Oleh: Ayu S Larasaty*
Buku berjudul Perempuan-perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa karya Khrisna Bayu Aji dan Sri Wintala Achmad bisa dikatakan cukup menarik perhatian, karena selain penulisan buku ini dimaksudkan untuk mengikuti tren penyetaraan gender dengan memunculkan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah kerajaan Indonesia, buku ini juga menyimpan jawaban dari sebuah klaim feminis atas kata ‘perempuan’ yang kini seolah merupakan bagian dari pergerakan feminisme di Indonesia.
Terminologi yang Dipertentangkan
Barangkali sebenarnya hal tidak terlalu penting untuk dibahas, tetapi ia menjadi penting karena adanya upaya-upaya kelompok feminis untuk merebut kata ‘perempuan’, supaya terlihat identik dengan pergerakan feminisme di Indonesia. Maka tidak heran hampir di semua gerakannya, feminis Indonesia lebih memilih menggunakan kata ‘perempuan’ dibandingkan ‘wanita’. Hipotesa ini juga diperkuat dengan bukti sebuah konten dari akun Indonesia Perlu Feminisme bulan September tahun 2019, yang isinya kurang lebih seperti ini [1],
“Wanita dalam etimologi bahasa Jawa, diartikan sebagai ‘wani ditoto’, artinya ‘berani diatur’, ‘berani ditata’. Jika dilihat dari etimologi ini, penggunaan kata ‘wanita’ membuat seseorang menjadi OBJEK, karena tidak merdeka atas dirinya sendiri, padahal setiap orang merupakan SUBJEK HUKUM yang memiliki kewenangan untuk bertindak.[…]
Kata perempuan berasal dari kata EMPU yaitu gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’ atau ‘orang yang sangat ahli’. Kata ini berarti bahwa perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri.”
Kelompok feminis Indonesia lebih memilih ‘perempuan’ karena menurut mereka dalam kata tersebut terkandug arti kepemilikan atas dirinya sendiri sehingga pemiliknya bebas dan merdeka atas kendali terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini tentu sejalan dengan wacana otonomi tubuh yang menjadi fokus utama pergerakan feminisme. Wacana tersebut menjadi dasar atas jargon-jargon khas feminis yaitu “My body is mine”, atau kalau ‘feminis muslim’ narasinya menjadi “Setelah milik Allah, tubuhku adalah sepenuhnya milikku”, “Don’t tell me how to dress, tell men not to rape”, “Sex work is a work”, “Yes means yes, no means no”, hingga jargon turunannya seperti normalisasi “free sex” menjadi “consensual sex” dan kebebasan aborsi menjadi “pro-choice”.
Di sisi lain, penolakan kelompok feminis terhadap kata ‘wanita’ adalah karena menurut mereka, kata ‘wanita’ dalam etimologi Jawa tidak menempatkan perempuan sebagai subjek, melainkan sebagai objek. Penempatan perempuan sebagai objek ini seringkali diidentikkan dengan ketertindasan untuk memperoleh haknya, kontrol terhadap tubuh perempuan, pembatasan peran perempuan di ranah publik berdasarkan fungsi biologis tubuh mereka dan apapun yang bersifat mengatur perempuan.
Namun, apakah penolakan kelompok feminis pada kata ‘wanita’ ini sudah benar?
Siapa sih Perempuan itu?
Apa yang muncul dalam benak Anda semua saat membaca pertanyaan di atas? Mungkin banyak dari Anda akan menggambarkan perempuan itu adalah ibu, istri, saudari, teman perempuan, sosok yang sedang Anda doakan agar menjadi teman hidup, atau juga sosok yang Anda kagumi dari kisah sejarah perempuan-perempuan yang disebut namanya dalam Al Qur’an, ummahatul mukminin, shahabiyyah, para ilmuwan atau mungkin perempuan tangguh yang menjadi pejuang di Indonesia.
