Oleh : Dr. Ahmad Alim, Lc,M.A*
Akhir-akhir ini masalah lesbianisme telah menarik perhatian masyarakat luas, baik dari kalangan media, tokoh agama, akademisi, dan bahkan menjadi topik hangat dalam kampanye politik Obama. Bahasan mengenai lesbianisme kemudian dikaji secara intensif dalam diskusi dan forum-forum akademik, terkait dengan adanya RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KG) serta kedatangan tokoh Lesbi Kanada ke Indonesia. Persoalan ini tentunya harus dilihat dari perspektif hukum Islam, bukan pandangan sekularisme atau humanisme. Karena, hukum Islam adalah pedoman yang sesuai dengan fitrah manusia. Sekularisme dan humanisme hanya menilai persoalan secara parsial, bahkan menyesuaikan diri dengan nafsu manusia. Sedangkan jiwa manusia akan terus menuruti hawa nafsu jika tidak dibimbing oleh wahyu atau aturan Allah. Hukum Islam ditegakkan dalam rangka mengendalikan hawa nafsu, agar manusia tetap pada fitrahnya.
Lesbian, telah lama dikaji oleh para ulama’, baik dari sisi pengertian maupun hukumnya. Ia telah disepakati sebagai perilaku menyalahi fitrah dan hukumnya haram. Istilah lesbian dalam Lisaanul ‘Arab disebut اَلسَّحْقُ yang artinya ialah lembut dan yang halus. Kemudian dari kata ini, berkembang kalimat مُسَاحَقَةُ النِّسَاء, yang berarti hubungan badan yang dilakukan oleh dua orang wanita sebagaimana yang dilakukan oleh kaum luth(gay) (Ibn Mandzur, Lisan Al-A’rab, Entri Sahq (سحق). Sebagian ulama seperti Imam Alusy menyamakan antara sihaq(lesbi) dengan perilaku kaum luth (gay), karena illah (alasan) perbuatannya sama, yaitu penyimpangan seksual yang dilaknat oleh agama (Alusy, Ruhul Ma’ani, Volume VIII, hlm. 172-173).
Keji dan Haram Mutlak
Kedua perilaku menyimpang ini, baik lesbi dan gay sama-sama dikutuk oleh Islam. Oleh karenanya Rasulullah Salallahu alaihi wasallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar menjauhi perbuatan ini. Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah Salallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth”.(HR. Ibnu Majah : 2563). Dalam hadist yang lain, Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)”. (HR Nasa’i. No. 7337)
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama telah sepakat bahwa praktek lesbi adalah haram secara mutlak, dan tidak ada khilaf diantara mereka dalam masalah ini, bahkan perbuatan ini disebut sebagai zina perempuan(زِنَى النِّسَاءِ). Hal itu berdasarkan sabda Nabi Salallahu alaihi wasallam:
” السحاق زنى النساء بينهن “.
“Praktek lesbi adalah zina perempuan diantara mereka” (Hadis dikeluarkan oleh Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Pustaka Dar Al-Sa’adah, Vol.IX, hlm.30). Dalam hadis yang lain, Nabi salallahu alaihi wasallam bersabda:
” إِذَا أَتَتِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَهُمَا زَانِيَتَانِ “
“Apabila seorang wanita mendatangi (menyetubuhi) seorang wanita maka keduanya berzina” (Ibn Qayyim, Al-Jawab Al-Kafi, Dar Al-Ma’rifah,1997, hlm.177)
Menyimpulkan hadis tersebut, Ibn Hajar menggolongkan perbuatan lesbian ini sebagai bentuk penyimpangan fitrah manusia, dan pelakunya termasuk dalam kategori pelaku dosa-dosa besar yang mewajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah (Ibn Hajar, Al-Zawajir A’n Iqtiraf Al-Kaba’ir, Mesir : Al-Azhariyyah Al-Mishriyyah, Vol.2,hlm.119).
Dari sisi yuridis (hukum), para ulama telah sepakat bahwa hukuman bagi pelaku sihaq (lesbi) adalah ta’zir, dimana pemerintah yang memiliki wewenang untuk menentukan hukuman yang paling tepat, sehingga bisa memberikan efek jera bagi pelaku perbuatan haram ini. Ibn Qayyim berkata dalam Al-Jawab Al-Kafi sebagaimana berikut :
وَلَكِنْ لاَ يَجِبُ الْحَدُّ بِذَلِكَ لِعَدَمِ الإِيْلاَجِ، وَإِنْ أُطْلِقَ عَلَيِهِمَا اسْمُ الزِّنَا الْعَامُ
“Akan tetapi, tidaklah wajib padanya (yaitu dalam perbuatan lesbi) hukuman (bunuh) karena tidak adanya ilajj (solusi/obat, yaitu jima’) walaupun disematkan kepada keduanya (yakni homo dan lesbi) nama zina secara umum” (Ibn Qayyim, Al-Jawab Al-Kaf, hlm.177). Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan bahwa lesbi termasuk kategori zina, meski hukumannya berbeda. Ia mengatakan :
وَإِنْ تَدَالَكَتْ امْرَأَتَانِ، فَهُمَا زَانِيَتَانِ مَلْعُونَتَانِ; لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: إذَا أَتَتْ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، فَهُمَا زَانِيَتَانِ. وَلا حَدَّ عَلَيْهِمَا لأَنَّهُ لا يَتَضَمَّنُ إيلاجًا يعني الجماع. فَأَشْبَهَ الْمُبَاشَرَةَ دُونَ الْفَرْجِ، وَعَلَيْهِمَا التَّعْزِيرُ. انتهى
“Apabila dua perempuan saling bergesekan (lesbi), maka keduanya adalah berzina yang dilaknat, karena telah diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda :” jika perempuan mendatangi perempuan, maka keduanya adalah berzina”. Keduanya tidak dihadd, karena tidak adanya ilajj yaitu jimak. Maka hal itu serupa dengan mubasyaroh ( مُبَاشَرَةٌ ) – bersentuhan – tanpa farji dan keduanya harus dita’zir”( Ibn Qudamah,Al-Mughni, Vol.10, hlm.162).
