Kabul Astuti*
Barangkali banyak muslimah yang sekarang tidak tahu bahwa pada tahun 1970-1980an, jilbab pernah menjadi sesuatu yang haram keberadaannya di ruang publik, terutama di sekolah-sekolah. Pemerintah Orde Baru pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82 yang mengatur bentuk dan pemakaian seragam bagi siswa di sekolah-sekolah negeri. Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P & K (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
SK tersebut dapat dikatakan tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain sehingga berbenturan dengan keinginan beberapa siswi di sekolah-sekolah negeri yang ingin mengenakan jilbab. Pasca keluarnya SK tersebut, banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya dikeluarkan dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta.
Kasus jilbab yang pertama sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan guru olah raga SMAN 3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka melepaskan kerudung. Sejak itu, kasus-kasus jilbab di berbagai sekolah negeri lainnya segera bermunculan. Semakin lama semakin banyak siswi yang mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal ini menimbulkan reaksi dari beberapa ormas Islam, terutama Pelajar Islam Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mewakili lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan advokasi kepada Departemen P&K agar bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya mengenai peraturan seragam sekolah tersebut.
Pada kurun waktu 1984/1985, Serial Media Dakwah menyebutkan bahwa 300 pelajar putri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan Sumenep, terpaksa pindah sekolah karena masalah kerudung ini. Hanya di Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap diperkenankan. Pada tahun 1988-1991, kasus jilbab juga mulai masuk ke ranah pengadilan, di antaranya SMA N 1 Bogor dan SMA N 68 Jakarta.[1] Kasus jilbab ini menarik perhatian berbagai media massa, di antaranya majalah Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit, Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota. Media-media massa ini menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya menyatakan keprihatinan mereka terhadap kasus yang menimpa siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri.
Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah negeri, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal, sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga Rp 160,00. Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal dunia akibat dihakimi massa karena ia diteriaki sebagai penebar racun.
Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru, yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak. Hal ini disambut gembira oleh siswi-siswi berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan mereka. Pada SK yang baru ini, keinginan para siswi berjilbab sudah diakomodir, lengkap dengan contoh gambar pakaiannya. Meskipun, istilah yang digunakan pada SK tersebut tetap ”seragam khas”, bukan jilbab.
Walaupun kewajiban untuk berjilbab telah tertera dengan sangat jelas dalam Al Qur’an (QS An Nur: 31 dan Al Ahzab: 59), namun kenyataan itulah yang terjadi pada tahun-tahun tersebut. Jilbab menjadi suatu identitas yang diharamkan keberadaannya di ruang publik. Para muslimah yang ingin memakai jilbab harus menghadapi tekanan dari aparat keamanan dan pemerintah. Mereka dituduh menyebarkan aliran sesat, mengikuti golongan tertentu, atau melawan kebijakan pemerintah. Pahitnya keadaan pada masa itu menjadikan para muslimah berjilbab benar-benar teruji kualitas dan militansinya. Muslimah yang masih ragu dengan jilbab atau belum kuat keislamannya, tidak akan berani mengenakan jilbab.
Sesuatu yang telah menjadi jamak seringkali justru diiringi dengan penurunan kualitas. Hal itu terjadi dalam banyak hal. Pendidikan, misalnya. Ketika akses pendidikan masih sulit dan hanya golongan terbatas saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan tinggi, sarjana-sarjana yang dihasilkan adalah sarjana yang berkualitas. Namun sekarang, ketika pendidikan tinggi telah terbuka bagi semua kalangan, berkat berbagai beasiswa dan juga semakin banyaknya perguruan tinggi yang lahir, kualitas sarjana yang dihasilkan tampaknya tidak lebih baik daripada dulu. Bahkan, ada kesan justru menurun. Banyak sarjana-sarjana yang melacurkan ilmu demi mencari kesenangan sendiri, tidak peka terhadap kondisi sosial, berpikir pragmatis, dan sebagainya.
Demikian juga kalau melihat dalam sejarah umat Islam. Pada masa-masa awal dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam, hanya sekelompok orang saja yang mengikut ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Namun, mereka adalah orang-orang terpilih yang benar-benar komitmen terhadap keislamannya. Mereka berani mempertaruhkan nyawa demi membela Islam. Sementara sekarang, banyak orang yang mengaku beragama Islam tapi keislaman mereka bukannya membuat Islam semakin berjaya. Seperti sabda Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam dalam sebuah hadits, umat Islam banyak tapi banyaknya seperti buih di lautan.
