Meninjau Kembali Gugatan Feminisme terhadap Institusi Rumah Tangga dari Perspektif Islam

Oleh: Qaem Aulassyahied*
Feminisme Sebagai Paham dan Gerakan
Bagi paham feminisme[1], budaya patriarkhi adalah sumber dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Adanya bentuk ketidak-adilan perempuan itu  terjadi karena kondisi sosial di banyak negara-baik pada aspek domestik hingga publik- menjadikan laki-laki sebagai pusat segala kegiatan. Sementara perempuan dijadikan “pelaku nomor dua”, aktivitas publiknya dibatasi, ruang menumpahkan aspirasi menjadi sempit, dan segala aspek yang menjadi kebutuhan perempuan tidak ditentukan oleh perempuan sendiri, tetapi justru ditentukan oleh laki-laki sebagai imbas dari hegemoni laki-laki.[2] Sehingga, budaya patriarkhi yang terbentuk dari berbagai nilai dan keyakinan, pada akhirnya melahirkan lima sektor pokok ketidak-adilan perempuan yang bagi kaum feminis, harus segera diselesaikan. Pertama, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi. Kedua, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Ketiga, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif. Keempat, kekerasan (violence). Kelima, beban kerja lebih panjang dan banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[3]

Bahkan tidak segan-segan, dampak dari sistem patriarkhi ini menurut paham feminisme, menjurus dan berakar hingga sektor masyarakat paling mikro dan mendasar yaitu institusi rumah tangga. Segala keyakinan dan nilai yang mendiskreditkan kaum perempuan mulai diajarkan, ditanamkan dan dipraktekkan dalam hubungan rumah tangga.[4] Sebut saja Katte Millet, seorang pegiat dan pejuang paham feminisme mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkhis dan bagian dari patriarkhi secara keseluruhan. Untuk itu, keluarga memerlukan definisi baru karena definisi yang ada sekarang berasal dari asumsi mengenai dominasi laki-laki.[5]Adanya kenyataan di atas, tentu bagi umat Islam perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, tulisan ini mencoba membahas lebih lanjut gugatan paham feminisme terhadap institusi rumah tangga dan bagaimana gugatan itu juga berujung pada Islam sebagai agama yang sangat menganjurkan terbentuknya rumah tangga. Selain itu, tentunya tulisan ini mencoba memaparkan letak kesalahan paham ini dengan menjelaskan kritikan atas gugatan tersebut secara ringkas.

Rumah Tangga dalam Pandangan Feminisme

Sebagai gerakan yang melabeli dirinya “pembebas perempuan”, feminisme kini menyuarakan penolakan atas pandangan umum bahwa rumah tangga merupakan sumber kebahagian laki-laki dan perempuan yang terikat oleh hubungan sakral yang dibangun atas dasar cinta dan saling percaya. Behauvoir dan Behaviour mengatakan bahwa Marriage is the destiny traditionally offered to women by society.[6] Pernyataan ini tidak bisa dilihat dari literalnya belaka. Sebab problemnya, tradisi yang menjadi sumber legitimasi pernikahan bagi wanita, dalam pandangan feminisme adalah tradisi patriarkhi yang sangat bermasalah. Hal ini dibuktikan dari bagaimana ia menyimpulkan dua alasan mengapa tradisi patriarkhi mengharuskan perempuan membentuk keluarga:

The first reason is that she must provide the society with children; only rarely- as in sparta and to some extent under nazi regime- does the state take women under direct guardianship and ask only that she be a mother. But even the primitive societies that are not aware of the paternal generative role demand that woman have a husband, for second reason why marriage is enjoined is that woman’s function is to satisfy a male’s sexual needs and to take care of his husband.[7]

Berdasarkan dua alasan tersebut, dapat disimpulkan dengan jelas, bahwa dalam pandangan Simon, pernikahan yang membentuk keluarga hanyalah untuk memenuhi kebutuhan seorang laki-laki (suami). Perempuan dalam pernikahan, hanya akan menjadi ibu yang bertugas menjaga anaknya dan untuk menjadi pemuas seks suami dan merawatnya.

