Oleh: Anita*
Feminisme sebagai sebuah gerakan mulai berkembang sejak abad ke Abad ke-19. Di masa ini sering disebut sebagai gelombang pertama. Para feminis berjuang agar perempuan memperoleh hak dalam memberikan suara (voting) yang saat itu hanya dimiliki laki-laki dewasa, hak-hak yang sama dalam hukum, dan kesempatan yang setara atas pendidikan dan pekerjaan (Adeney, 2004: 101). Setelah perempuan Barat mendapatkan hak-hak sipilnya, feminis pun tidak langsung merasa puas. Mereka mulai mempertanyakan dan mengkaji sebab musabab segala ketidakadilan yang berlaku pada diri mereka selama puluhan abad.
Melalui buku The Second Sex, Simone de Beauvoir mengulas akar masalah yang membuat perempuan selalu dijadikan jenis kelamin kedua. Menurutnya perempuan tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan, melainkan dibentuk menjadi seorang perempuan. Laki-laki sebagai jenis kelamin pertama lah yang membentuk struktur sosial yang tidak memihak perempuan. Hal inilah yang selanjutnya mendasari feminis dalam membentuk konsep gender, yaitu konsep dimana pembedaan antara laki-laki dan perempuan bukan dengan kondisi biologis semata, melainkan melalui konstruksi sosial. Dengan konstruksi sosial ini dapat berlaku perputaran gender, yaitu laki-laki tidak harus menjadi maskulin, dan perempuan tidak harus menjadi feminin.
Perkembangan pesat gerakan feminisme pun terjadi dalam ranah akademik. Barat dengan dominasi ilmu pengetahuannya menyebarkan gerakan ini ke seluruh budaya dan masyarakat dunia. Namun, gerakan ini tidak serta merta diterima oleh perempuan di dunia ketiga, dan mereka pun mulai bersuara atas diri mereka sendiri. Seiring dengan meluasnya kajian tentang poskolonialisme, perempuan dunia ketiga menggugat bahwa perkembangan feminisme selama ini sangat kontekstual dan Eurosentis karena merupakan kelanjutan dari naluri penjajahan Barat.
Salah satu unsur penting dari wacana kolonial adalah ‘misi pemberadaban’. Dalam misi pemberadabannya, masyarakat dunia ketiga seakan-akan perlu dibimbing dan didampingi agar kemudian mencapai kemajuan yang sama seperti yang (konon) dimiliki perempuan Barat (Bandel, 2016). Padahal perempuan dunia ketiga menganggap bahwa selama ini perempuan kulit putih hanya mewakili dirinya sendiri, dan mereka tak sepatutnya mendikte hal yang sama pada semua perempuan. Melalui hal inilah lahir gelombang ketiga feminisme atau biasa disebut posfeminisme.
Tahun 1990-an sering disebut sebagai irisan awal feminisme dengan suara-suara intelektual Muslimah. Leila Ahmed, Fatima Mernissi, and Amina Wadud merupakan Muslimah yang menggunakan feminisme sebagai alat untuk membedah masalah perempuan dalam Islam. Meskipun beberapa di antara mereka menolak disebut sebagai feminis Muslim, tetapi secara eksplisit mereka menggunakan teori feminis sebagai pisau analisis untuk membedah normativitas maupun historisitas ajaran Islam.
Seedat menyebut setidaknya terdapat beberapa golongan intelektual Muslimah yang mengkaji konvergensi Islam dan feminisme. Yang pertama adalah kelompok yang menolak semua persinggungan antara keduanya karena feminis disebut sebagai sistem yang materialistik dan tidak sesuai dengan Islam seperti yang disebut Zeenath Kausar. Sedangkan Moghissi menilai Islam secara inheren patriarkis sehingga tak mungkin bisa disatukan dengan feminism. Kelompok kedua merupakan Muslimah yang secara eksplisit menyebut kerja mereka sebagai feminisme Islam. Mereka menggunakan terma-terma dalam teori feminisme.
Dalam bukunya yang berjudul Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, Katrin Bandel menulis bahwa kajian gender dan feminisme yang selama ini berkembang di dunia ketiga terkait erat dengan sebuah wacana kolonial. Wacana kolonial adalah sebuah keyakinan atas superioritas bangsa Eropa, atau superioritas ras kulit putih atas manusia lain (Bandel, 2016: 5). Dalam hal ini kolonialisme dibentuk sedemikian rupa sebagai sebagai sebuah kewajaran atau bahkan kebaikan. Manusia non-Barat dianggap sebagai seorang primitif, bodoh, irasional, dan serupa anak-anak yang sewajarnya perlu dibimbing dan diperintah oleh orang Barat. Mereka juga dianggap tak mampu mengurus dirinya maupun mengangkat derajat budayanya sendiri.
