Oleh: Rita Soebagio
Selama lebih dari lima dekade, para ahli melakukan penelitian tentang berbagai hal terkait dengan perbedaan laki-laki dan perempuan. Penelitian komprehensif pernah dilakukan oleh Sherman dengan melakukan Meta Analisis — sebuah pendekatan kuantitatif untuk meringkas dan mensitesiskan hasil dari berbagai studi empiris mengenai suatu topik – dalam hal ini studi tentang laki-laki dan perempuan.
Dari studi empiris mengenai aspek biologis dan psikologis dari perbedaan jenis kelamin, ia menyimpulkan semakin tampak bagaimana psikologi laki-laki tidaklah sama dengan psikologi perempuan. Ini perbedaan yang sebenarnya sudah tampak sejak neonatal yaitu sejak bayi lahir ke dunia. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang disebabkan faktor bawaan sampai saat ini masih terus dikembangkan. (Nani Nurachman, dkk., Psikologi Perempuan, Pendekatan Kontekstual Indonesia. 2011).
Studi empiris seperti yang diteliti Sherman umumnya dilakukan di bawah bermacam kondisi eksperimental atau administrasi atas berbagai tes psikologi yang terkontrol. Karenanya, perbedaan hasil yang tampil karena perbedaan jenis kelamin umumnya relatif stabil. Berbeda halnya dengan perilaku sosial yang baru belakangan dikembangkan oleh para ahli Psikologi Sosial. Penelitian perilaku sosial tidak dapat dilakukan di dalam sebuah ruangan atau laboratorium terkontrol, namun harus dilakukan dengan berbagai cara di bawah kondisi yang berbeda-beda pula.
Observasi para psikolog sosial menunjukkan, bahwa dalam sebuah kehidupan sosial, ketika bertemu dengan orang baru, maka hal pertama yang kita lakukan pada umumnya adalah berusaha mengidentifikasinya sebagai laki-laki dan perempuan. Proses identifikasi pada umumnya terjadi begitu saja secara otomatis dan tidak memerlukan pemikiran mendalam (Glick, P. & Fiske, S.T., Gender, Power Dynamis and Social Interaction. London: Sage Publication. 1999).
Itu terjadi karena Gender merupakan kategori paling dasar dalam kehidupan sosial. Proses mengkategorikan seseorang dan sesuatu menjadi maskulin dan feminin dikenal sebagai Gender Typing, yang dilakukan dengan melihat petunjuk gender yang mudah dikenali dari karakteristik fisik yang ada seperti rambut, wajah, dada atau gaya busana. Gender Typing dimulai sejak manusia dilahirkan. Misalnya hasil sebuah riset ditemukan 90% bayi memakai baju bertipe gender, 75% bayi wanita mengenakan baju berwarna pink dan 79 persen bayi laki-laki mengenakan baju berwarna biru (Shakin & Sternglanz, 1985 dalam Taylor, Shelley E.,et.al. 2009). Seseorang akan menampakkan gendernya sebagai bagian utama dari presentasi diri. (Shelley E Taylor, et.al., Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas. Jakarta : Kencana, 2009).
Perbedaan antara pria dan wanita adalah prinsip universal dalam kehidupan sosial. Sejak masih kanak-kanak, anak laki-laki dan perempuan sudah diharapkan menguasai ketrampilan yang berbeda dan mengembangkan kepribadian yang berbeda pula. Saat dewasa, laki-laki dan perempuan biasanya mengasumsikan peran gender seperti suami dan istri, ayah dan ibu. Pada prinsipnya, Helgeson (2005) mengatakan bahwa penggunaan gender untuk menata kehidupan sosial merupakan aspek yang mendasar dalam kehidupan manusia. (Helgeson,V.S. Psychology of Gender (2nd.ed). New York : Prentice Hall, 2005).
Untuk memahami konsep gender dengan lebih mudah, pranata sosial mengembangkan Stereotip Gender yang terkait dengan keyakinan unik kita tentang atribut laki-laki dan perempuan yang bersifat sangat personal (Personal Stereotype). Riset menunjukan bahwa laki-laki umumnya dinilai lebih tinggi ketimbang perempuan dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi dan keahlian seperti kepemimpinan, obyektifitas dan independensi (Deaux & LaFrance, 1998). Sebaliknya perempuan dinilai lebih tinggi dalam ciri-ciri yang berhubungan dengan kehangatan dan ekspresi seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. (K. Deaux & M. La France, Gender: A Handbook of Social Psychology. Vol 2, pp 788-827. Boston : Mc-Graw Jill, 1998).
