ThisisGender.Com-Sabtu (30/06/2012) lalu bertempat di Sekretariat INSISTS, Kalibata, Jakarta Selatan. INSISTS kembali adakan diskusi dwipekanan dengan mengundang Dr. Saiful Bahri M.A, alumnus dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini, lebih fokus membahas metodologi yang digunakan oleh para pengusung ide dan gerakan-gerakan kesetaraan gender. Dalam pemaparannya, Dr. Saiful Bahri, M.A menyebutkan metode-metode yang digunakan kaum liberal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga mengakibatkan berbagai klaim bahwa terdapat banyak ayat yang mysoginis.
“Metode yang digunakan ialah metode Hermeneutika, yaitu terbukanya pentakwilan secara bebas karena Al-Qur’an diposisikan sebagai teks dan bukan wahyu. Selain itu, mereka juga menggunakan beberapa pendekatan untuk menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an seperti pendekatan sejarah, pendekatan psikologi, sosiologis dan antropologis dengan memposisikan agama sebagai objek sejarah dan anggapan Al-Qur’an sebagai produk budaya. Sehingga makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an menjadi relatif dan dapat berubah-ubah sesuai konteks dan konstruk sosial masyarakat saat itu. Semua ini berangkat dari pemahaman yang parsial dan tidak komprehensif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sehingga mengakibatkan penafsiran yang jauh melenceng dari makna yang sebenarnya”, jelas Doktor yang mengambil jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an ini kepada para peserta yang hadir.
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mereka klaim sebagai bias gender dan terkesan diskriminatif, bila ditelaah secara kritis bermakna jauh dari apa yang mereka tuduhkan. Seperti contohnya, tuduhan kaum feminis terhadap kata ‘Zauj’ yang sering muncul dalam Al-Qur’an yang mereka artikan sebagai suami. Padahal jika ditelaah, ‘Zauj’ berarti pasangan yang serasi, yang sama-sama baik di hadapan Allah. Pasangan serasi merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah karena berkat izin-Nyalah dua jenis manusia yang serba berbeda, baik jenis kelamin, latar belakang dan hubungan keluarga bisa menyatu. Karunia seperti ini akan mendatangkan rasa syukur saat membina rumah tangga. Berbeda dengan masyarakat Barat yang mengakui segala jenis pernikahan dengan membebaskan pemilihan pasangan, tidak peduli sesama jenis, mempunyai hubungan darah bahkan ekstrimnya membolehkan memilih hewan peliharaan sebagai pasangannya. Maka, kebebasan seperti ini tidak akan mendatangkan karunia Allah.
Memanipulasi Istilah
Menurut pria yang menyelesaikan program doktoralnya tahun 2011 lalu ini, cara-cara yang dilakukan untuk menyebarkan ide-ide kesetaraan gender sangat halus dan rancu yaitu dengan memanipulasi serta membungkus makna asli ideologi mereka dengan istilah-istilah yang terdengar baik dan terkesan membela hak-hak kaum wanita, seperti kesetaraan, keadilan, pembangunan dan lain-lain.
“Kalau dulu mereka menggunakan pendekatan filosofis itu mudah dipatahkan, sekarang mereka gunakan pendekatan bahasa”, ujar pria yang juga menjadi Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta ini. Inilah yang menurutnya disebut sebagai perang terminologi. Maka, menjadi suatu keharusan memahami bahasa khususnya akar bahasa Arab agar mampu menemukan kesalahan-kesalahan mereka dalam penafsiran ayat-ayat dalam Al-Qur’an.
Jika ditelaah secara kritis, apa yang mereka perjuangkan sebenarnya berujung pada desakralisasi agama yaitu dengan cara melakukan pengrusakan dan disharmonisasi institusi keluarga. Wacana-wacana mereka hanya berkutat pada tataran teoritis saja yang banyak terpengaruh oleh kondisi emosional. Padahal pada prakteknya, banyak terjadi ketidakkonsistenan antara wacana dengan aplikasi kehidupan mereka.
Kuatkan Family Mainstreaming
Menurut pria yang juga aktif di Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta ini, permasalahan gender bukan hanya soal keperempuanan dan isu-isu LGBT. Tetapi yang lebih mendasar ialah pengupayaan desakralisasi keluarga yang berpuncak pada wacana anti keluarga. Dengan memaksakan persamaan secara mutlak antara laki-laki dan perempuan, seorang istri akan merasa berhak untuk melakukan hal yang sama dengan sang suami, dan ini akan memicu berbagai konflik keluarga yang dampaknya akan menimpa rusaknya keluarga itu sendiri. Inilah yang menjadi tujuan jangka panjang kaum feminis dalam mengkampanyekan kesetaraan gender.
“Jika kesamaan secara mutlak itu tidak mungkin terjadi, lebih baik hapuskan saja kata kesetaraan dan ubah dengan keadilan dan keseimbangan gender”, tegas pria yang juga aktif dalam berbagai training-training tentang keluarga tersebut. Menurutnya, solusi untuk mengatasi isu kesetaraan gender ini ialah dengan mengadakan pengarusutamaan keluarga (family mainstreaming).
“Jika harmonisasi keluarga sudah kuat, insya Allah tidak akan ada isteri yang membangkang suami, tidak akan ada perselingkuhan, hilang kepercayaan, dan faktor-faktor lain yang menyebabkan rusaknya sebuah rumah tangga”, ungkapnya.
Beliau juga menegaskan, bahwa family mainstreaming itu bukan keluarga tanpa percecokkan, tetapi bagaimana cara untuk saling bertahan dan mampu mengambil sikap yang tepat dari setiap konflik yang terjadi.
“Intinya, family mainstreaming ini adalah kembali ke rumah, bagaimana menciptakan rasa nyaman di rumah, dan menjadikan rumah sebagai basis pendidikan anak. Sehingga terciptalah keharmonisan keluarga”, tutupnya.
Rep: Sakinah
Ed: Sarah Mantovani