Namun, tak sedikit dari kita semua masih terjebak dalam gambaran bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, yang harus dilindungi, yang berhati lembut hingga mudah tersakiti, dlsb. Hal tersebut boleh jadi benar jika menggunakan sudut pandang yang bertujuan untuk memuliakan dan melindungi perempuan. Hanya saja, memang kondisi sosial tidak selalu ideal sehingga alih-alih memuliakan dan melindungi, hal tersebut malah menjadi alasan bagi banyak orang menganggap remeh dan bahkan secara sadar ingin menindas perempuan.
Hal ini yang sepertinya menggerakkan Khrisna Bayu Aji dan Sri Wintala Achmad untuk mengangkat tokoh penguasa kerajaan di tanah Jawa, Aceh dan daerah lainnya dalam buku mereka, Perempuan-perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa. Meskipun para pembaca tentu tidak akan puas dalam mendapatkan gambaran keseluruhan peristiwa sejarah yang urut dan rinci dalam buku dua ratus halaman tersebut, tapi setidaknya dapatlah tergambar beratnya kewajiban dan tugas yang harus mereka tanggung saat memimpin kerajaan, memberikan keputusan disaat kegentingan politik di kerajaannya, berstrategi melawan penjajah, mengatur perekonomian, menegakkan hukum dengan adil, menanggapi orang-orang yang menentang kekuasaannya, bahkan di saat yang sama ada beberapa di antara mereka yang harus mengalami kisah cinta yang bisa dibilang tidak indah.
Dengan demikian terbuktilah bahwa wanita bukanlah sekedar orang kedua dalam kehidupan di dunia, melainkan juga bisa menjadi orang pertama yang berperan sebagai pemimpin negara.
Yang menarik dalam buku ini, pada bagian awal penulis menjelaskan bahwa terwujudnya simbiosis mutualisme antara wanita dan pria ialah kunci dalam menciptakan stabilitas kehidupan. Wanita dan pria adalah dua unsur yang saling melengkapi untuk menciptakan keselarasan hidup bersama. Sebaliknya, bila kedua unsur itu tidak terjalin dinamis, maka bukan kedamaian yang tercipta. Melainkan petaka besar yang dapat menghancurkan bangunan rumah tangga, negara, dan bahkan dunia. [2]
Simbiosis mutualisme yang dinamis seperti diungkapkan penulis terjadi karena perempuan-perempuan tangguh tersebut tidak menyandang predikat perempuan, namun wanita, yang dalam pemahaman orang Jawa berarti wani ditata (berani diatur) dan sekaligus wani nata (berani mengatur) sebagaimana kaum pria. Pengertian wani ditata adalah wanita wajib mendengarkan dan melaksanakan petuah-petuah yang baik dari guru laki (suami). Sementara wani nata berarti wanita harus mampu memberi pertimbangan atas pemikiran suami hingga lahirlah sebuah keputusan yang arif demi kebaikan bersama dalam satu keluarga. [3]
Jadi, apabila seorang perempuan mampu menjalani perannya dengan baik dalam berumahtangga, tentu saja akan menjadi mudah baginya berperan dalam urusan lain yang terkait dengan kehidupan sosial bahkan dalam bernegara. Konsep keseimbangan dan hubungan simbiosis mutualisme yang bersifat dinamis tersebut lah yang menyebabkan penulis tidak menggunakan kata perempuan dalam pembahasan kisah-kisah di bukunya, melainkan menggunakan kata wanita.
Quo Vadis Kebebasan?
Dalam penjelasan di atas, kita sudah bisa dengan mudah memahami bahwa sebenarnya kaum feminis di Indonesia tidak terbuka dan tidak adil dalam memberikan informasi kepada pengikutnya yang lugu dan pragmatis. Seandainya dijelaskan bahwa arti kata ‘wanita’ tidak hanya wani ditata (berani diatur) mungkin tidak sedikit yang akan berpendapat bahwa arti kata ‘wanita’ bukanlah suatu hal yang buruk.
Tapi karena ini bukan pertama kalinya kaum feminis menuntut keadilan dengan cara yang tidak adil, maka patut kita pertanyakan, mengapa kaum feminis tidak terbuka dalam menggiring pengikutnya agar menggunakan terminologi perempuan dibandingkan wanita?