Gender adalah elemen dasar dari konsep diri. Mengetahui bahwa “Aku adalah perempuan” atau ”Aku adalah laki-laki” adalah bagian inti dari identitas personal kita. Orang sering memandang dirinya punya minat dan kepribadian yang sesuai dengan gendernya. Pengetahuan bahwa kita adalah pria dan wanita, pemahaman tentang gender identity (identitas gender) telah kita dapatkan sejak dini. Dalam istilah ‘Konsep Diri’, setiap individu akan memahami dengan baik apakah dirinya sebagai maskulin atau feminin. Individu yang sangat maskulin percaya bahwa mereka memiliki banyak atribut, minat, preferensi dan keterampilan yang oleh masyarakat biasanya diasosiasikan dengan kejantanan. Individu yang sangat feminin percaya bahwa mereka banyak memiliki atribut, minat, preferensi dan ketrampilan yang diasosiasikan dengan feminitas (R.A. Lippa, Gender, Nature and Nurture, Mahwah, New York : Erlbaum, 2002).
Kemampuan memahami identitas gender dengan baik merupakan kunci dari kesehatan mental individu. Whitley (1993 dalam Taylor, Shelley E.,et.al.2009) mengatakan bahwa agar mental seorang individu sehat maka lelaki harus memiliki atribut dan minat maskulin sedangkan wanita harus feminim. Dalam prakteknya ditemukan sedikit individu yang memiliki pandangan bahwa dirinya merupakan gabungan dari kualitas maskulin dan feminin. Fenomena ini disebut dengan Androgini secara psikologis. Ditinjau dari sisi kesehatan mental, individu dengan fenomena Androgini akan memiliki mental yang sehat selama dia mampu melakukan penyesuaian yang “pas” antara konsep gender dan konsep dirinya. Feminis memandang androginis psikologis sebagai konsep ideal untuk pengembangan diri. Namun demikian para Feminis sendiri mengalami kebingungan karena jika mereka menyokong konsep Androginis sama saja dengan mereka juga secara tidak langsung mengakui bahwa ada perbedaan kualitas diantara maskulinitas dan feminitas.
Dari berbagai riset terungkap juga fakta, bahwa seorang perempuan – sekalipun dia seorang feminis sejati – tetap akan mengembangkan sikap untuk menempatkan laki-laki sebagai pengendali keputusan atau dominasi. Karena pada dasarnya mereka tidak akan mampu untuk menolak kodrat sebagai perempuan yang membutuhkan perlindungan dan bantuan dari pihak yang dianggap lebih kuat.
Menuntut kesamaan pria dan wanita dalam berbagai aspek hanya akan melahirkan individu yang ambivalen. Dimana dalam ranah sosial dan publik mereka menjadi individu yang terdepan menuntut semua kesamaan laki-laki dan perempuan hingga sadar atau tidak telah menyentuh perbedaan mendasar antara keduanya. Namun dalam urusan personal, seperti ketika berkencan atau dalam kehidupan perkawinan, para feminis sekalipun, tetap mengembangkan sikap yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan penentu keputusan. Secara naluri mereka tetap menjadi perempuan yang menuntut untuk dilindungi oleh laki-laki.
Ditinjau dari sisi kesehatan mental, laki-laki dan perempuan memang harus berbeda. Hal ini dikarenakan secara fisik dan psikis mereka berbeda. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para pakar diatas bahwa seseorang individu akan sehat mentalnya jika mereka mampu memahami atributnya dengan pas. Hal ini seolah-olah menunjukkan kepada kita semua, bahwa tuntutan yang berlebihan bahkan melewati batas untuk menjadi sama, hanya akan melahirkan pribadi yang galau, ambivalen dengan kesehatan mental yang patut dipertanyakan.
Tuntutan Kesetaraan Gender yang berdalih menjadi bagian dari pembangunan bangsa, pada dasarnya telah banyak mengabaikan faktor alamiah identitas gender. Tanpa sadar tuntutan ini sebenarnya sedang meruntuhkan berbagai sendi kehidupan dunia. Dan pada akhirnya konsekuensi terberat ketika pilihan itu sama sekali mengabaikan pertanggungjawaban akhirat seorang individu. (***)