Oleh: Kabul Astuti*
Selama ini, kebanyakan kajian mengenai eksploitasi perempuan dalam karya seni selalu ditempatkan dalam diskursus studi gender. Kajian tersebut bertujuan untuk menghilangkan bias gender dalam seni, meminta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas seni, serta menuntut perempuan yang selama ini hanya menjadi objek seni agar juga bisa menjadi subjek. Namun, kajian yang dibingkai dalam kerangka feminisme ini tidak bisa menjadi solusi bagi eksploitasi perempuan dalam karya seni.
Islam sudah memberikan kerangka aturan sendiri dan feminisme tidak pernah menjadi bagian dari solusi yang ditawarkan Islam terkait masalah perempuan. Oleh karena itu, masalah eksploitasi perempuan dalam karya seni hanya dapat dipecahkan ketika menggunakan kacamata Islam. Yaitu, dengan cara mengembalikan kedudukan perempuan sesuai dengan fitrahnya dan hukum syariat yang telah ditetapkan.
Sejak dulu, perempuan sering kali digambarkan sebagai sosok yang sensual dan erotis dalam karya seni. Lukisan perempuan telah menjadi tema dominan dari para pelukis Barat sejak masa tradisional, sebelum era neoklasikisme dan romantisisme. Tradisi lukis pada era Rococco yang merupakan masa terakhir bagi monopoli seni tradisional banyak menggambarkan dewi-dewi cantik molek dengan warna kulit merah jambu dan terutama dipilih adegan yang memperlihatkan sisi sensualitas. Misalnya, karya Francois Boucher “Vulcanus Menyerahkan Senjata Aeneas kepada Venus” dan Fragonard “Yang Mandi”.[1]
Pada masa selanjutnya, Lukisan Edouard Manet dari aliran Salon des Refuses berjudul “Olympia” (1863) juga melukiskan seorang perempuan telanjang dalam posisi tiduran. Lukisan tersebut pada awalnya sempat menimbulkan kontroversi masyarakat meskipun akhirnya dapat diterima. Kemudian, ada pula “Kelahiran Venus” pada tahun yang sama karya Alexandre Cabanel yang menggambarkan hal yang sama. [2] Publik Eropa sudah terbiasa melihat lukisan wanita telanjang dengan tema dewa-dewi, terutama Venus. Sejak masa neoklasikisme, romantisme, realisme, kubisme, surealisme, hingga pascamodernisme, wanita tetap menjadi tema yang selalu ada.
Eksploitasi perempuan dalam aktivitas kesenian ini mau tidak mau menyeret pada kasus pornografi. Sebagian seniman menjadikan seni sebagai dalih untuk melakukan aksi-aksi pornografi. Saat ini, tingkat pornografi di dunia sangat mencengangkan. Terdapat sejumlah 4,2 juta situs internet porno atau 12% dari jumlah seluruh situs internet di seluruh dunia. Setiap hari, ada 68 juta permintaan mencari materi pornografi melalui mesin pencari internet. Jumlah itu 25% dari seluruh pemintaan mencari di search engine. Situs Playboy dikunjungi sebanyak 4,7 juta (hits) kali setiap minggunya. Orang Amerika menyewa 800 juta keping video dan DVD porno setiap tahunnya, dibandingkan dengan 3,6 miliar video nonporno. Hollywood menghasilkan 400 film per tahun, sementara industri porno menghasilkan 11.000 film per tahun (Adult Video News).[3]
Eksploitasi perempuan dalam berbagai bentuknya didukung oleh faktor ekonomi dan kapitalisme. Industri hiburan dan jasa berbau seks menjadi salah satu ladang bisnis yang keuntungannya terbukti paling menggiurkan. Laporan CBS News (edisi September 5, 2004), “Porn in the U.S.A” menemukan bahwa masyarakat Amerika membelanjakan tidak kurang dari 10 milyar dolar per tahun untuk konsumsi pornografi saja. Mereka menjadi besar dan mempunyai daya tawar karena di California saja industri aurat ini tiap tahun menyetor sebanyak 36 juta dolar pajak kepada pemerintah. Sementara itu, para pelakunya berlindung di balik topeng ekspresi seni.[4] Ada semacam lingkaran setan antara seni, pornografi, dan industri kapitalisme.