Pandangan seperti ini ternyata bukan hanya berangkat dari apa yang diyakini oleh Simon de Behaviour saja. Bahkan semua bentuk dan aliran feminis menggugat institusi rumah tangga dengan alasan yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dari apa yang diungkapkan oleh Simon sebelumnya. Bagi pandangan feminisme liberal, perempuan dan laki-laki secara ontologis memiliki hak yang sama, namun terhalang karena wilayah domestik menempatkan perempuan harus bergantung pada suami. Sehingga kesalahan fatal yang menghalangi hak perempuan adalah adanya institusi keluarga.[8] Adapun feminisme radikal lebih ekstrim dari itu. Aliran ini beranggapan bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena adanya interaksi dengan laki-laki hatta interaksi seksual.[9] Oleh karenanya, pernikahan yang mengharuskan keterikatan laki-laki dan perempuan hanya akan semakin memperparah ketertindasan perempuan. Feminis sosialis atau marxis juga menentang institusi rumah tangga, sebab bagi mereka pembebasan perempuan harus dilakukan dengan melibatkan perempuan dalam sektor industri. Hal yang selama ini menghalangi terwujudnya upaya tersebut adalah domestikasi perempuan dalam institusi rumah tangga yang membatasi andil perempuan hanya pada wilayah keluarga.[10] Dengan demikian paham feminisme, dengan segala pecahan alirannya, sepakat bahwa institusi rumah tangga merupakan penjara bagi kebebasan perempuan.

Islam, sebagai salah satu ajaran yang sangat menekankan terwujudnya institusi rumah tangga juga tidak luput dari gugatan kaum feminis. Gugutan mereka, secara sepihak dialamatkan kepada Islam berdasarkan tradisi-tradisi di negara-negara mayoritas muslim yang dalam hasil penelitian mereka sangat tidak menghargai perempuan.[11] Ghada Karmi, dalam Women Islam dan Patriarchalisme, merujuk pernyataan Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi untuk memperlihatkan fakta budaya dan tradisi Islam yang sangat patriarkhis.[12] Tidak jauh berbeda, Anne Sofie Rolald juga meyakini bahwa terdapat hukum-hukum Islam yang dilegitimasi oleh ayat al-Qur’an sarat dengan tindakan yang bernuansa diskriminatif terdapat perempuan, seperti wajibnya hijab sebagai pemisahan sosial dan sahnya poligami sebagai pelecehan seksual juga praktek pernikahan yang sangat bias gender.[13].

Kritik Terhadap Pandangan Feminisme Menurut Perspektif Islam

Untuk Meninjau kembali gugatan feminisme terhadap institusi keluarga, –sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya- maka perlu dilihat dari bagaimana sebenarnya Barat menempatkan perempuan. Hal ini karena, feminisme sendiri muncul dilatarbelakangi oleh kondisi Barat abad pertengahan. Pada abad tersebut gereja memegang kekuasan yang sentral. Namun kekuasaan tersebut, ternyata melahirkan bentuk otoritas yang kejam bagi pihak yang dianggap menentang ajaran gereja. Dengan adanya mahkamah inkuisisi, nasib masyarakat utamanya perempuan tidak luput dari kekejian doktrin gereja yang sangat ekstrim.[14] Sejalan dengan hal tersebut, dalam A History of Western Society dinyatakan bahwa sejak masa lahirnya tokoh semisal Plato, Aristoteles, diikuti St. Agustinus dan Thomas Aquinas hingga John Locke, Rousseau dan Nietzhce di awal abad Modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Paderi-paderi gereja pun dengan tegasnya menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang keladi kejatuhan adam dari surga.[15] Lebih spesifik lagi, adanya domestikasi perempuan dalam institusi rumah tangga, konon dimulai sejak Socrates membuatkan istrinya xanthippe, sebuah rumah yang bermakna sebagai lokus bagi wilayah operasional sang istri.[16]

Trauma mendalam ini, jika dibawa pada nilai ajaran Islam tentu sangat tidak sesuai. Karena terbukti saat masa kedatangannya, Islam telah merubah tradisi mendasar kaum Arab yang sangat tidak menghargai perempuan, menjadi tradisi yang menghargai hak-hak perempuan. Seperti Islam menghapus pembunuhan perempuan. Aqiqah yang sebelumnya adalah tradisi untuk kelahiran bayi laki-laki, juga diperuntukkan bagi perempuan. Pemberian hak memilih pasangan yang juga diserahkan pada perempuan. Begitu juga mas kawin dan hak waris perempuan yang sebelum Islam datang, sama sekali tidak diberikan.[17] Berdasarkan ini, maka sangat tidak tepat jika gugatan kaum feminis ini diarahkan pada Islam, karena semenjak dahulu Islam sudah menempatkan perempuan di tempat yang adil.