Yap, benar. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah pengenalan wacana dan konsep otonomi tubuh yang membebaskan perempuan untuk melakukan apapun terhadap tubuhnya. Karena menurut pandangan kelompok feminis, perempuan akan selamanya terjebak dalam ketertindasan jika mereka tidak mendapatkan kebebasan atas tubuhnya.
Konsep kebebasan tubuh ini adalah ciri khas individualisme barat yang hanya bertumpu pada aspek jasmani dan mengesampingkan aspek ruhani. Hal ini juga sejalan dengan filsafat etika barat yang secara sosial mengutamakan kemerdekaan individual (jasmani) untuk menentang segala intervensi yang berupa norma masyarakat, negara bahkan agama. Sehingga orang-orang yang cenderung pada kebebasan ala barat tidak menyukai standar norma yang diberlakukan negara (undang-undang) dan norma agama (adab).
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dasar konsep kebebasan dalam Islam adalah pemulihan atau pengembalian manusia (kepada fitrah) [4] karena seluruh manusia terlahir dalam keadaan fitrah dan ruh manusia juga telah terikat perjanjian dengan Allah sebagaimana diterangkan dalam QS. Al A’raf ayat 72, yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
dan juga dalam hadits berikut,
“Semua bayi (yang baru lahir) dilahirkan di atas fitrah (cenderung kepada Islam), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani atau Majusi.” [5]
Manusia terlahir dalam keadaan fitrah, namun saat dewasa mereka lalai sehingga banyak yang bermaksiat atau kufur kepada Allah. Oleh karena itu, fungsi agama adalah memulihkan manusia supaya kembali kepada fitrah. Pemulihan atau pengembalian kepada fitrah ini lah yang menjadi dasar konsep kebebasan dalam pandangan Islam.
“… sehingga begitu pula paham kebebasan yang merujuk kepada kepribadian diri insan itu. Pengikut pandangan Islam merupakan kebebasan diri ruhani dan dari itu maka kebebasan berarti kepada pemulihan serta penyaksian diri akan hakikat semula jadinya. Gerak daya yang digelar bebas itu adalah gerak daya yang menyerahkan diri jasmani niscaya tunduk takluk kepada diri ruhani dengan cara mematuhi undang-undang serta hukum akhlakiyyah yang ditetapkan oleh agama.”
Jadi kita akan melihat perbedaan yang signifikan antara konsep kebebasan dalam Islam dan konsep kebebasan a la barat. Kebebasan dalam Islam berarti sebuah proses menyerahkan diri kepada satu konsep kebenaran kemudian tunduk dan patuh pada kebenaran tersebut. Proses penyerahan diri tersebut kemudian tercermin pada upaya-upaya untuk membuat pilihan-pilihan yang baik, sehingga makna kebebasan dalam Islam adalah kebebasan dalam memilih yang paling baik di antara pilihan-pilihan baik.
Upaya kita untuk membuat pilihan-pilihan yang baik itu disebut ikhtiyar. Kata ikhtiyar merupakan terminologi kebebasan dalam Islam yang berasal dari kata ‘khoyr’ yang berarti ‘kebaikan’, sehingga ikhtiyar berarti memilih yang baik.
Dengan demikian, jika kita senantiasa dinasehatkan untuk melakukan sholat istikhoroh disaat sedang bimbang, kebimbangan kita itu harus memenuhi indikator ada di antara pilihan-pilihan yang baik, bukan di antara pilihan baik dan buruk atau di antara pilihan-pilihan buruk. Karena muslim tidak diperintahkan untuk memilih kepada selain yang terbaik untuk dirinya. Jadi, kebebasan dalam Islam adalah hal yang membebaskan jiwa atau ruh manusia dari segala pilihan yang buruk. Memilih hal yang buruk bukanlah kebebasan melainkan sebuah kedzoliman dan kecelakaan.
Kebebasan Wanita dalam Islam
Upaya kelompok feminis dalam menerapkan kebebasan yang biasanya dinampakkan ke permukaan adalah bagaimana mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan, inklusivitas dalam pelayanan kesehatan untuk perempuan dan anak, menolak diskriminasi kepada buruh perempuan, dan seolah bersuara paling lantang pada kasus kejahatan seksual. Sehingga banyak perempuan (terutama perempuan muslim) yang terpesona untuk ikut berperan dalam gerakan yang diusung para feminis.
