Oleh:
Abdul Ghofir dan Rofida Lathifah
(Dokter, Peneliti Insists)
Karena kemunculannya berawal dari komunitas homoseksual, istilah AIDS pernah diplesetkan kepanjangannya: “Akibat Intim Dengan Sejenis”. Istilah “homoseksualitas” baru diciptakan pada abad ke-19. Prakteknya, fenomena ini sudah terjadi sejak lampau. Perilaku yang diharamkan Allah SWT ini diawali oleh umat Nabi Luth A.S., yakni Kaum Sadum atau kaum “Sodom” (sekitar 1800 SM). Maka, perbuatan nista itu dikenal dengan istilah sodomi yang merujuk pada nama Kaum Sadum. Nabi Luth a.s. merasa heran dengan ulah kaumnya yang aneh, yakni menolak berhubungan dengan lawan jenis. Mereka justru lebih cenderung menyukai hubungan dengan sesama jenis. Nabi Luth a.s. beserta kaum mukmin yang jumlahnya sedikit tetap berusaha menyadarkan kaum Sadum.
“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun di dunia ini sebelummu?” Sungguh kamu mendatangi lelaki untuk memuaskan nafsumu kepada mereka, bukan kepada wanita, bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas”. (Al-A’raf 7;80-81)
Dengan jumlah yang dominan, kaum Sodom merasa lebih kuat daripada golongan mukmin. Mereka meremehkan Nabi Luth a.s. dan kaum mukmin yang mengikutinya. Allah SWT mengabadikan sikap congkak dan arogan mereka dalam firman-Nya: Kaum Luth mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri“. (QS. Al A’raf 82).
Dalam perkembangannya, homoseksual menyebar ke Bangsa Yunani dan Romawi. Selama era Renaisans, kota-kota kaya di Utara Italia – Florence dan Venesia khususnya – terkenal karena praktik cinta sesama jenis yang melibatkan sebagian besar populasi laki-laki dan terbentang di sepanjang pola klasik Yunani dan Roma. Kemudian tren homoseksual menyebar ke Perancis dan Jerman pada abad ke 13 serta Amerika pada 1948.
Homoseksualitas di Cina, telah tercatat sejak tahun 600 SM. Sedangkan homoseksualitas di Jepang, dikenal sebagai shudo atau nanshoku telah didokumentasikan selama lebih dari seribu tahun dan memiliki beberapa kaitan dengan kehidupan monastik Buddhis dan tradisi samurai. Budaya cinta sesama jenis melahirkan tradisi yang kuat dalam seni lukis dan sastra Jepang yang mendokumentasikan dan merayakan hubungan tersebut. Di Thailand, praktik homoseksualitas dikemas sebagai kathoey atau “ladyboy” telah menjadi corak masyarakat Thailand selama berabad-abad dan raja-raja Thailand memiliki pasangan baik laki-laki maupun perempuan.
Aids dan Homoseksualitas
Allah memperingatkan: “Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”(Al-A’raaf;84). Allah melaknat perbuatan homoseksualitas. Allah menghujani kaum homoseksual pada masa Nabi Luth a.s. dengan bebatuan yang tidak seorang pun dari mereka luput dari siksa itu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Ruuhul Ma’aanii karya Al-Alusi, Jilid 8, hlm. 172).
Kerasnya siksa pada kisah kaum Nabi Luth a.s. menunjukkan bahwasanya homoseksual merupakan perbuatan sangat keji. Al-Baihaqi meriwayatkan hadits tentang cabang iman dari Abu Hurairah dan dishahihkan oleh Al-Hakim: “Allah Subhaanahu wa ta’ala melaknat 7 golongan dari makhluk-Nya dari atas 7 lapis langit.” Lalu, beliau ` melaknat satu golongan di antara mereka sebanyak tiga kali. Setelah itu, melaknat setiap golongan satu kali-satu kali, kemudian bersabda, “Terlaknatlah, terlaknatlah, terlaknatlah orang-orang yang melakukan perbuatan kaum Luth….”
HIV/AIDS muncul pertama kali muncul pada kelompok homoseksual di San Francisco, Amerika Serikat pada tahun 1980. Usaha kalangan medis untuk mengontrol perilaku seksual penderita HIV/AIDS mendapat tantangan dan gagal karena dianggap melanggar HAM. Fenomena ini justru akhirnya mengakibatkan HIV/AIDS menyebar di kalangan pelacur, pelaku seks bebas (remaja), perselingkuhan, dan akhirnya pada ibu-ibu rumah tangga yang ditulari oleh suaminya yang suka berganti-ganti pasangan.