Dengan lebih eksplisit, Jasmin Zine menjelaskan letak keterjebakan Feminisme pada sikap rasisme yang inheren di upaya ‘pemberadaban’ kolonialis Barat. Ia menulis; “Dengan membahas persoalan-persoalan seksisme dalam komunitas dan masyarakat kami sendiri (Muslim), feminis Muslim akan segera terjebak pada rasisme dan Islamophobia, yang secara negatif mengesensialisasikan pengalaman tersebut sebagai rujukan yang seakan-akan menjadi ciri manusia Muslim dan agama Islam secara umum (Zine, 2008).
Esensialisasi adalah anggapan bahwa suatu atribut memang sudah menjadi bagian esensial dari satu golongan, sehingga ia mustahil bisa mengubahnya sendiri. Ketika seksisme dianggap bagian esensial dari umat dan ajaran Islam, itu bermakna bahwa Islam dan Muslim memang seksis ‘dari sananya’ sehingga hanya bisa berubah jika mereka dipaksa keluar dari ‘kungkungan’ Islam. Anggapan ini sejajar dengan anggapan esensialis kaum rasis kulit putih bahwa orang kulit hitam itu memang cenderung kejam sehingga wajar bila banyak yang masuk penjara karena tindakan kriminalitas.
Konsekuensi dari adanya unsur esensialisasi dalam wacana Feminisme terhadap umat Islam ini, Feminisme sering dijadikan alat untuk menjustifikasi kehadiran Barat yang hegemonik di berbagai negara Islam. Pada masa kolonial, Feminisme hadir sebagai paket dari misi ‘pemberadaban’. Joseph Massad di dalam Islam in Liberalism (2015) misalnya mengungkap bagaimana Lord Cromer, perwakilan Inggris di Mesir, memanfaatkan wacana emansipasi perempuan untuk mempertegas perlunya Inggris hadir di Mesir. Tanpa kehadiran Inggris, orang Mesir akan selalu menindas perempuan. Begitu logika dibalik misi ‘pemberadaban’ ini. Kelakuan Lord Cromer bahkan membuat Feminis Muslim seperti Laila Ahmed mengutuk pelopor emansipasi perempuan Mesir, Qasim Amin. Menurutnya, Qasim Amin tak lebih dari agen binaan Lord Cromer (Ahmed, 1992).
Fenomena misi ‘pemberadaban’ dimana Feminisme dimanfaatkan untuk menjustifikasi penjajahan ini tidak berakhir seiring selesainya periode kolonialisme. Bahkan di konteks saat ini, Feminisme kembali dijadikan alat untuk menjustifikasi rangkaian invasi dan intervensi Amerika dan sekutunya di beberapa negara, terutama negara Islam. Fenomena ini misalnya diungkap oleh Lila Abu Lughod di dalam tulisannya yang terkenal, “Do Muslim Women Need Saving?” (2013). Ia menunjukan bagaimana isu perempuan secara sistematis digunakan untuk membenarkan tindakan ilegal Amerika Serikat dan sekutunya di Afghanistan. Dalam invasi itu, isu-isu hak perempuan selalu disebut-sebut. Secara sensasional praktik-praktik kebudayaan Afghanistan dimisrepresentasikan sebagai bentuk penindasan pada perempuan. Semua upaya ini sukses menipu banyak orang, mengalihkan mereka dari kejahatan perang negeri Paman Sam itu.
Belakangan, beberapa feminis Muslim berkelit dan menyatakan bahwa varian feminisme mereka tidaklah hegemonik. Tidak bias Barat dan dengan demikian tidak selayaknya dicurigai. Namun bagi kita, hal itu tidaklah cukup. Kadang-kadang, retorika mereka seolah mendukung aspirasi Islam, tapi berangkat dari worldview yang terkungkung. Semisal ada yang membela Muslimah berjibab, tapi alasannya demi ‘otoritas atas tubuh’. Ini tetap saja bias. Tindakan berjilbab seorang Muslimah ‘dibajak’ sebagai kendaraan mengampanyekan prinsip otoritas tubuh ala mereka. Pada saat bersamaan mereka meminggirkan narasi motif berjilbab dari banyak Muslimah, yakni bahwa mereka berjilbab sebab menutup aurat merupakan perintah Allah. Argumen seperti ini misalnya diungkapkan seorang feminis tanah air yang cukup vokal dan populer (Citta, 2016).
