Dr. Dinar Dewi Kania
(Dosen Filsafat Ilmu,
Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Pada 11 September 2014 lalu, sejumlah aktivis dan organisasi Muslimah berkumpul di sebuah tempat di Jakarta. Mereka merasa terpanggil untuk menyikapi sikap DPR yang sepekan sebelumnya (3/9/2014), meloloskan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) untuk dibahas di Komisi VIII DPR. Beberapa tahun sebelumnya, RUU KKG sudah memicu kontroversi hebat. Puluhan organisasi, khususnya Organisasi Muslimah, menolak keras pengesahan RUU KKG yang dinilai sangat sekuler dan merusak tatanan rumah tangga dan masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, setelah menerima masukan dari berbagai kalangan masyarakat, RUU KKG yang baru ini sudah mengalami perkembangan yang lumayan. Yang mencolok adalah dimasukkannya asas agama di urutan pertama (pasal 2). Masalahnya, dari sisi filosofis istilah “Gender” masih dimaknai secara sekuler. Pembedaan peran laki-laki dan perempuan dipandang semata-mata sebagai produk konstruk sosial dan budaya.
Tentu saja, dalam pandangan Islam, itu keliru. Sebab, pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, utamanya ditentukan olehwahyu. Tanggung jawab laki-laki sebagai “imam” keluarga dan pencari nafkah, bukan ditentukan oleh budaya Arab, tetapi dari wahyu yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Begitu juga kewajiban mencari ilmu bagi laki-laki dan perempuan, bukan ditentukan oleh budaya, tetapi oleh wahyu Allah.
Perspektif RUU KKG yang baru juga masih menempatkan perempuan sebagai makhluk individu. Padahal, seharusnya, pemerintah dan DPR lebih memprioritaskan program pemberdayaan keluarga, sebagai unit terpenting dalam pendidikan masyarakat. Dalam berbagai wacana KKG, tampak jelas, posisi perempuan diperhadapkan secara antagonis dengan laki-laki. Gerakan Kesetaraan Gender diarahkan sebagai gerakan perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “dominasi patriarkhi”. Hasil pencermatan para pegiat perempuan Muslimah tersebut akhirnya mengajukan permintaan kepada DPR agar mereka tidak melanjutkan pembahasan RUU KKG tersebut.
Dari feminisme
Mungkin, masih banyak yang belum bisa membedakan antara wacana “kesetaraan gender” dengan “emansipasi”. Yang terakhir ini terkait dengan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak di bidang pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan. Memang tidak sepenuhnya salah, karena pada awal kemuculannya, gerakan perempuan di Barat menuntut hak-hak tersebut akibat ketertindasan yang mereka alami selama beradab-abad oleh negara dan otoritas gereja. Baru pada era 1920-an, perempuan Barat berhasil mendapatkan hak pilihnya secara penuh. Kemudian pada tahun 1930, perempuan Amerika secara resmi memiliki akses untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. (Susan Osborne, The Pocket Essensial Feminism, 2001 : 19).
Tapi, perkembangannya, gerakan perempuan Barat semakin liberal. Publikasi kaum feminis mulai mengobarkan perang kepada sistem patriarki karena dianggap sebagai penyebab ketertindasan kaum perempuan. Kelahiran gerakan feminis liberal ini dikenal dengan sebutan “gelombang kedua”. Feminis gelombang pertama lebih menekankan tuntutan hak memperoleh pendidikan, pekerjaan dan partisipasi politik. Di Amerika, gerakan pembebasan perempuan muncul bersamaan dengan gelombang protes anti perang Vietnam di kampus-kampus pada era 1960-an. (Osborne, 2001: 26-26). Tokoh feminis seperti Betty Friedan (1921-2006), terus berusaha menawarkan paradigma liberal dalam membangkitkan kesadaran perempuan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang individu. (Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism, 1994 : 23).
Kemudian pada tahun 1977, para feminis Inggris memperkenalkan ide “kesetaraan gender” yang menjadi jargon perjuangan mereka. Konsep kesetaraan menurut feminis sangatlah beragam. Konsep kesetaraan dalam pandangan feminis Perancis, Simon De Beauvoir (1908 – 1986) misalnya, menunjukan kecenderungannya kepada ideologi sosialis. Ia berpendapat bahwa perpindahan peran perempuan sebagai ibu dan istri, menjadi seorang yang memiliki kemandirian secara ekonomi dan profesi, sebagai kunci kesetaraan perempuan dengan laki-laki.