Upaya yang dilakukan oleh aktivis feminis Muslim pun juga serupa, mereka menarik tafsir-tafsir ayat Al Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan perempuan hingga sejajar dengan konteks kesetaraan gender, sehingga menimbulkan kesan bahwa dalam Islam laki-laki lebih diutamakan dari wanita. Seolah tidak ada bedanya Islam dengan agama lain yang mendiskriminasi dan menindas wanita. Itulah sebabnya mengapa banyak perempuan Muslim yang mudah mengabaikan kalimat “Islam sudah memuliakan perempuan”, mereka menganggap kalimat tersebut utopis, tidak sama dengan kenyataan, tidak sama dengan apa yang ia rasakan setelah mengenal kesetaraan gender.
Mereka bingung dalam membedakan mana yang merupakan sebuah hukum, mana yang merupakan implikasi sebuah hukum dan mana yang merupakan masalah. Dalam bidang pendidikan misalnya, Islam tidak melarang perempuan untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan terbaik, Allah berfirman dalam QS. Al Mujadillah : 11 yang artinya, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Pada ayat tersebut, ilmu tidak dilekatkan pada jenis kelamin tertentu, baik perempuan saja atau laki-laki saja. Sehingga baik perempuan atau laki-laki apabila berilmu maka akan Allah tinggikan derajatnya di antara manusia yang lain. Ketiadaan pelekatan kewajiban menuntut ilmu pada jenis kelamin tertentu juga termaktub pada hadits riwayat Muslim yang berbunyi, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” [7]
Jadi dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melarang bahkan mendiskriminasi perempuan untuk menuntut ilmu dan mendapatkan pendidikan yang baik. Implikasi dari hukum ini tentu saja berupa fakta sejarah dimana perempuan muslim sejak dulu telah memiliki kebebasan dalam menuntut ilmu. Lantas, bagaimana cara sebagian kelompok feminis Muslim bertanggung jawab pada pernyataan mereka yang kerap menimbulkan kesan bahwa Islam tidak memperlakukan perempuan dengan adil, sedangkan fakta sejarah menyatakan sebaliknya?
Bahwa di masa Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam perempuan Muslim menghadiri sholat isya’ dan sholat shubuh di masjid Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam, perempuan Muslim menghapalkan surat Qaaf langsung dari mulut Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam, perempuan memenuhi undangan ke masjid yang disampaikan oleh muadzin, perempuan menuntut Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk menyediakan waktu khusus untuk perempuan, banyak perempuan yang langsung mendatangi Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk menanyakan pertanyaan yang bersifat umum atau pribadi.
Lalu yang tak kalah mencengangkan, jika kaum feminis mengklaim bahwa perempuan Muslim mengalami diskriminasi, bagaimana bisa mereka ikut serta dalam beberapa peperangan bersama Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam? Oke, mungkin sebagian dari feminis Muslim akan berkilah dengan mengatakan bahwa jelas saja perempuan mendapatkan haknya karena mereka dekat dengan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam. Tapi, bagaimana mereka menjelaskan fakta sejarah tentang Ratu Aceh Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat? Beliau adalah anak seorang Raja Aceh bernama Iskandar Muda, singkat cerita saat Raja Aceh meninggal dunia, di Aceh terjadi kekosongan kekuasaan. Sehingga pada saat itu, ulama-ulama Aceh berijtihad untuk menjadikan Shafiatuddin sebagai Ratu yang memimpin Aceh pada saat itu.
Ijtihad ini bukanlah tanpa alasan, melainkan karena sosok Shafiatuddin terkenal sebagai seorang yang sangat cerdas, mumpuni, menguasai banyak ilmu agama, bahasa, beliau dinilai mampu memimpin Aceh pada saat itu dan beliau memimpin Aceh selama 32 tahun. [9] Bisa kita bayangkan? Aceh yang sejak dahulu sampai sekarang terkenal dengan ketatnya hukum Islam yang berlaku disana, ulamanya malah berijtihad untuk menjadikan seorang perempuan memimpin kerajaan di masa itu?