Tak terkecuali dalam hal berjilbab. Pada era 70-80an, muslimah berjilbab karena mereka menyadari perlunya jilbab sebagai penutup aurat. Muslimah yang berjilbab pada masa itu benar-benar mempertaruhkan sekolah, karier, bahkan keselamatannya demi mempertahankan keyakinannya mengenakan jilbab. Sekarang, banyak orang berjilbab tapi melupakan fungsi jilbab yang sebenarnya. Jilbab dikenakan hanya sekedar untuk mengikuti mode. Tak sampai berselang dua dekade sejak izin pemakaian jilbab di sekolah-sekolah dikeluarkan pada tahun 1991, jilbab menjamur di mana-mana. Tren jilbab merebak di kalangan wanita-wanita muda, mulai dari pelajar, karyawan, pegawai negeri, para eksekutif, hingga artis. Model, warna, dan bahan kain jilbab yang dikenakan pun beraneka ragam. Selain itu, gejala yang tak kalah menarik adalah munculnya komunitas-komunitas Hijabers yang beranggotakan para remaja berjilbab.
Masuknya jilbab di ruang-ruang publik merupakan suatu peningkatan yang harus disyukuri. Namun, bersamaan dengan itu, fenomena yang timbul adalah turunnya pemaknaan muslimah terhadap jilbab. Jilbab hanya dipandang sebagai sehelai kain yang dikenakan untuk mengikuti trend fashion, bukan sebagai penutup aurat dan identitas muslimah. Dalam berjilbab, Islam sudah memberikan aturan-aturan, seperti harus menutup dada, tidak boleh ketat, kainnya tidak terawang, dan sebagainya. Ketika sekarang jilbab hanya difungsikan sebagai fashion, banyak ketentuan-ketentuan tersebut yang diabaikan oleh pemakainya. Yang lebih dipikirkan bukan lagi, ‘apakah jilbab ini sudah menutup dada dan tidak transparan’, tetapi ‘apakah jilbab ini serasi dengan baju dan mengikuti model jilbab yang tengah berkembang’. Di sisi lain, orang-orang yang memakai jilbab dengan benar –tapi tidak mengikuti mode- justru dipandang sebelah mata atau diidentikkan dengan golongan tertentu.
Jilbab adalah identitas keislaman seorang muslimah. Jilbab adalah kewajiban bagi seluruh muslimah yang Allah sampaikan dalam Al Qur’an. Jilbab bukan sekedar kain penutup kepala atau perwakilan dari gejala sosiokultural dalam masyarakat. Jilbab juga bukan sekedar objek penelitian antropologi tentang bagaimana suatu masyarakat berbusana. Perkembangan jilbab dari yang semula diharamkan hingga menjadi sesuatu yang lumrah di ruang publik hanya dalam waktu kurang dari dua puluh tahun menarik untuk dicermati. Terlebih, perkembangan ini juga diiringi dengan perubahan makna jilbab, dari yang semula merupakan penutup aurat yang disyariatkan Islam sampai akhirnya menjadi mode fashion. Realita ini tidak bisa dipandang hanya sebagai dinamika sosial semata, tetapi perlu menjadi sebuah perenungan, terutama bagi para muslimah di Indonesia. Bagaimana seharusnya muslimah mengartikan sehelai kain bernama jilbab?
Biodata Penulis
*Lahir di Kulon Progo, 27 Februari 1992, adalah alumni Sastra Indonesia UGM angkatan 2009. Saat ini tengah menempuh studi Pascasarjana Program Magister Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penulis beralamat di RT 31/RW 16, Dusun Salam, Kel. Salamrejo, Kec. Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta 55664. Dapat dihubungi melalui email ceritatanpakata@yahoo.com atau 081904172292.
[1] Untuk memahami kasus pelarangan jilbab lebih lanjut, baca buku Alwi Alatas. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991, (Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Ummat, 2001).
Iya, kapolri juga musti membaca bagaimana sejarah pelarangan Jilbab ini ..