“Dunia dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kedudukan yang setara (equal) sangat mudah untuk divisualisasikan, tepatnya seperti yang dijanjikan oleh revolusi Soviet. Perempuan ditinggikan dan dilatih selayaknya laki-laki agar dapat bekerja dalam kondisi yang sama dan mendapat upah yang sama. Kebebasan erotis harus diakui oleh adat, namun tindakan seksual tidak boleh dianggap sebagai “pelayanan” yang harus dibayar; perempuan diwajibkan mendapatkan cara mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kehidupannya. Pernikahan harus berdasarkan perjanjian bebas bahwa setiap pasangan dapat memutuskan untuk berpisah atas keinginan masing masing; peran keibuan (maternity) harus berdasarkan kerelaan (voluntary) yang berarti bahwa alat kontrasepsi dan aborsi harus dilegalkan, disisi lain, ibu dan anak-anaknya mendapatkan hak-hak yang sama apakah di dalam pernikahan ataupun yang diluar pernikahan. Cuti hamil harus dibayarkan oleh pemerintah dengan asumsi bahwa itu adalah bayaran atas anak-anak.” (Mary A. Kasian, Feminist Mistake, 2005 : 22)
Ideologi kebebasan yang diusung feminis melalui kesetaraan gender, perlahan tapi pasti, mulai mengikis nilai-nilai moral dan agama para perempuan Barat. Menurut Mary A. Kassian, Feminisme di Barat, memulainya dengan mendekonstruksi pandangan Yahudi-Kristen tentang kewanitaan (womanhood), lalu dilanjutkan dengan mendekonstruksi kelaki-lakian (manhood), relasi gender, keluarga atau struktur sosial, dan terakhir, mereka menolak konsep ketuhanan Yahudi-Kristen (Judeo-Christian deity). (Feminist Mistakes, 2005 : 9)
Para Feminis juga telah mendekonstruksi konsep seksualitas yang telah berabad-abad berlaku dalam masyarakat Barat ketika memperkenalkan jenis kelamin baru yaitu jenis kelamin sosial. Pada tahun 1970 Kaum Feminis mengembangkan konsep gender yang belum pernah ada sebelumnya. (Sheila Rowbotham, Women in Movement, 1992 : 9).
Gender dalam pandangan feminis adalah hasil konstruksi sosial yang sifatnya tidak permanen. Sampai tahun 1967, Inggris Raya dan negara bekas jajahannya seperti Amerika, hanya mengakui satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual, sehingga pelaku sodomi atau homoseksual akan mendapatkan hukuman mati atau penjara seumur hidup. (Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality ,2009 : 1). Setelah konsep gender diperkenalkan, maka orientasi seksual seperti biseksual dan homoseksual harus diakui oleh negara karena perbedaan orientasi seksual adalah konsekuensi logis dari pilihan atau identitas gender seseorang. Saat ini, hampir seluruh negara-negara Barat telah melegalkan pernikahan sesama jenis dan memberikan sanksi hukum bagi mereka yang menentangnya.
Feminisme berangsur-angsur menunjukan wajahnya sebagai gerakan radikal yang mengobarkan kebencian dan pemberontakan. Kelompok feminis radikal “Femen” asal Ukraina, yang mempunyai perwakilan diberbagai negara, terkenal sangat provokatif karena di setiap aksinya mereka selalu bertelanjang dada dan bahkan tidak segan-segan mereka bertelanjang bulat di tempat umum. Rumah-rumah ibadah agama Katolik, Protestan maupun Islam, tak luput dari sasaran aksi Femen sebagai bentuk pemberontakan terhadap agama. Bagi para aktivis feminisme ini, agama adalah salah satu bentuk manifestasi sistem patriarki. (www.theguardian.com).
Menurut Mike Buchanan, Feminisme adalah ideologi (isme) paling berbahaya di dunia yang sedang berkembang saat ini. Ideologi feminis jauh dari pembelaan terhadap kepentingan perempuan, namun hanya membela kelompok elite tertentu saja. Feminisme mengancam perempuan karena memaksa mereka menjalani sesuatu yang berlawanan dengan insting mereka dan menyebabkan perempuan bergantung pada dunia kerja untuk bertahan hidup (economic survival). Feminisme juga menjadi penyebab berbagai penderitaan dan menganggu kesehatan mental, baik laki-laki maupun perempuan, namun lebih berpengaruh pada wanita. (The ughly truth of Feminism, 2013 : 3).
Tak heran apabila masyarakat Amerika Serikat sampai saat ini terus menjegal upaya ratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang dianggap sebagai bom waktu bagi perempuan dan keluarga Amerika yang dilancarkan kaum feminis. (www.familywatchinternational.org). Tapi anehnya, Indonesia justru telah meratifikasi CEDAW sejak tahun 1984 dan RUU Kesetaraan Gender pun telah disetujui sebagai RUU Inisiatif komisi VIII DPR pada 3 September 2014 lalu. (www.dpr.go.id).
Mungkin banyak yang tidak menyadari, bahwa memperjuangkan kesetaraan gender tidak berarti memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan, karena keadilan tidak selalu bermakna “penyamarataan”. Definisi gender yang dimaksud pun tidak merujuk kepada jenis kelamin biologis tertentu. Karena itu, sadar atau tidak sadar, mereka yang memperjuangkan ide kesetaraan gender, sejatinya sedang memperjuangkan ideologi kaum feminis; yaitu sebuah ideologi yang mengusung kebebasan tanpa batas. Khususnya, batas nilai-nilai agama.
Jika tidak ditelaah dengan cermat dan diberikan makna serta batasan yang jelas, perjuangan Kesetaraan Gender pada akhirnya akan menjadi “BomWaktu” bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Perempuan dan laki-laki tidak tahu lagi apa kodrat dan peran ideal yang seharusnya mereka mainkan, sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Yang sudah terjadi, akhirnya perempuan sendiri menyesal, karena kelelahan mengejar impian kosong bernama “kesetaraan”. Satu kata yang tak pernah ada faktanya!
Bagi kaum beriman, persoalan “gender” menjadi sangat sederhana, sebab dunia ini hanya sebuah “panggung sandiwara”. Laki-laki dan perempuan diberi peranan yang berbeda, untuk saling bekerjasama. Masing-masing harus menjalankan perannya dengan baik, agar bisa mempertanggung jawabkan di akhirat kelak. Wallahua’lam. (***)