Maraknya pelegalisasian pernikahan sesama jenis di sejumlah negara merupakan salah satu dampak dari adanya Gay Politic (Politik Gay, red). Sebagaimana hal ini diakui Direktur the Center for Gender Studies (CGS), Dr. Dinar Dewi Kania saat mengisi sebuah kajian Dialog Lepas Isya (D’LISYA) di Masjid Agung Al Azhar, pada Jum’at (12/12/2014).
Dinar menjelaskan, Gay Politic merupakan sarana untuk mempromosikan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) agar mereka diterima dan diakui serta diberikan hak-haknya sebagai LGBT di tengah-tengah masyarakat.
“Bukan hak-hak mereka sebagai manusia, tapi hak-hak mereka sebagai LGBT. Mereka ingin diakui dan dibenarkan perilakunya di tengah masyarkat. Konsekuensinya ialah pelegalan pernikahan sejenis, homoseks dan lesbian”, jelas perempuan yang juga menjadi Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) ini pada peserta kajian yang diantaranya merupakan pegawai kantoran.
Ia juga memaparkan, ada beberapa negara yang telah mengakui dan memberikan hak LGBT. Pengakuan tersebut ditandai dengan angka nol, angka satu, angka dua dan tanda bintang.
“Kita lihat negara dengan angka nol di layar ini berarti negara tersebut sedang menggodog dan mengamandemen konstitusinya untuk mengesahkan undang-undang pengakuan LGBT. Angka satu adalah negara yang sudah mengakui LGBT. Angka dua adalah negara-negara yang telah memberikan buku nikah untuk pernikahan sejenis. Tanda bintang adalah negara yang telah memberikan hak penuh. Selain melegalkan, pelaku LGBT juga diberikan hak pencatatan buku nikah, juga data imigrasi berupa pasport”, paparnya.
Namun, pengajar mata kuliah Islamic Worldview di Universitas Ibn Khaldun Bogor ini bersyukur, sampai saat ini belum ada negara muslim yang mengakui maupun memberikan hak-hak LGBT.
“Contoh negara yang bertanda bintang adalah Prancis. Angka 1 adalah Jerman, Vietnam, Israel. Angka 0 adalah Burma, Myanmar. Alhamdulillah negara muslim belum ada”, syukurnya.
Kajian yang bertemakan “Gay Politic dan Problem relativitas Nilai dalam Peradaban Barat” ini tidak hanya membahas Gay Politic semata, namun juga memaparkan sejarah LGBT dalam dunia Barat pada masa lalu.
“Pada masa Yunani Kuno, Plato dalam bukunya Shimphosium melarang dan menentang aktifitas homoseks, Romawi Timur juga melarang. Hukuman bagi pelaku sodomi adalah hukuman mati atau paling ringan hukum penjara seumur hidup. Hal ini terkenal dengan sebutan Code of Justinian”, jelasnya
Selain itu, di Kerajaan Inggris juga pernah berlaku pelarangan homoseks.
“Pelarangan homoseks juga berlaku di kerajaan Inggris yang terkenal dengan Henry King Rule. Hal ini berlaku hingga tahun 1970.”, terangnya.
Namun, ibu dari dua anak ini juga menyayangkan, Napoleon Bonaparte menganulir hukuman untuk para pelaku sodomi saat ia menjadi Raja.
“Pada masa Napoleon lah hukuman untuk pelaku sodomi di anulir. Terkenal dengan nama Napoleon Code (Kode Napoleon, red). Hal tersebut berlaku di Romawi Barat hingga seluruh ekspansi negara jajahannya seperti Prancis yang ketika itu bersuku bar-bar, suku frank, dan lainnya”, ungkapnya
Indonesia yang notabene jajahan Belanda, lanjut Dinar, mengikuti adopsi hukum dari Prancis. Karena Belanda adalah negara yang dijajah oleh Prancis. Maka hukum terkait sodomi di Indonesia tidak ada.
Menuntut Legalisasi
Perkembangan gay politik saat ini, ungkap Dinar, dilakukan secara sistematis sehingga dibuatkan teori-teori yang mendukungnya.
“Menurut mereka, LGBT ini adalah faktor gen, pendapat ini kemudian diperluas, dipropagandakan sehingga banyak orang menerimanya. Padahal, banyak sekali penelitian yang menyimpulkan bahwa homoseksual bukanlah faktor genetis”, tegasnya.
Dinar menambahkan, dalam teori sosiologi, mereka mendekonstruksi jenis kelamin. Selain ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, mereka menambahkan jenis kelamin gender. Hal ini menyebabkan adanya perubahan pengelompokan status sosial yang baru.
“Sex adalah jenis kelamin berdasarkan biologis. Gender adalah jenis kelamin berdasarkan konstruk sosial. Mereka tidak mau laki-laki identik dengan maskulin, dan wanita identik dengan feminin”, jelasnya.
Sementara menurut mereka, pernikahan itu bukan pernikahan jenis kelamin, tapi pernikahan atas gender.
“Maka pernikahan antara feminin dan maskulin sangat memungkinkan terjadi pada jenis kelamin yang sama. Inilah konsep para pendukung LGBT”, ungkapnya.
Alasan lain tentang legalisasi gender adalah karena ini adalah hak asasi manusia (HAM). Atas nama HAM, mereka menuntut agar difasilitasi dan dilegalisasi. Homophobia (fobia terhadap homo atau pelaku sesama jenis, red), intoleran, pelanggar HAM adalah stigma yang sering disematkan kepada mereka yang tidak menyetujui gerakan LGBT.
“Ketika kita berusaha untuk memperbaiki penyimpangan seksual, justru kemudian kita dituduh pelanggar HAM,” pungkasnya.
Dinar juga menghimbau kepada seluruh peserta D’LISYA dan umat Islam seluruhnya agar peka dengan aksi politik para pembela LGBT. (Agastya Harjunadhi – Kontributor Aliansi Cinta Keluarga, Sarah Mantovani)