Bahkan, bagi Islam, penolakan feminisme terhadap institusi keluarga merupakan suatu hal yang sangat tidak tepat. Anggapan feminis bahwa keluarga adalah tempat awal diskriminasi perempuan adalah sebuah sikap yang tidak bijak. Karena pada kenyataannya, tidak semua perempuan mengalami ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak semua rumah tangga menjadikan perempuan mengalami ketidak-adilan. Dalam Islam, konsep pernikahan tidak hanya didasarkan pada seks semata. Sebab dengan menikah, akan melahirkan hubungan manusia yang luas dan kompleks. Kewajiban untuk melahirkan keturunan, mencintai, mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong, menemani, merupakan kewajiban tiap anggota keluarga dalam asas saling melengkapi yang dilandasi dan diatur oleh aturan wahyu. Hal itu jelas terlihat dari kategori dzu qurban atau perkerabatan yang sangat menonjol dalam al-Qur’an.[18]

Untuk itu, maka di dalam Islam, tidak dikenal istilah kesetaraan. Karena pada dasarnya baik laki-laki dan perempuan memang berbeda; sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Alexis Carrel, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan, tidak hanya pada kelamin dan pendidikannya, tapi keseluruhan anggota badan dengan unsur-unsur kimiawi dalam diri masing-masing. Setiap sel dari perempuan memiliki ciri khas, yang dengan itu melahirkan sifat, sikap dan ciri khas keperempuanan.[19] Hal ini menunjukkan, perbedaan peran yang ditetapkan Islam dalam rumah tangga bukanlah diskriminasi atau segregasi. Ismail Raji al-Faruqi menyatakan bahwa kedua peran suami-istri sama-sama tunduk di bahwa norma dan nilai Islam. Jika memang keadaan memaksa, maka aktivitas laki-laki dan perempuan boleh berpindah ke kawasan satu sama lain tanpa disertai prasangka negatif pada apa-apa yang sudah ditetapkan.[20]

Penjelasan ini, tentunya memberikan gambaran secara umum bahwa, gugatan terhadap Islam yang dimulai dari sikap skeptisisme atas institusi rumah tangga merupakan sebuah kesalahan besar. Setidaknya, ada satu kesalahan besar dalam pandangan feminisme atas Islam, yaitu salah melihat tradisi yang dianggapnya sebagai bagian dari Islam. Sebagaimana yang telah dikutipkan dari ungkapan Ghada Karmi dalam tulisannya, bahwa nilai-nilai Islam membentuk tradisi patriarkhi yang sangat tidak menempatkan perempuan sebagaimana mestinya.[21] Di sinilah letak kesalahan besar dari pandangan kaum feminis. Menjadikan tradisi sebagai bukti bahwa Islam adalah sumber ketidak-adilan bagi perempuan adalah hal yang tidak masuk akal. Karena tidak semua tradisi yang terjadi di negara-negara Islam itu mencerminkan nilai-nilai Islam itu sendiri, bahkan tidak jarang ada yang bertentangan.[22] Banyak sekali contoh tradisi yang dianggap sebagai bagian dari Islam, padahal senyatanya itu adalah praktek yang bersumber dari tradisi setempat, di antaranya: dalam setengah masyarakat benua di India, janda tidak dibenarkan kawin lagi. Di Punjab dan Uttar Pradesh (India), perempuan Muslim tidak boleh mewarisi harta. Sebagian dari pada amalan adat lain yang menimbulkan kekerasan terhadap perempuan adalah pembunuhan muruah (honour crimes) di Timur Tengah, khitan anak perempuan yang berlebihan di negara Afrika seperti Sudan dan Mesir.[23]

Tradisi-tradisi yang diungkapkan di atas, tidak diragukan lagi, sangat jauh dari nilai-nilai keIslaman. Sebab, dengan jelas dalam Islam, perempuan mendapatkan hak dan kebebasannya.[24] Melihat adanya penilaian yang salah tersebut, sangat wajar ketika Nikki R. Kiddie menyatakan bahwa kebanyakan pengkaji Barat yang tidak pakar dalam kajian kawasan (terutamanya Asia Barat) akan menohok sisi negatif pola hubungan gender di dunia Islam dengan menggambarkan perempuan Islam sebagai mangsa (victim) oleh masyarakat lelaki.[25] Adanya penilaian yang salah ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa ketidak-adilan tersebut bukan bagian dari ajaran Islam. Sebalikanya, berasal dari tradisi masyarakat setempat atau dari amalan menyimpang syariat Islam karena akulturasi budaya setempat. Termasuk di dalamnya adalah konsep tradisi patriarkis yang berlebihan[26] dan kesalahan konsep institusi rumah tangga yang sangat jauh dari gambaran ideal yang dirumuskan oleh Islam sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya.