Perempuan dalam Seni Tradisional
Jawa dan Bali tidak dapat dilupakan sebagai dua kebudayaan yang banyak melibatkan perempuan dalam aktivitas seni. Perempuan ada dalam setiap cabang kesenian, mulai dari seni musik, seni lukis, seni pahat, seni sastra, bahkan seni pertunjukan tradisional. Daripada sebagai pelaku seni, perempuan lebih banyak dijadikan objek seni yang mengarah kepada penonjolan eksotisme seksual dan tentunya mengarah pula pada pelecehan seksual yang menyinggung derajat dan martabat perempuan.
Dalam dunia kesenian tradisional, misalnya, pertunjukan seni reyog obyog, pelecehan seksual terhadap perempuan muncul melalui momentum saweran. Kesempatan bagi penonton laki-laki untuk menari bersama sambil memberikan uang dalam jumlah tertentu dengan cara menyentuh bagian tubuh penari jathil.[5] Realitas ini digambarkan dengan sangat gamblang oleh sastrawan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk lewat tokoh utama Srinthil. Berbagai suka duka harus dialami oleh Srinthil sebagai penari ronggeng, termasuk menjalani adat bukak klambu sebelum ia diinisiasi sebagai penari ronggeng, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang mampu memberikan bayaran tertinggi.
Namun, menarik bahwa dalam masyarakat tradisional yang kental akan adat budaya Islam, aktivitas kesenian dapat dilakukan tanpa melanggar batas-batas syariat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fuji Astuti (2001) di desa Sungai Janiah, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, menunjukkan bahwa kegiatan seni pertunjukan di desa tetap mematuhi kaidah Minang dan Islam, yaitu bahwa wanita dianggap tidak pantas untuk tampil dalam pentas pertunjukan kesenian.[6] Oleh karena itu, pertunjukan randai yang menjadi kebanggaan desa tetap menampilkan pemain pria untuk memerankan peran wanita; juga tari sijah ameh yang menggambarkan kegemulaian wanita pun ditarikan oleh pria.
Hal mendasar bagi ketidakhadiran perempuan dalam seni pertunjukan adalah bahwa sebagai perempuan Minangkabau yang diberi penghargaan bundo kanduang harus mencerminkan perilaku yang berbudi luhur sehingga bisa menjadi figur generasi penerus. Perempuan Minang juga mengenal konsep ‘sumbang dua belas’, yang salah satu di antaranya menyangkut tata cara berpakaian. Dalam berpakaian, perempuan Minang harus sesuai dengan aturan Islam, yaitu tidak ketat, tidak transparan, dan tidak memperlihatkan aurat. Faktor budaya Islam amat dominan. Hal itu mengikuti adat minangkabau yang dikenal ‘adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah’. Meskipun, patut disayangkan bahwa hal ini sekarang sudah mengalami pergeseran-pergeseran dan perempuan mulai diizinkan masuk ke ranah pertunjukan.
Perempuan adalah sosok penuh inspirasi bagi para seniman dalam berbagai kebudayaan, baik kebudayaan Timur maupun Barat. Kita tidak bisa hanya menyebut Barat saja sebagai kebudayaan yang banyak mengeksploitasi perempuan. Sebab, pada kenyataannya sebagian besar kebudayaan menjadikan perempuan sebagai objek seni dalam ekspresi yang berbeda-beda.
Namun, tidak dipungkiri bahwa eksploitasi Barat terhadap perempuan sangat besar dan memiliki sejarah yang panjang. Di Barat, perempuan dihadirkan sebagai objek yang mewakili keindahan dunia. Tradisi seni Barat adalah tradisi seni yang bertumpu pada keindahan materi dan fisik semata. Keindahan yang paling tinggi adalah keindahan tubuh perempuan. Akhirnya, eksploitasi yang berlebihan terhadap perempuan muncul dalam berbagai aspek karya seni.
