkan terbentuk oleh lingkungan sehingga sangat dimungkinkan laki-laki menjadi perempuan dan begitu pula sebaliknya.

Lebih dari itu, dalam RUU KKG pasal 1 ayat 3, para feminis juga mendefinisikan konsep keadilan sebagai: “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu dan keluarga, masyarakat dan warga negara”.

Definisi semacam ini pada hakekatnya cacat ideologi. Mustahil untuk menyamaratakan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Logikanya, ketika keduanya disamakan maka tidak menutup kemungkinan akan ada laki-laki haid dan melahirkan, perempuan menjadi nelayan dan tukang gali sumur serta berbagai macam jenis pertukaran peran yang justru akan merancukan tatanan kehidupan yang pada dasarnya tidak diperlukan. Hakekatnya, para aktivis gender sedang mempermasalahkan suatu yang sebenarnya bukan masalah tapi justru dipermasalahkan supaya terlihat menarik. Misalnya, mereka ingin mencapai kesetaraan gender, kesetaraan kedudukan, fungsi sosial, dan kesetaraan peran yang sebenarnya itu semua bukanlah merupakan akar masalah. Justru sebaliknya, yang bermasalah adalah sejarah gender dan ideologi kesetaraan gender itu sendiri.

Upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender lebih dikarenakan ketidaktahuan akan peran perempuan atau sikap tidak terima terhadap kodrat mereka sebagai wanita. Para aktivis gender ingin memperjuangkan kesetaraan dalam porsi yang sama yaitu 50 : 50 dengan laki-laki. Intinya adalah apa yang dilakukan oleh laki-laki harus bisa juga dilakukan oleh perempuan.

Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda mengatakan bahwa salah satu agenda feminis mainstream sejak awal abad ke-20 adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif sama rata 50:50 antara laki-laki dan perempuan, baik dalam peran berumah-tangga maupun peran kenegaraan. Hingga saat ini, para feminis yang masih meyakini bahwa ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan terbentuk oleh sosial budaya, selalu menyuarakan hak-haknya untuk diberi porsi yang sama dengan laki-laki.

Jurnal Perempuan pernah memuat artikel yang berjudul Etika Lesbian. Disebutkan di sana bahwa etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Dengan etika tersebut, akan muncul sebuah revolusi moral. Dengan kata lain, jika ingin terbebas dari ketertindasan maka tidak ada salah bagi perempuan untuk menjadi lesbian. Dengan menyerukan tujuan semacam revolusi moral ini, perjuangan gender seolah menjadi universal.

Sementara itu, Fukuyama menyatakan bahwa tuntutan kesetaraan yang diusung para feminis tidaklah bersifat universal sebab kebebasan dan persamaan adalah bagian dari America’s core culture. Dari pernyataan Fukuyama tersebut dapat dipahami bahwa perasaan tertindas, tidak mendapatkan keadilan, keterasingan, ketidakbebasan, hingga munculnya kehendak untuk menyetarakan kedudukan adalah hasil dari peradaban barat yang diusung feminis liberal. Disebutkan pula oleh Rosemarie Putman Tong dalam Feminist Thought, bahwa feminis liberal terang-terangan membela karir wanita pelacur dan ibu yang mengomersialkan rahimnya. Hal seperti ini jelas bukan pandangan yang dapat diamini secara universal. Jelas-jelas batil dalam perspektif Islam

Kesetaraan Gender Bukan Kebebasan

Dalam The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language dijelaskan bahwa diskursus mengenai kebebasan dalam konteks saat ini identik dengan terminologi liberal dan freedom. Istilah liberal yang memiliki

makna kebebasan bukan istilah khas Islam, melainkan trade mark yang datang dari Barat. Paham liberal meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melakukan segala hal yang ia inginkan, sejalan dengan ideologi Protagoras. Para feminis kemudian menjadikan kebebasan sebagai prinsip mereka dalam mengusung wacana kesetaraan gender. Pertanyaannya adalah, “apakah kesetaraan gender merupakan bentuk kebebasan?” Hal ini perlu dikaji menggunakan perspektif Islam.

