Sejarah mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di Indonesia belum diketahui secara pasti, ranah mengenai sejarah pasti lahirnya dan perkembangan jilbab di Indonesia juga belum banyak diungkap dan tidak banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang mengaku sebagai jilbabers dan desainer jilbab itu sendiri.
Padahal, jika sejarah tersebut mau dikaji lebih dalam lagi akan ditemukan nama-nama mujahidah antara lain Tengku Fakinah dari Aceh dan Opu Daeng Siradju dari Sulawesi Selatan, selain Hajjah Rangkayo (H.R) Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah, Cut Nyak Dhien dan Nyai Ahmad Dahlan. Mereka yang disebut ini adalah pejuang muslimah pada masanya dan berjuang dengan jilbabnya.
Lalu pertanyaannya, sejak kapan Muslimah Indonesia memakai jilbab? Siapa yang pertama kali memelopori pemakaian jilbab di Indonesia? Kenapa masih ada daerah yang perempuannya masih belum berjilbab? Bagaimana model jilbab pada saat itu? Apakah modelnya sama seperti sekarang?.
Sumber tertulis mengenai sejarah jilbab Indonesia sebelum abad 20 memang masih belum banyak ditemukan, namun peneliti asal Prancis Denys Lombard, meletakkan sebuah ilustrasi menarik berjudul ‘an Achein woman’, seorang wanita Aceh dengan baju panjang dan jilbab tertutup rapat dalam bukunya ‘Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)’. Ilustrasi pakaian wanita Aceh tersebut ia ambil dari naskah Peter Mundy pada tahun 1637 atau empat tahun sebelum pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah pada tahun 1641. Ini artinya, perempuan Aceh sejak abad ke 17 sudah menutup auratnya.
Selain pakaian masyarakat biasa, jilbab juga menjadi pakaian dalam kesultanan, buku yang ditulis oleh Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (M.A. Hasjmi) berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu” pada halaman 206, juga memperkuat ilustrasi dalam buku Denys Lombard.
Hasjmi menerangkan, dalam tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muhammad Said tahun 1683 M), rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah, dan keheranan mereka jadi bertambah setelah sebelumnya terkagum-kagum melihat Banda Aceh yang cantik dan permai, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan Agama Islam.
Tidak hanya itu, sumber lain mengenai jilbab Indonesia sebelum abad 20 juga ditemukan di situs media Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau KITLV, sebuah Institut Linguistik dan Antropologi yang dibangun atas kerjasama pemerintah Belanda dengan pemerintah Aceh. Dalam foto berjudul Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau terdapat seorang perempuan kesultanan Kutaradja dengan baju panjang dan selendang yang menutupi kepalanya, foto tersebut diambil sekitar tahun 1903 atau satu abad setelah berakhirnya Kerajaan Aceh Darussalam pada abad 19.
Ada pula tiga orang perempuan memakai selendang dan baju kurung panjang dengan seorang lelaki duduk di depan rumah mereka, foto tersebut diambil di Pantai Barat Sumatra sekitar tahun 1885. Foto tersebut diberi judul Mannen en vrouwen bij een woning, vermoedelijk op Sumatra’s Westkust atau Pria dan Wanita di rumah, seharusnya di Pantai Barat Sumatera.
Kemudian sekitar tahun 1900, juga terdapat foto para perempuan Aceh yang sudah berjilbab, meski jilbab mereka terlihat masih belum sempurna dan masih berupa selendang. Foto itu oleh KITLV diberi judul Atjehse mannen, vrouwen en kinderen op het station te Koetaradja atau laki-laki, perempuan dan anak-anak di Stasiun Kutaradja. Foto pada tahun yang sama juga ditemukan dalam foto lain dengan judul Vrouwen op Atjeh atau Perempuan di Aceh, dan foto dengan judul Minangkabause Vrouwen in de Padangse Bovenlanden atau Perempuan Minangkabau di Padang.