Body Painting
Tidak puas hanya melukis di atas kanvas dan benda-benda mati, para pelukis pun melakukan eksperimen melukis di atas tubuh manusia. Salah satu penemuan seni mutakhir di Barat hari ini adalah body painting atau seni lukis tubuh. Body painting adalah seni melukis dengan media kulit atau tubuh manusia, sama halnya seperti tato. Perbedaannya, jika tato bersifat permanen, body painting bersifat temporer.
Body painting dianggap sebagai seni lukis tubuh yang paling kuno di dunia. Hampir seluruh suku-suku didunia menggunakan body painting untuk acara adat. Sejumlah suku di Indonesia juga mempunyai tradisi body painting, antara lain, Dayak, Dani, Mentawai, dan beberapa suku lainnya. Namun, pada era modern, perkembangan body painting telah kebablasan. Sejumlah orang menyebut body painting sebagai seni nudis. Para modelnya yang sebagian besar perempuan dilukis telanjang. Polesan-polesan cat itulah yang menjadi ‘baju’ dan dipertunjukkan sebagai karya seni.
Perkembangan body painting pada era modern dimulai pada 1933 di Chicago di mana Maximillian Faktorowicz dan modelnya ditahan dengan tuduhan mengganggu ketertiban publik saat ia memeragakan body painting-nya yang baru dengan make–up yang diformulasikan untuk film Hollywood.[7] Tetapi, kejadian ini merupakan awal tonggak kebangkitan era body painting pada era modern. Pada 1950-an dan 1960-an, body painting mulai menggeliat kembali terutama dipicu oleh paham liberalisme dan kebebasan berkreasi. Sejumlah selebriti bahkan turut mencicipi rasanya menjadi “kanvas hidup”, seperti Demi Moore dalam sampul majalah Vanity Fair, pada 1992.
Hal ini sampai sekarang menjadi perdebatan panjang di dunia, apakah body painting termasuk sebuah karya seni atau hanya sebuah aksi pornoaksi yang terselubung. Terlepas dari itu, saat ini body painting telah masuk dalam seni lukis tubuh yang cukup popular di dunia. The World Bodypainting Festival[8] sudah menjadi agenda tahunan sejak 1998 hingga sekarang. Acara yang diselenggarakan setiap bulan Juni-Juli di Pörtschach, Carinthia, Austria pada 2012 diikuti oleh lebih dari 200 seniman dari 44 negara.
Di Indonesia, sejumlah perupa juga mulai masuk ke dunia body painting. Tidak tanggung-tanggung, aksi seni lukis tubuh atau body painting digelar dalam acara Sanur Village Festival 2012. Acara budaya tersebut akan dihelat pada24 – 28 September 2013di areaMaisonnette, Inna Grand Bali Beach Hotel. Sebanyak tujuh seniman body panting melukis dan menggoreskan kuas di atas tujuh tubuh wanita cantik yang menjadi model dalam event tersebut.[9] Selain di Sanur, festival serupa juga pernah digelar di Bandung dengan tajuk Bandung Body Art Festival.[10]
Perempuan dan Seni dalam Islam
Ketika sebuah tradisi seni hanya mendasarkan orientasinya pada wujud yang bersifat material, ujung-ujungnya ia tidak akan menemukan sosok lain kecuali perempuan sebagai objek seni tertinggi. Maka, tampak bahwa Barat telah melakukan berbagai eksplorasi untuk menghadirkan perempuan sebagai karya seni. Pada awalnya, hanya karya dua dimensi berupa lukisan perempuan telanjang, kemudian dilanjutkan dengan karya tiga dimensi berupa patung dan video-video porno. Terakhir, yang paling mutakhir adalah karya hidup berupa body painting yang secara langsung menjadikan perempuan sebagai objek seni dan media seni. Jika segala macam eksperimen seni tersebut telah membuat mereka jengah, tidak dapat dibayangkan apa lagi yang akan dilakukan oleh para seniman Barat.
