Rahmatul Husni*
Terma “gender” memiliki banyak definisi. Diantara yang umum dikenal maknanya yaitu sebagai ciri perilaku, budaya, atau psikolologis yang biasanya dikaitkan dengan satu jenis kelamin. Pamela Sue Anderson menyatakan, istilah gender yang didefinisikan oleh konstruksi sosial budaya sekarang menjadi lawan istilah sex (jenis kelamin) sebagai karakteristik alami. Istilah gender yang terlahir dari rahim feminisme membuat pemisahan antara konsep identitas jenis kelamin dengan konsep konstruksi sosial jenis kelamin tersebut.
Simone de Beauvoir berpendapat bahwa pembebasan kaum perempuan ditempuh melalui jalan pemikiran dan praktik. Pada jalan pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkis yang membuatnya tidak leluasa mengaktualisasikan diri. Sementara pada jalan praktik, Beauvoir mengusulkan tentang pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah budaya, dan politik melalui revolusi sosial.
Belakangan, istilah ini digunakan oleh feminis untuk menyanggah argumen tentang faktor biologi gender sebagai takdir (Jolly, 2006). Berangkat dari trauma akibat sejarah kelam yang dialami perempuan di masa lalu; sejak zaman Plato dan Aristoteles hingga tokoh abad pertengahan dan modern, seperti St Clement dari Alexandria, St Agustinus John Locke, Rousseau, dan Nietzche, semuanya seolah bermufakat, wanita adalah makhluk hina-dina, biang kerok segala permasalahan. Dan pada saat ini para pengusung kesetaraan gender nampaknya ingin keluar dari problematika gender yang mereka anggap seolah telah membelenggu takdir seorang perempuan.
Di antara pengusung arus utama kesetaraan gender sendiri sebenarnya masih ada perdebatan dalam memaknai perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi, ada yang menganut konsep nature sebagai perbedaan alami sehingga kesetaraan yang dibutuhkan adalah keadilan sesuai konteks. Sementara di sisi lain penganut konsep nurture memaknai kesetaraan sebagai persamaan secara kualitatif, sebab menganggap perbedaan adalah hasil cipta-rasa- karya manusia (Khuza’i, 2018). Oleh karena itu penghapusan batas-batas gender diyakini sebagai suatu keniscayaan.
Sekilas, konsep nature memberikan pengakuan tentang adanya fitrah yang membedakan antara laki dan perempuan, baik secara biologis maupun sosial. Dalam pandangannya, konsep ini mengakui adanya kekuatan alam berupa kodrat biologis serta pengaruhnya dalam pembedaan peran serta perilaku laki-laki dan perempuan. Namun sayang, tidak ada integrasi antara konsep ketuhanan dan agama sehingga memungkinkan pengakuan perbedaan itu akan bergeser nilainya seiring perkembangan zaman (Khuza’i, 2018). Sedang pada konsep nurture yang banyak dianut oleh feminis radikal, jelas nampak kontradiksinya dengan konsep ajaran Islam sebab memisahkan antara aspek biologis dan sosial.
Adil dan Setara
Dalam Islam, terdapat konsep “adil” yang lebih tinggi maknanya daripada konsep kesetaraan. Dalam Tafsir al-Azhar, Prof. Buya Hamka menjelaskan makna adil sebagai, “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zhalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zhalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah adalah kawan atau keluarga sendiri.” Jadi adil bukanlah sama-rata sama-rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang seharusnya dipahami dengan perspektif pandangan dunia Islam oleh semua Muslim (Husaini, 2012).
Sampai disini, kita melihat frasa “kesetaraan gender” memiliki dua problem utama; (1) kata “gender” yang memiliki dualisme pemahaman konsep (nature dan nurture), dan (2) diksi “kesetaraan” yang menambah kacau pemahaman gender itu sendiri. Maka yang perlu diperhatikan dalam memaknai dan memahami gender yaitu harus ada acuan baku yang otoritasnya diakui secara mendunia agar diksi itu tidak mengalami pergeseran nilai dan makna. Al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam sebenarnya telah memenuhi kriteria ini. Islam telah mengakui perbedaan laki-laki dan perempuan, memuliakan keduanya dengan syarat-syarat tertentu, dan otoritasnya melampaui dimensi zaman.
Dalam Islam, wanita itu mulia by default. Sebagai anak/istri/ibu/saudari/hamba Allah (muslimah), kemuliaan itu telah melekat dan tak mungkin lepas dari dirinya (Pawitasari, 2015). Tak perlu repot-repot mengusung kesetaraan, ajaran Islam telah memberikan keadilan bagi kedua insan, laki-laki dan perempuan. Yang diperlukan kemudian adalah framework dan worldview untuk mengoptimalkan akal sehat. Jangan sampai seperti iblis yang hanya percaya kepada Tuhan tetapi tidak mau taat.