Wallahu a’lam bis-shawab

 

* Penulis merupakan utusan PKU Gontor angkatan 08

[1]Istilah feminis berasal dari bahasa latin femina, perempuan. akar katanya fides dan minus menjadi fe-minus yang berarti kurang iman. Hamid Fahmi Zarkakasyi, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Dalam Jurnal Islamia, Vol.III, No.5, 2010, p.4. secara istilah bisa difahami sebagai sebuah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena aspek gender dan jenis kelaminnya. Untuk itu perlu ada upaya untuk menyamakan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang dengan menganalisa penyebab, pelaku dan penindasan perempuan dan melakukan penyadaran dan pergerakan. Lihat Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition. Oxford University Press. 1995. Bisa juga dilihat di Maggie Human, Ensiklopedia Feminisme, judul asli Dicionary of Feminist Theories, terj. Mundi Rahayu. (Yogyakarta: Fajar pustaka baru, 2007), p. 158

[2]Menurut Siti Musdah Mulia, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan ketidakadilan gender khususnya terhadap perempuan. Pertama, dominasi budaya patriarki, kedua interpretasi ajaran agama sangat didominasi pendangan yang bias gender dan bias patriarki. Ketiga, hegemoni negara yang begitu dominan. Untuk itu perlu ada counter idelolgy dan counter hegemony. Siti Musdah Muliah, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), p. 58-59

[3]Mansour Fakih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2007)

[4]Hal ini terbukti salah satunya dari  perjuangan mereka dalam membangun undang-undang yang berbasis gender, dimulai dari mengatur rumah tangga. Contohnya: di Indonesia, diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Kemudian Pemerintah Indonesia telah mengesahkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak , dan mereka berupaya melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Juga peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. IKAPI Jakarta, Hak Azasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Pusat Kajian Wanita Gender Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2007), p. 246-270 dan 271-286

[5]Memberikan definisi baru dalam hal ini, adalah membangun rumah tangga berdasarkan sistem matriliniear. Para sejarawan feminis, sangat menaruh perhatian dan harapan besar terwujudnya kembali keluarga yang berdasarkan sistem matrilinear ini, di mana perempuan dengan bebas meninggalkan suami lain dan mencari pria lain. lihat Maggie Human ensiklopedia feminisme…,, p. 5 dan 144

[6]Simone de Behauvoir, The Second Sex, (New york: library of congress cataloging in publication data, 1953),p.425

[7] Ibid, p. 427

[8]Lihat Mansour Fakih, Membincang  Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: risalah Gusti, 2000),p.39.

[9]Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandanng baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), p. 178

[10] Lihat Yunahar Ilyas, kesetaraan gender dalam al-Qur’an: Studi Pemirikan para Mufassir, (Yogyakarta: Labda Press, 2006), p.21.

[11] Najlah Naqiyyah, Otonomi Perempuan, (Malang: Bayumedia Pubhlising, 2005),p.88. lihat juga Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan. Terj. Islam and Liberation Theology, penj. Agung Prihantoro. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 203. Syarif Hidayatullah juga mengungkapkan bahwa pada akhir kekhalifaan Abbasyiah yaitu pada pertengahan abad ke-13 M, sistem harem telah tegak kokoh. Pada periode inilah, lahirnya tafisr-tafsir klasik semisal tafsir at-Thabari, tafsir ar-Razi, tafsir Ibnu Katsir dan lainnya. Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),p.18

[12]Berikut pernyataan Fatima Mernissi yang dikutip:

The sexual umma is based on sexual segregation and the subordination of one sex to the other. Women, members of the domestic universe, are subject to the authory of men, members of the umma universe. Separation and subordination are embodied in institutions wich enforce non-communication and non-interaction

Sementara, pernyataan Nawal Sa’dawi, adalah:

Arab men look upon their women as bodies which must remain forever youthful. The value of women deteriorates with age. Attitudes towards the age of women, their youth and their beauty, can be easly understood againts this background. Their youth extends in fact over the years during which they are capable of giving the husband sexual pleasure, bearing chlidren for him, and serving the family. It usually extends from the beginning of buerty, that is from the first menstrual period, until the menopause. In other wordsm it encompasses the whole of her fertile age from roughly fifteen to forty-five years.