Permasalahan utamanya ialah bahwa para seniman Barat tidak memiliki aturan atau batasan khusus dalam aktivitas berkesenian seperti halnya Islam. Perdebatan dalam hal tujuan seni hanya dua, yaitu seni untuk seni (L’art pour l’art) atau seni untuk rakyat. Barat tidak mengenal aktivitas kesenian yang dilandasi oleh tauhid dan bertujuan untuk mengagungkan kebesaran Ilahi. Di Barat, yang ada hanya common sense sedangkan common sense adalah suatu hal yang bisa berubah seiring dengan perubahan masyarakat. Pada 1980-an, masyarakat di Paris belum bisa menerima lukisan wanita telanjang yang digambarkan sebagai bagian dari penduduk mereka sendiri. Lukisan wanita telanjang yang biasa mereka lihat adalah lukisan dewa dewi. Namun, tidak sampai satu dekade berselang, masyarakat Paris sudah bisa menerima lukisan-lukian telanjang tersebut.
Hal itu berbeda dengan Islam yang telah memberikan aturan jelas terkait mana aktivitas seni yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Hadits Nabi, “Tidaklah orang yang berakal itu beraktivitas kecuali untuk tiga perkara; untuk mencari penghidupan, untuk mencari bekal akhirat, dan untuk mencari penghiburan yang tidak diharamkan.” Para seniman Muslim memiliki batas-batas dalam pengembaraannya melakukan eksplorasi terhadap keindahan. Dalam hal ini kita tidak akan membahas beberapa kontroversi seni dalam Islam sebab telah banyak dijelaskan oleh para ulama dalam berbagai kitab.[11]
Innallaha jamilun, wa yuhibbul jamala. Allah itu indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud). Namun, Allah tidak serta-merta membebaskan hamba-Nya untuk melakukan eksplorasi tanpa batas. Allah menetapkan syariat semata-mata karena kasih sayang-Nya demi kemaslahatan umat manusia. Menurut HAMKA, seni yang sampai kepada puncaknya ialah gabungan di antara rasa keindahan (jamal), rasa kesempurnaan (kamal), dan rasa kemuliaan (jalal). Seni yang bernilai tinggi menyebabkan seniman lebur di bawah cerpu telapak kaki budi (etika) dengan kebenaran (al haq).[12] Seni akan bermanfaat kalau dengan sebab meresapkan rasa keindahan, kita bertambah dekat kepada Tuhan. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran Ilahi yang terpeta jelas di halaman alam. Lalu tunduk dan tafakur.[13]
Seni bukanlah ditujukan untuk seni itu sendiri, demikian menurut Ali Syari’ati dalam Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi. Sebab, seni yang demikian hanyalah makanan empuk bagi pembuat tender dan petugas lelang yang mengalirkan uang ke istana-istana jutawan. Seni untuk seni hanyalah kedok yang digunakan untuk menutupi watak jahat seniman serta memberikan pembenaran atas sikapnya dalam menghindari tanggung jawab sosial.[14] Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkenal, mengatakan bahwa kecantikan wanita adalah salah satu cabang keindahan, anugerah Ilahi. Sama halnya dengan keindahan kembang yang mekar, indah dilihat, tetapi jangan diganggu. Jangan diserumpunkan rasa keindahan dan seni dengan syahwat hawa nafsu.[15]
Seni Islam adalah seni yang memiliki nilai-nilai Ilahiah dan bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Dalam ajaran Islam, para seniman sebisa mungkin berusaha untuk tidak melakukan penggambaran terhadap makhluk hidup seperti manusia dan hewan. Kaidah tersebut tidak mengurangi keleluasaan mereka untuk menciptakan karya-karya seni yang agung. Para seniman menyiasatinya dengan melakukan stilisasi-stilisasi sehingga bentuk-bentuk tersebut tidak lagi menyerupai bentuk aslinya, seperti yang dapat disaksikan sekarang dalam sejumlah motif batik. Dalam seni arsitektur dan bangunan, Islam memiliki sejumlah karya monumental yang melebihi karya sejenis pada zamannya. Para seniman memanfaatkan teknik cahaya dan suara bangunan untuk menghasilkan sebuah arsitektur yang bernilai tinggi.