Jadi, hukuman bagi lesbi adalah ta’zir. Hukuman ta’zir tidak sampai membunuh pelakunya, tidak sebagaimana rajam bagi pezina laki-laki dan perempuan. Meski begitu, bukan berarti ini dosa sepele. Justru lesbi juga perbuatan keji. Ia bentuk dari zina yang dilaknat oleh Allah. Ia disamakan dengan liwath – zina yang pernah dilakukan kaum nabi Luth. Lesbi dan liwath adalah perbuatan keji, yang bisa mengundang adzab Allah.
Apabila hukuman ta’zir tersebut tidak terlaksana di dunia, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan di akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman :
وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَشَقُّ
Dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 34).
Konsekuensi Hukum
Selain ta’zir seperti dijelaskan di atas, perbuatan lesbian mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, menyangkut ibadah dan mu’amalah. Telaah dijelaskan bahwa hukum lesbi adalah haram mutlak dan ia bentuk dari zina. Dalilnya jelas, dan tidak ada ulama’ yang melegalisasinya. Maka, legalisasi dan penghalalan lesbian melalui media,buku,seminar, merupakan kategori bentuk kekufuran. Pelaku pelegalan seperti ini dikecam oleh agama. Rasulullah salallahu alaihi wasallam menyebut orang yang menyebarkan kekufuran itu sebagai sebagai “Duat Ila Abwabi Jahanam” (para penyeru kepada pintu jahanam). Beliau bersabda:
قال رسول الله : (دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ, مَنْ أَطَاعَهُمْ قَذَفُوْهُ فِيْهَا)
“Mereka itu, para penyeru menuju pintu neraka jahanam, barangsiapa yang taat kepada mereka niscaya mereka menjerumuskannya di dalamnya” (HR. Bukhari hadis No. 3606, 7084 dan Muslim, hadis no. 1847).
Jika ada dua wanita yang melakukan pernikahan, maka bentuk nikah itu tidak sah. Tidak ada dalil yang membenarkannya. Dalam perspektif fikih, pernikahan lesbian termasuk dalam kategori nikah sejenis dan hukumnya batal, alias tidak sah secara hukum Islam karena telah keluar dari Al-Maqasid Al-Syar’iyyah Al-Kubra yaitu hifdz al-nasl (melestarikan keturunan) (Izz Al-Din Abd Al-Salam, Al-Qawaid Al-Kubra ,hlm.15).
Hal lainnya yang juga perlu diketahui – khususnya pelaku lesbian – bahwa perilaku lesbi dapat membatalkan wudhu. Imam Malik berkata :
لَمْسُ امْرَأَةٍ لأِخْرَى بِشَهْوَةٍ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ، لأِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا تَلْتَذُّ بِالأْخْرَى
“Menyentuh wanita sesama wanita jika diiringi dengan syahwat, maka hal itu dapat membatalkan wudhu, karena keduanya saling merasakan kenikmatan birahi”( Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin ,Vol.I, hlm.99). Maka, hendaknya para muslimah berhati-hati, jika bersentuhan dengan sesamanya jangan sampai kepada jatuh kepada kenikmatan birahi. Sebab bisa menggiring kepada kesenangan sejenis.
Selain membatalkan wudlu, pelakunya juga wajib mandi, sebagaimana wajibnya seorang lelaki dan wanita berhubungan. Jika pelaku sihaq (lesbi) tersebut terjadi inzal (keluar mani) maka baginya kewajiban untuk mandi hadast besar (Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin, Vol.I, hlm.107). Jika melakukannya sedang dalam puasa, maka puasanya batal. Praktek sihaq ini dapat membatalkan puasa jika terjadi inzal(keluar mani), dan baginya wajib membayar kafarat puasa ramadhan (Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin, hlm.100).
Begitulah, lesbian sungguh keji, termasuk pelakunya. Pelakunya tidak mendapat kehormatan. Misalnya, kredibilitasnya dalam hukum ditolak. Pelaku lesbi ditolak kesaksiaannya di pengadilan, karena termasuk wanita yang fasik. Sebagaimana yang telah maklum bahwa syarat menjadi saksi adalah adil(al-‘adalah), sementara perilaku sihaq (lesbi) mengeluarkan pelakunya dari sifat al-‘adalah menuju kefasikan sehingga persaksian tidak sah dengan sifat fasik yang melekat padanya (Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin ,Vol.IV, hlm.238).
Karena begitu keji praktik lesbian itu, maka hukum fikih mengatur dan berusaha mencegahnya sejak dini jika ada wanita yang memiliki potensi lesbian. Jika telah terjadi, maka dua pelaku harus dipisah dengan wanita yang lain, sampai ia benar-benar sembuh. Pelaku sihaq (lesbi) dilarang memandang dan bergaul dengan wanita muslimah, sebagaimana laki-laki yang memandang wanita yang bukan mahramnya, karena dikhawatirkan terjadinya fitnah(Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin ,Vol.V, hlm.238).
Penulis adalah Ketua Progam Kader Ulama PPMS Ulil Albaab UIKA (Universitas Ibnu Khaldun ) Bogor
Red: Kholili
semoga kita dan keturunan kita di jauhkan dari perbuatan kaum nabi Luth.