Terminologi kebebasan dalam al-Qur’an mengandung beberapa makna. Dalam konteks bahasa Arab, kata kebebasan dapat ditelusuri dengan cara mengambil kata dasarnya yaitu harra. (Shauqi Daif, Al-Mu’jam Al-Wasith, p.165). Adapun makna terminologi kebebasan menurut Abdullah Al-Arawi dapat ditelusuri melalui empat sudut pandang. Pertama: makna perilaku (al-Ma’na al-Khuluqy), yaitu sebagaimana diketahui dalam tradisi Jahiliyyah yang disebut dengan ungkapan “menjaga adab” (al-hurratu). Kedua: makna secara hukum (al-Ma’na al-Qanuny), yaitu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa : 92 (tahriru raqabatin). Ketiga: makna sosial (al-Ma’na al-Ijtima’iy,). Keempat: Makna Tasawuf (al-Ma’na as-Sufi) yaitu sebagaimana dikatakan oleh al-Jurjani, hurriyyah atau kebebasan ialah istilah yang digunakan oleh ahl al-haqiqah dengan makna keluar dari sesuatu yang bersifat kebendaan serta kekafiran.

Dari pengertian tersebut kita dapat mengambil pelajaran penting. Pertama, dari kata dasar bahasa Arab, kata tahrir berasal dari harra-yahurru sedangkan bentuk masdar (verbal noun) aslinya adalah hurriyyah. Kata ini biasa digunakan untuk melebihkan status seseorang yang terbebas sejak lahir dari hamba yang dibebaskan. Kedua, yaitu keempat makna yang telah dipaparkan sebelumnya berlaku pada diri seseorang dengan memperhatikan kebebasan orang lain, bukan kebebasan tanpa batas.

Al-Raghib mengatakan bahwa dalam al-Qur’an kata “bebas” (al-hurru) memiliki dua definisi : pertama, siapa saja yang belum terikat oleh hukum apapun (QS. Al-Baqarah : 178), dan kedua, siapa yang belum dikuasai oleh sifat-sifat tercela dan ketamakan serta kejahatan. Bagi Aristoteles, kebebasan manusia berarti kesempatan untuk memilih hal yang lebih baik atau bisa dikatakan juga dengan berkumpulnya antara ‘aql (akal) dengan iradah (keinginan). (Ahmad Lutfi As-Sayyid, Ilmu Al-Akhlaq li Aristoteles, Al-Qahirah : Al-Hai’ah Al-Misriyyah Al-‘Ammah Li Al-Kitab, 2008, p. 167). Jadi, pada dasarnya istilah kebebasan bermuara pada satu hal utama yaitu sebagai lawan kata dari penghambaan (al-‘ubudiyyah).

Islam, secara lughawi bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Islam tidak memberikan kebebasan yang mutlak kepada manusia. Tetapi, di samping Islam bermakna tunduk kepada Allah SWT, Islam juga membebaskan manusia dari belenggu peribadahan (‘ubudiyyah) kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan bahwa Islam itu “bebas” sekaligus “tidak bebas”.

Kebebasan dalam Islam merupakan kemuliaan jiwa yang mampu menyucikan niat manusia dari ketergantungan kepada selain Allah SWT. Adapun tujuan kebebasan adalah menjadikan manusia tersebut maju dan tinggi derajatnya (kemuliaan). Di antara kelebihan-kelebihan yang terdapat dari konsep kebebasan menurut Taisir Khamis yaitu: pertama, memanusiakan manusia dengan segala hak dan kewajibannya dan jika seseorang itu tidak berilmu maka sebenarnya ruang untuk

berkeinginan dan ikhtiyar pun semakin menyempit. Kedua, kebebasan berlaku dalam konteks maslahat umum dan tidak digunakan untuk mendekonstruksi dasar hukum Islam. Jadi, kebebasan tidak bersifat mutlak. Sebab, kebebasan seseorang terikat dengan kebebasan orang lain dan terikat oleh hukum Allah SWT.