Identitas Asli Muslimah Indonesia
Pemakaian selendang sebagai awal dari pemakaian jilbab oleh perempuan Aceh seperti dalam foto-foto yang ditunjukkan KITLV juga mempengaruhi Cut Nyak Dhien dan mujahidah Aceh lain yaitu Pocut Baren. Saat Cut Nyak Dhien ditangkap Belanda pada 04 November 1905 sebelum diasingkan ke Jakarta dan akhirnya ke Sumedang, terlihat ia mengalungkan selendang di lehernya. Foto yang sama juga ditunjukkan Pocut Baren saat ia ditawan Belanda, foto ini dapat dilihat dalam buku Srikandi Aceh yang ditulis H.M Zainuddin.
Pada masa perkembangannya, pada awal abad 20, kita sudah banyak mendapati Muslimah yang sudah memakai jilbab secara tertutup, seperti Nyai Achmad Dahlan beserta pengurus Nasyiatul Aisiyah Muhammadiyah yang dikuatkan dengan foto-foto mereka dalam buku Api Sejarahnya Ahmad Mansur Suryanegara pada halaman 422 dan 424.
Tidak hanya itu, dalam buku G. F Pijper yang berjudul Fragmenta Islamica Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terdapat orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala. Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah.
“Kemudian guru agama datang, yaitu seorang wanita petani yang sehat dan mempunyai banyak anak. Dari pakaiannya yang tidak rapi itu kelihatan bahwa ia baru saja meninggalkan pekerjaan rumah tangganya. Yang membedakan dia dari wanita biasa di dedasa adalah kerudung putih di atas kepala (mihramah atau mihram menurut ucapan bahasa Sunda, bahasa Arabnya mahramah”.
Sementara itu di Sulawesi Selatan, terdapat salah seorang mujahidah berjilbab bernama Opu Daeng Siradju dengan nama kecil Famajjah yang lahir di Palopo pada tahun 1880. Penulis Biografi Opu Daeng Siradju : Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia, Drs. Muhammad Arfah dan Drs. Muhammad Amir, menyebutkan Opu Daeng Siradju dinamakan Opu karena ia keturunan bangsawan dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe’ Maraja yaitu Gowa, Bone dan Luwu dan gelar tersebut diberikan setelah ia menikah.
Pada 14 Januari 1930, ia menjadi ketua Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tahun 1950 pernah menjadi anggota TNI dengan pangkat terakhir sebagai Pembantu Letnan berdasarkan surat keputusan pemberhentiannya tanggal 25 Maret 1950 dengan Nomor 0066/Kmd/SKP/XVI/50.
Nuansa jilbab juga ditemukan dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia yang disusun oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada foto Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) pada tahun 1929 di Jakarta, kemudian pada Konferensi Perikatan Perkumpulan Isteri Indoensia (PPII) yang berlangsung pada tanggal 14-15 September di Yogyakarta dan Kongres Perempuan Indonesia ketiga di Bandung pada tahun 1938.
Kemudian kenapa masih ada Muslimah yang belum berjilbab pada waktu itu? Apakah karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk menutupi seluruh auratnya?. Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, karena masalah ketauhidan pada waktu itu lebih utama daripada Fiqh, sehingga menutup aurat belum dibicarakan, hal ini ia sampaikan setelah mengisi acara Seminar Islam dan Nusantara yang diadakan Aliansi Pemuda Islam Indonesia (APII), di Gedung Djoeang, Menteng, Jakarta Pusat, pada 05 Juli 2015.
Selama ini seringkali terdengar pula, jilbab hanya dianggap sebagai budaya Arab dan bukan identitas Muslimah Indonesia ataupun warisan asli Nusantara yang diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Ternyata setelah ditelusuri dan dikaji, fakta sejarah tidak menunjukkan demikian, jilbab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia dari sejak berabad-abad yang lalu, meski pada awalnya hanya berupa kerudung yang ditaruh di atas kepala atau selendang.
Meski sejarah Hijab Indonesia, terutama pra maupun awal-awal Indonesia merdeka, pemakaiannya masih ada yang belum sempurna tapi sebagai Muslimah Indonesia kita tetap harus berjilbab sesuai syariat, apalagi jaman sekarang sudah banyak kitab-kitab maupun ulasan Fikih, baik online tentang wajibnya menutup aurat secara sempurna, tidak seperti jaman dulu.
Rahmah El Yunusiyyah di Kuala Simpang, Aceh pada tahun 1929.
Sumber: Buku Biografi Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusi: Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia, Riwayat Hidup, Cita-cita dan Perjuangannya, terbitan Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang, 1991.