Menurut CDC (2012), insiden HIV pada homoseksual sebanyak 12% sejak 2008-2010. Di Amerika, dari 1.1 juta penduduk yang terinfeksi HIV, 52% nya adalah kaum homoseksual. Dimana HIV pada homoseksual bertanggung jawab menyumbangkan 2/3 dari total kasus baru HIV pada homoseksual. Hal ini menunjukkan betapa tingginya resiko terinfeksi HIV pada kaum homoseksual. Penelitian Purcel et al., (2010) menunjukkan bahwa pada 100.000 pasangan homoseksual, 692 dipastikan menderita HIV. Ini menunjukkan bahwa hubungan antar laki laki 60 kali lebih rentan di infeksi virus.
Fenomena terjadinya HIV yang lebih tinggi pada kaum homoseksual diduga karena berbagai macam faktor. Penelitian Koblin (2006) menunjukkan bahwa homoseksual cenderung menggunakan amfetamin dan alcohol berat sebelum berhubungan badan sehingga meningkatkan resiko transmisi HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Selain itu, tingkat kesadaran dan pengetahuan yang rendah terkait HIV, dimana MacKellar et al.,(2007) menyatakan bahwa 1 dari 4 homoseksual di 6 kota besar di Amerika memiliki pengetahuan yang cukup dan kesadaran terhadap resiko HIV pada diri mereka.
Allah SWT telah mengingatkan dengan sebaik-baik peringatan dalam firmanNya untuk menjauhi aktivitas homoseksual seperti pada kaum Nabi Luth a.s. Namun apabila manusia tetap melanggarnya, maka Allah SWT akan memberikan siksa yang berat yang mengakibatkan putus asa, dimana kemungkinan HIV ini adalah salah satunya. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, kami pun membuka semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam terdiam berputus asa.” (Al-An’am:44).
Legalisasi Homoseksualitas
Homoseksualitas dianggap suatu gangguan kejiwaan selama bertahun-tahun. Di era Mesir Kuno, Masyarakat berupaya untuk mengharamkan hubungan tersebut. Praktik homoseksual dijerat dengan hukuman mati. Pada abad ke-13, saat homoseksual sudah menyebar di Perancis, Kerajaan Perancis segera menghentikan penyebarannya dengan membentuk Undang-Undang Hukuman mati bagi penganut homoseksual.
Adanya upaya melegitimasi pernikahan kaum homoseksual ibarat virus yang siap disebar ke seluruh dunia. Anehnya, virus yang disadari bahayanya justru mendapat dukungan lembaga dunia, utamanya PBB. Akibatnya tak hanya bisa menjelma menjadi epidemi yang bersifat lokal, tapi juga global. Organisasi Amnesti Internasional mengatakan, “Homoseksualitas masih dilarang di 76 negara dunia. Dan masih ada jutaan orang di berbagai penjuru dunia yang menentang homoseksualnya dengan memberi hukuman mati, penjara, penyiksaan, kekerasaan dan diskriminasi akibat orientasi seksual atau identitas gender mereka.” Tahun 2008 dan 2009, Organisasi yang sama juga pernah serius melontarkan teguran keras pada Lithuania yang dianggap tidak memberi hak kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
Upaya legalisasi homoseksualitas berkembang pesat pada abad ke-19. Berbagai pendekatan pemikiran maupun kebijakan telah ditempuh guna menjadikan homoseksual sebagai sesuatu yang legal. Pada tahun 1973 homoseksualitas dihapuskan sebagai penyakit mental di Inggris. Pada tahun 1986 semua referensi homoseksualitas sebagai gangguan kejiwaan telah dihapus dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) dari American Psychiatric Association.
Belanda adalah negara pertama yang sejak tahun 2001 telah membolehkan pernikahan pasangan sejenis dan memasukkannya dalam pernikahan yang legal secara undang-undang. Disusul pada Juni 2011, New York sebagai kota yang paling padat penduduknya di Amerika, menjadi wilayah keenam yang membolehkan pernikahan sejenis dalam undang-undang. Diikuti pula oleh Mexico, Inggris, Brazil, Kroasia, Chekoslowakia, Denmark, Finlandia, Prancis, Israel, Luxemburg, New Zealand, Slovenia, Switzerland, dan empat kota di Australia.