Dengan dua pernyataan ini, Ghada Karmi ingin membuktikan bagaimana tradisi di wilayah mayoritas muslim memang menempatkan perempuan sebagai bagian dalam memenuhi kebutuhan laki-laki. Ghada Karmi, Women, Islam and Patriarchalisme, dalam feminism and Islam legal and literary perspectives, disampaikan untuk Centre of Islamic and Middle Eastern Law School of Oriental and African Studies Universty London, ITHACA press, 1997,p.69-70

[13]Anne Sofie Roald (2001), Women in Islam: the Western Experience. London Routledge,p.109-110

[14]Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Gema Insani Press, 2004), p.158-159

[15]McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler,  A History of Western Society, Second Edition, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983), p. 437-541

[16]Lebih jauh baca Genevieve Lloyd, Reason, Science, and Domination Matter, dalam evelyn Fox Keller and Hellen E. Longino (Eds.,) Feminism and Science  (New York: Oxford University Press, 1996)

[17] Musdah Mulia, Muslimah Sejati: Menempuh jalan Islam Meraih Ridha Ilahi, (Bandung, MARJA, 2011),p.45-49

[18]Haykal, the Life of Muhammad, Farewell Pilgmare. Dalam Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid, (International Islamic federation of student organsation: ABIM, t.t), p.486.

[19] Quraish Shihab, Konsep Perempuan Menurut Qur’an Hadis dan Sumber-Sumber Ajaran Islam (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1991), p.26

[20] Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid, International Islamic federation of student organsation: ABIM, t.t), p.141

[21] Lihat kembali, bagaimana ia mengutip perkataan Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi yang menggambarkan masyarakat Muslim Maroko dan Arab, dalam keseharian dan adatnya, banyak melakukan tindak kekerasan dan pelecehan atas perempuan. Ghada Karmi, women, Islam and Patriarchalisme, dalam Feminism and Islam Legal and Literary Perspectives…, p. 69-70

[22] Mohd Anuar Ramli mengatakan bahwa Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi budaya-budaya androcentrism (berpusat kepentingan lelaki). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Parsi di timur, bekas jajahan Rom dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika.Seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir kunonya dibagian selatan. Pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Mohd Anuar Ramli, Bias Gender dalam Masyarakat Muslim: Antara Ajaran Islam dengan tradisi Tempatan, Jurnal Fiqh, Academy of Islamic Studies, University Malaya No. 7 (2010), p. 56

[23] Honor killing in a cross-cultural context dalam uni wikan (2008), in honor of fadime: murder and shame. (terj) anna paterson, edisi reviisi, chicago, illinois: university of chicago press, p. 70; iftkhar haider malik (2005), culture and costums of pakistan conneticut; greenwood press, p. 145 dan 149. Dikutip dari Mohd Anuar Ramli, Bias Gender dalam Masyarakat Muslim: Antara Ajaran Islam dengan tradisi Tempatan, Jurnal Fiqh, Academy of Islamic Studies, University Malaya No. 7 (2010), p. 66

[24] Kaum perempuan mendaptakan kebebasan hak hidup dan kesaksian, dalam hak penikahan, dari pada mengalami pelecehan seksual tanpa batasan, kaum perempuan mendapatkan hak kebebasan dan kemulian muruah QS. al-Baqarah 2: 282, an-Nisa: 3 lelaki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam aspek ibadah, muamalah. Ibrahim Madkur, fi al-Fikr al-Islami, Kaherah: samirco lo al-tiba’ah wa al-Nasyr, h. 163, Muhammad Quthb, Syubhat Hawl al-Islam Kaherah: Dar al-Syuruq, p. 114

[25] Nikkie R. Keddie 2007, Women in then middle east: past and persent. New Jersey: USA, Princeton universty press, h. 10

[26] V.A. Mohamad Ashrof, Islam and Gender Justice: Question at the Interfance. Delhi: Kalpaz Publication, p. 263

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.