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kebebasan dalam Islam bermakna positif. Artinya, kebebasan merupakan suatu kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur keburukan. Dengan terlepas dari nilai-nilai keburukan (al-Sharr), berarti manusia berada dalam kondisi yang baik (al-Khair). Kebaikan dalam konteks ini adalah kemuliaan (al-Karam), sebab, manusia yang mulia ialah manusia yang selalu menghambakan diri kepada Allah SWT dengan kebaikan-kebaikan. Hal ini merupakan refleksi salah satu sifat Allah SWT yaitu al-Karim (Yang Maha Mulia).

Untuk menjadi manusia yang mulia, perlu adanya upaya untuk selalu berjalan dalam kebaikan. Akan tetapi ini tidak mudah. Sebab lawan kata dari kebaikan ialah keburukan (al-Sharr) yang akan selalu mengikuti sifat positif tersebut (kebaikan). Oleh sebab itulah Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu berada dalam posisi baik dengan memerintahkan untuk selalu berikhtiyar (upaya untuk memilih yang baik atau upaya untuk bebas dari keburukan) dengan selalu berperilaku sesuai petunjuk (al-Huda) Allah SWT. Jadi, ikhtiyar adalah upaya untuk memilih yang baik sedangkan al-karam (mulia) merupakan kondisi akhir jiwa yang terbebas dari belenggu keburukan.

Hal tersebut justru bertolak belakang dengan doktrin kebebasan total yang diusung oleh pegiat kesetaraan gender. Dalam kesetaraan gender tidak ada konsep memilih yang baik antara yang buruk. Melainkan para feminis lebih mengedepankan kemauan individual sebagai ukuran kebaikan. Akhirnya, jika kemaksiatan itu dinilai baik dan mampu memuliakannya maka sah-sah saja untuk dikerjakan. Pandangan demikian tentu tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam Islam yang lebih memuliakan manusia dengan ketetapan-ketetapan yang mengikat tapi baik. Sebab ketika manusia menjadi ukuran maka faktor hawa nafsu akan lebih dominan daripada tuntunan wahyu.

Penutup

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kebebasan dalam Islam memiliki makna kemuliaan (al-karam). Sebab, kata “bebas” mengandung makna positif yaitu “kebaikan (al-khair)”. Artinya, bebas dalam perspektif Islam ialah kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur hawa nafsu yang cenderung mengarah kepada kesesatan (ad-dhalal) atau juga kejelekan (as-suu’). Maka, dengan terlepas dari nilai-nilai negatif tersebut berarti manusia berada dalam kondisi yang baik atau bebas.

Kebebasan di sini merupakan kondisi akhir manusia yang lebih tepatnya disebut dengan manusia yang mulia. Akan tetapi, apabila manusia belum mencapai kondisi tersebut, upaya terbaik yang harus dilakukan ialah ikhtiyar atau berusaha untuk memilih yang baik dari yang buruk. Atau dapat dikatakan pula sebagai upaya untuk terbebas dari hawa nafsu. Jadi, semakin bebas seseorang maka ia semakin baik sehingga mampu mencapai derajat kemuliaan. Jadi, kebebasan dalam worldview al-Qur’an ialah bebas menentukan pilihan yang baik (dengan ilmu) dengan melibatkan

qalb (saat berpikir) untuk tujuan ta’abbud atau bertaqwa demi mendapatkan kedudukan yang mulia (karam) di sisi Allah SWT.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prinsip Protagoras,“Human beings are the measure of all things”, sebagaimana yang digunakan oleh feminis liberal sangatlah bertentangan dengan prinsip Islam. Islam sebagai agama telah memuliakan manusia dengan syariat sesuai dengan ketetapan Allah SWT sebagai Sang Pencipta manusia. Perempuan dan laki-laki memiliki syariat masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Maka, kesetaraan gender pada akhirnya tidak pernah membebaskan manusia untuk menuju kemuliaan akan tetapi mengikat manusia ke dalam kesesatan dan keburukan. Wa’allahu a’lam bi as-shawab.

*Peneliti Center for Gender Studies (CGS) dan Mahasiswa S2 PKU ISID Gontor

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.