Teknik suara bangunan (Taqniyah Ash Shautiyyat Al Mi’mariyah) yang baru ditemukan oleh ilmuwan Harvard pada abad ke-20, sudah digunakan berabad-abad sebelumnya oleh perancang seni bangunan Islam. Mereka mengetahui bahwa suara memantul dari atap-atap yang cekung dan berkumpul di cekungan tertentu, seperti cahaya yang memantul dari kaca cekung.
Kritikus Prancis Henri Focillon berkomentar, “Aku tidak menjumpai sesuatu yang melepaskan pakaian luarnya dari unsur kehidupan, lalu mengajak kita kepada makna-maknanya yang terpendam selain bentuk-bentuk hiasan bangun Islam. Bentuk-bentuk tersebut tidak lain adalah buah pemikiran yang berdasarkan perhitungan yang rumit, terkadang berubah menjadi semacam gambar-gambar yang menjelaskan ide-ide filsafat dan makna-makna rohani. Namun, jangan sampai kita lupa bahwa bingkai kosong yang tampaknya kosong dari unsur hidup ini sebenarnya mengandung unsur kehidupan yang mengalir deras melalui garis-garis gambar. Dari garis-garis itu terbentuk berbagai macam unsur kehidupan, menjadi banyak dan terus bertambah, ada kalanya terpisah dan ada kalanya bertemu. Seolah ada ruh yang mencampurkan bentuk-bentuk itu, menjauhkannya, kemudian mengumpulkannya lagi. Setiap bentuk memiliki arti yang lebih dari satu yang tentunya hal ini membutuhkan penalaran dan kontemplasi manusia yang melihatnya. Semunya menyimpan dan mengungkap dalam waktu yang sama tentang rahasia kemungkinan dan energi tanpa batas yang ada di dalamnya.[16]
Larangan untuk menggambar makhluk hidup justru membuat para seniman terus mengembangkan kreativitas dan imajinasinya. Daya imajinasi dan perasaannya tajam bekerja. Hal itu membuat para seniman Islam tidak mandeg dan terhenti pada eksploitasi keindahan tubuh perempuan semata.
Selain terhadap seni itu sendiri, Islam juga telah memberikan batasan-batasan yang jelas kepada perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal seni. Batasan-batasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memasung kebebasan perempuan dalam berkesenian, melainkan untuk menjaga kehormatan perempuan sendiri. Perempuan diberikan kedudukan yang mulia dalam Islam. Kaum laki-laki dan perempuan yang beriman diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga pandangan mereka (An Nur: 30-31), serta menjauhi perbuatan zina (Al Isra: 32). Perempuan adalah ibu bagi generasi yang akan datang. Ketika perempuan dari sebuah bangsa rusak maka akan rusak pulalah generasi selanjutnya.
Sebagai penutup, tidak ada salahnya untuk mengingat perkataan M. Natsir, bahwa dalam gerak budaya manusia sekarang ini, tampak adanya perjuangan atau perebutan antara kebudayaan materialisme yang semata-mata benda dan kebudayaan yang berpangkal pada kesadaran rohani. Budayawan Islam harus kembali mengambil bagian dalam perkembangan kebudayaan serta melakukan risalahnya yang suci itu dalam mengisi kebudayaan dunia.[17]
*Mahasiswi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
[1] Katjik Soetjipto. Sejarah Perkembangan Seni Lukis Modern Jilid 1. (Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989). Hlm 60.
[2] Pada jilid 2 ini, semua halaman berisi lukisan-lukisan yang dikisahkan pada jilid I. Anda bisa menemukan betapa banyak lukisan wanita, termasuk wanita telanjang dalam buku ini. Sebut saja Ingres “La Source” (1820) yang disimpan di Museum Louvre Paris, “The Turkish Bath” (1852) yang menggambarkan belasan perempuan telanjang; Renoir “Bather” (1884); Cabanel “Birth of Venus (1863) di Pennsylvania Academy of the Fine Arts, Philadelphia; Titian “Venus of Urbino (1538); Manet “Olympia” (1863) di Louvre Paris, dan sebagainya. Lihat Katjik Soetjipto. Sejarah Perkembangan Seni Lukis Modern Jilid 2. (Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
[3] Dikutip dari http://acehomegazen.blogspot.com/2011/02/peringkat-remaja-dalam-angka-situs.html, pada 11 November 2013.