Lalu, sekitar seratus tahun sebelum Ratu Aceh Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat, kita mengenal Laksamana Malahayati, mungkin banyak dari kita hanya mengetahui namanya, tapi tahukah bahwa beliau adalah seorang pelaut, laksamana, pemimpin perang melawan VOC. Yang lebih keren lagi, ternyata pasukan beliau tidak semuanya laki-laki melainkan juga para perempuan yang terdiri dari para janda dan para gadis yang masih belia. Jika hukum Islam mendiskriminasi dan membatasi perempuan dalam banyak hal tentu saja fakta sejarahnya akan sesuai dengan hukum tersebut.
Persoalan lainnya, mengenai perempuan yang tidak sekolah atau putus sekolah tentu nyata adanya dan itu merupakan sebuah masalah yang harus kita selesaikan bersama. Akan tetapi, kenyataan tidak bisa melanjutkan dan akhirnya putus sekolah itu tidak hanya dialami perempuan, bahkan persentasenya lebih besar laki-laki. [10] Penyebab terjadinya putus sekolah adalah kemiskinan, sulitnya akses ke sekolah, minimnya tenaga pendidik, dlsb.
Kalau memang Islam mendiskriminasi perempuan sehingga mereka menjadi terhalang untuk sekolah tentu hal tersebut akan berimplikasi pada banyaknya perempuan yang tidak bisa sekolah hingga sekarang. Tapi nyatanya tidak demikian. Banyak sekali perempuan yang mendapatkan kemudahan dan kebebasan untuk meraih pendidikan. Mungkin salah satunya adalah Anda yang membaca tulisan ini. 🙂
Saatnya Menentukan!
Meski panjang, tetapi semoga apa yang berusaha disampaikan melalui tulisan ini cukup jelas dan dapat menjawab beberapa pertanyaan. Tujuan tulisan ini adalah untuk menjabarkan minimnya literasi kelompok feminis dalam menentukan terminologi ‘perempuan’ untuk mendukung gerakannya, sifat destruktif konsep kebebasan barat yang diusung oleh feminisme, fakta sejarah perempuan Islam yang tidak akan pernah bisa apple to apple dengan konsep kesetaraan gender, juga himbauan agar kita mampu membedakan ‘mana hukum’ dan ‘mana masalah’ yang harus kita selesaikan bersama.
Lantas apa perlu kita membuat gerakan dengan menggunakan terminologi ‘wanita’? Jawabannya tidak, yang kita perlukan adalah tetap menggunakan dan menggemakan agar semua kata yang merujuk pada perempuan, wanita, feminim, putri hanya melekat kepada mereka yang secara biologis terlahir sebagai perempuan.
Meskipun menampilkan diri sebagai penyelamat dan pejuang hak perempuan, kelompok yang kita hadapi sebenarnya adalah kelompok yang tidak ragu untuk merekonstruksi definisi arti kata ‘perempuan’ tersebut.
Referensi
[1] Konten Indonesia Perlu Feminis pada September 2019, https://www.instagram.com/p/B17eEywADQl/ (diakses pada 15 Mei 2020)
[2] Khrisna Bayu Aji dan Sri Wintala Achmad. 2018. Perempuan-perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa. Yogyakarta: Araska Publisher
[3] Ibid
[4] Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 2014. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: IBFIM (perenggan 30)
[5] HR. Al-Bukhâri, 1/465 dan Muslim, no. 2658
[6] QS. Al A’raf : 172
[7] HR. Muslim, no. 2699
[8] Abdul Halim Abu Syuqqoh. 1997. Kebebasan Wanita Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press
[9] Tiar Anwar Bachtiar. 2018. JAS MEWAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan Dakwah). Yogyakarta: Pro-U Media
[10] Badan Pusat Statistik. 2018. Potret Pendidikan Indonesia: Statistik Pendidikan 2018
*Penulis adalah Biro Agiprop Aliansi Cerahkan Negeri