Dalam konteks yang lebih sempit, menarik untuk menyimak pengalaman pribadi dari Katrin Bandel. Ia adalah seorang muallaf Jerman yang ahli dalam studi Poskolonial. Awalnya, ia mungkin hanya mengkritik bias-bias kolonialis sebagai seorang pengamat. Namun begitu memeluk Islam, lalu menutuskan berjilbab, ia akhirnya mengalaminya sendiri.
“Sekitar dua tahun lalu (maksudnya tahun 2014 ed. sebelum penulis berjilbab) saya kedatangan tamu seorang wartawan Jerman yang mewawancarai saya dengan topik utama seputar sastra Indonesia kontemporer. Dalam pembicaraan yang cukup panjang itu, sekali-sekali wartawan itu bertanya tentang hal yang lebih umum, di luar persoalan dunia sastra. “Makin banyak perempuan Indonesia yang memakai jilbab sekarang, ya?” ungkapnya, kemudian dia melanjutkan dengan mengutarakan keprihatinannya akan hal tersebut. Terungkap dengan jelas betapa baginya, ada pertentangan antara jilbab, sebagai tanda semakin kuatnya nilai Islam dalam masyarakat, dengan emansipasi dan kemajuan perempuan.
Saya agak kewalahan menghadapi situasi itu. pada saat itu, saya belum berjilbab, dan tampaknya wartawan Jerman itu mempersepsi saya sebagai “sesamanya”, yaitu sebagai non-Muslim, atau lebih spesifik, sebagai perempuan Eropa berpendidikan tinggi dan berpandangan sekuler. Komentarnya tentang jilbab mengasumsikan sebuah pengetahuan bersama yang seakan-akan sama sekali tak perlu dipertanyakan lagi: Tentu saja menguatnya nilai Islam adalah hal yang buruk untuk perempuan, sedangkan melemahnya nilai Islam akan lebih baik untuk perempuan” (Bandel, 2016: 1).
Tahun berganti dan Katrin Bandel memutuskan untuk mengenakan jilbab, suatu hal yang asing bagi perempuan bule Jerman nan berkulit putih. Mengutip Ozyurek, Katrin menjelaskan bahwa masyarakat umum di Jerman telah memarjinalisasi orang Jerman yang masuk Islam serta meragukan kejermanan dan keeropaan mereka. Hal ini didasarkan keyakinan bahwa tidak mungkin bagi seseorang menjadi Jerman atau Eropa dan Muslim sekaligus. Ditambah lagi ketika mereka memutuskan mengenakan jilbab, derajat sosial mereka semakin menurun, karena jilbab dianggap sebagai simbol keterbelakangan dan penindasan pada perempuan Muslim di dunia.
Dengan demikian, ada baiknya Muslimah merenungkan tentang beberapa hal terkait Feminisme. Pertama, Feminisme memang lahir sebagai ‘obat’ dari problem dehumanisasi perempuan di Barat. Belakangan, ‘obat’ ini kemudian dicoba diuniversalkan, sama seperti banyak produk pemikiran Barat lainnya. Namun proses universalisasi itu justru mengungkap bias-bias Feminisme sendiri, selain ia juga kerap menjadi paket dari misi ‘pemberadaban’; sebagai justifikasi intervensi, atau bahkan invasi kekuatan Barat di berbagai tempat, khususnya negeri-negeri kaum Muslimin.
Oleh karena itu, Feminisme dengan beban sejarah serta bias-bias Baratnya itu bukanlah sebuah gerakan yang ideal untuk mewakili aspirasi-aspirasi mereka. Ini tentu bukan berarti kita menafikan adanya masalah-masalah di tubuh umat Islam dalam kaitannya dengan perempuan. Namun Muslimah harus mampu berbicara untuk diri mereka sendiri. Menggali solusi-solusi dari ajaran Islam dengan metodologi yang telah digariskan oleh para ulama otoritatif. Ingatlah peringatan Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, “(di dunia Islam) pesona (Feminisme) hanya menarik bagi mereka yang telah kehilangan kontak dengan semesta tradisi intelektual dan spritual mereka”.
*Penulis merupakan Peneliti The Center for Gender Studies yang saat ini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta.
ed: Sakinah
artikel ini bisa dilihat juga di santricendikia.com