Di Indonesia, praktek homoseksual maupun menikah sesama jenis merupakan hal yang illegal. Secara definisi menurut Pasal 34 ayat (1) UU Administrasi kependudukan: Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Administrasi kependudukan: “Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”
Dengan demikian, sampai sejauh ini yang diakui di Indonesia adalah pernikahan antar jenis kelamin. Sayangnya, akhir akhir ini telah muncul berbagai macam organisasi gay di berbagai kota. Mereka mulai menuntut agar tidak ada halangan bagi kaum homo untuk melakukan perkawinan secara sah di muka hukum dan mengumumkan secara terbuka statusnya sebagai homoseksual atau transgender.
Munculnya berbagai kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual dan dukungan (pendiaman) terhadap kontes Miss Waria bisa dilihat sebagai satu gejala mulai melemahnya peran nahi-munkar organisasi dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Mungkin banyak yang sedang mengalami kegagapan menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang saat ini menjadi penguasa moral dan penentu nilai-nilai moral baru di tengah masyarakat. Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap ketidakberdayaan (powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media informasi seperti televisi.
Memperparah?
Belum lama ini, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama DKT Indonesia dan Kementerian Kesehatan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1 Desember hingga 7 Desember 2013. PKN mengusung tema “Protect Youself, Protect Your Partner”. Ini sebenarnya wujud kepedulian terhadap HIV dan AIDS yang salah sasaran. Kampanye penggunaan kondom untuk pelaku seks berisiko seolah justru berkata, “Silakan melakukan seks beresiko asal pakai kondom”.
Padahal, upaya upaya yang digunakan untuk mencegah terjadinya HIV/AIDS dengan menggunakan kondom seringkali mengalami kegagalan. Dalam konferensi AIDS di Chiang Mai Thailand tahun 1995 dilaporkan bahwa penggunaan kondom akan membuat aman dari HIV/AIDS tidaklah benar. Pori-pori kondom berdiameter 1/60 mikron dalam keadaaan tidak meregang, sedangkan dalam keadaaan meregang pori-pori tersebut mencapai 10 kali lebih besar. Virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat dengan leluasa menembus kondom dan infeksi tetap dapat menyebar. Selain itu, Penelitian Carey, et.al 1992 dari Division of Physical Sciences, Rockville Maryland USA menemukan kenyataan bahwa virus HIV dapat menembus kondom. Kondom di pasaran ditemukan 30% bocor.
Akses kondom yang luas diikuti dengan kampanye untuk penggunaannya akan memberikan rasa aman bagi pelaku praktik homoseksual sehingga justru terjadi peningkatan hubungan sejenis. Padahal, pengunaan kondom juga tidak menjadi solusi karena kondom lebih mudah rusak pada intercourse anal. Selain itu, virus HIV akan lebih mudah untuk disebarkan melalui hubungan anal dibandingkan dengan hubungan pervaginam. Penelitian Koblin (2006) telah menunjukkan bahwa resiko terjadinya HIV meningkat pada pelaku intercourse secara anal. Resiko terbesar penularan HIV terjadi akibat kerusakan dinding rectum yang tipis sehingga memudahkan virus untuk masuk ke dalam tubuh melalui pertukaran cairan sperma. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan prosentasi dari laki homoseksual yang terkena HIV dari 20% pada 1996, menjadi 42% pada tahun 2000 dari seluruh penderita infeksi HIV, padahal proses kampanye penggunaan kondom tetap berlanjut (Dodds, J.P., D.E. Mercey, J.V. Parry & A.M. Johnson. (2004) Increasing risk behaviour and high levels of undiagnosed HIV infection in a community sample of homosexual men. Sex Transm Infect; 80:236-240).
Oleh karena itu, perlu ditanamkan sejak dini bahwa yang haram tetaplah haram. Zina tetaplah zina walau dengan berbagai alasan. Pemerintah harusnya bekerja keras untuk menutup pintu-pintu perzinahan. Bukan membiarkan dan melindunginya dengan cara bagi-bagi kondom gratis. Wallahu a’lam bish-shawab. (***)