[4] Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press, 2008). Hlm 136.
[5] Arif Budi Wurianto. “Perempuan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional dan Keadilan Gender”, dalam Siti Hariti Sastriyani (ed.). Women in Public Sector [Perempuan di Sektor Publik]. (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM dan Tiara Wacana, 2008). Hlm 264-273. Lihat juga dalam buku yang sama, tulisan dari Sang Ayu Putu Sriasih, “Perempuan Bali dalam Kehidupan Berkesenian.” Hlm 253-263.
[6] Fuji Astuti. Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. (Yogyakarta: Kalika, 2004). Hlm 71-72. Buku tersebut merupakan tesis magisternya di Universitas Gadjah Mada tahun 2001.
[7] Dikutip dari http://www.ruanginfotips.com/2013/01/asal-mula-body-painting.html, pada 11 November 2013.
[8] Lebih jelasnya dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/World_Bodypainting_Festival; http://www.harianlahat.com/2012/07/world-bodypainting-festival-di-indonesia-2012/, pada 22 November 2013. Selain itu, festival tingkat dunia ini juga memiliki situs resmi di http://www.bodypainting-festival.com/en/.
[9] Dikutip dari http://travel.detik.com/read/2012/09/28/190344/2044564/1382/body-painting-di-sanur-festival-jadi-perhatian-wisatawan, pada 22 November 2013.
[10] Bandung Body Art Festival 2010, cek di http://www.behance.net/gallery/Bandung-Bodypainting-Festival/6871981, dan beberapa video di Youtube, seperti http://www.youtube.com/watch?v=mHy6Nn9XxBo.
[11] Lihat buku Yusuf Qardhawi. Islam Bicara Seni. (Solo: Intermedia, 1998). Tentang masalah nyanyian, lihat hlm 35. Selanjutnya, mengenai seni lukis, seni rupa, dan ornamen, lihat hlm 89; Selain itu, lihat juga Sidi Gazalba. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dan Seni Budaya. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), mengenai masalah seni islam dan seni muslim, hlm 131. Tentang masalah halal haram nyanyian, hlm 135-151.
[12] Hamka. Pandangan Hidup Muslim. (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1992). Hlm 136. Ismail Raji Al Faruqi dalam bukunya menyebutkan enam ciri karakteristik ekspresi estetis tauhid, yaitu abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi, dinamisme dan kerumitan. Lihat di Ismail Raji Al Faruqi. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999). Hlm 8-13.
[13] M. Natsir. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1988). Hlm 273-274.
[14] Zainal Arifin Thoha. Eksotisme Seni Budaya Islam: Khazanah Peradaban dari Serambi Pesantren. (Yogyakarta: Bukulaela, 2002). Hlm 70-72.
[15] Hamka. Pandangan Hidup Muslim… Hlm 134-135. Sebuah kisah menarik diceritakan dalam buku ini. Suatu ketika, HAMKA pernah melawat ke salah satu studio di Bali dan melihat lukisan perempuan telanjang. Pelukis tersebut minta maaf padanya. Kata Hamka, “… Jika kulihat lukisan ini dari rasa seni, samalah buatku seperti melihat kemang mekar juga. Aku melihat indahnya, tapi takkan kucabut dia daripada tangkainya. Keindahan kembang itu pun dipagari oleh Tuhan dengan duri atau miang. Dan bila kupatahkan kembang itu dari tangkainya, hendak kucari dimana letak keindahannya, lalu kukupas kelopaknya sejurai demi sejurai, niscaya akan habislah dia berantakan ke bumi. Kurusakkan susunan keindahannya yang asli karena nafsu ingin tahu, padahal aku tak dapat menyusun balik….”
[16] Raghib As-Sirjani. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2012). Hlm 682.
[17] Natsir. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah… Hlm 276.