oleh: Mohammad Ismail
BARU-baru ini kita disuguhi tontonan yang menyesakkan dada. Tontonan ini bukanlah film action. Tontonan ini beda dengan tontonan-tontonan yang biasa kita lihat di layar kaca. Tontonan ini adalah tindakan anarkis (tawuran) yang diperankan oleh para pelajar. Artinya, mereka masih belajar di bangku sekolah. Fenomena anarkisme ini terjadi antara SMK Kartika Zeni, Matraman, dan SMA Yayasan Karya 66 (Yake), Kampung Melayu. Parahnya, akibat tawuran ini, salah satu siswa dari SMA Yake yaitu Deni Yanuar dengan pelaku yang berinisial AD.
Sepertinya, tawuran telah menjadi kegiatan ekstrakurikuler para siswa. Uniknya kegiatan ekstra ini diciptakan oleh para siswanya sendiri. Bukan dari pihak sekolah. Bisa jadi ini disebabkan karena pelajar kekurangan kegiatan sekolah sehingga mereka mencari kegiatan lain untuk mengekspresikan jiwa pemudanya. Tapi apakah benar demikian?. Mari kita lihat.
Sistem Pendidikan yang Bermasalah
Kenapa tawuran seperti itu sering terjadi?. Pertanyaan ini pasti keluar dari pikiran berbagai pihak. Bukan hanya para guru. Masyarakat pun pasti mempertanyakan hal serupa. Bukan hanya kalangan elit politik. Orang yang kurang berpendidikan pun akan bertanya-tanya apabila melihat fakta ini. Untuk itu, penulis ingin mencoba menelusuri letak permasalahannya.
Seorang pelajar adalah kader bangsa. Pelajar adalah orang yang berpendidikan. Oleh karena itu, mereka disekolahkan di berbagai tempat hanya untuk menuntut ilmu. Mereka dididik dengan harapan menjadi pemimpin-pemimpin yang berilmu. Yang mampu membawa perubahan bangsa ini dengan ilmunya.
Jika sekolah adalah tempat menimba ilmu, lantas kenapa banyak tawuran (kekerasan) terjadi di sana-sini. Jika demikian berarti ada yang salah. Kesalahan itu bisa jadi karena faktor internal atau eksternal. Faktor internal di sini adalah faktor niat para pelajar dalam menuntut ilmu. Sementara faktor eksternal bisa juga terjadi akibat dari provokasi orang luar atau sistem pendidikan yang ada di sekolahan tersebut. Bahkan bisa jadi terletak pada sistem pendidikan nasional kita.
Hanif Dhakiri (Sekretaris FPKB DPR) mengatakan, “Peristiwa ini diakibatkan oleh masyarakat yang kerap mempertontonkan intoleransi sosial. Sehingga dengan atau tanpa disengaja banyak berpengaruh terhadap aksi dan tindakan brutal para pelajar atau remaja”. (detik.com, 27/09/2012).
Selain Hanif, Jokowi pun ikut mengomentari peristiwa tersebut demikian, “Itu bukan lagi hanya permasalahan kota. Namun, sudah menjadi isu nasional, dilihat dari intensitas kejadian dalam sepekan. Hal tersebut sudah di luar kewajaran,”. (Kompas, 27/9/2012).
Argumen Hanif seperti ini belum tentu benar. Bahkan bisa jadi menyudutkan salah satu pihak yaitu masyarakat. Apalagi opini Jokowi. Jika hal tersebut dianggap Jokowi di luar kewajaran, berarti ada kemungkinan tawuran yang wajar. Tentu ini tidak bisa diterima begitu saja.
Apapun jenis tawurannya, sudah pasti itu tidak wajar. Apalagi dilakukan oleh pelajar.
Penulis lebih cenderung bahwa penyebab dari kebrutalan pelajar kita adalah diakibatkan sistem pendidikan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Oleh karena itu sistem pendidikan di Indonesia perlu dikaji ulang.
Merujuk pada Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003 bab 1 pasal 1 butir 2 tertulis;
“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama….”.
Poin undang-undang ini jelas merujuk pada nilai-nilai agama. Akan tetapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pendidikan tidak lagi berakar dari butir-butir Pancasila, apalagi nilai-nilai agama. Bahkan lembaga pendidikan kita justru menjauh dari nilai-nilai tersebut.
Faktanya, pendidikan kita menjadikan agama sebagai “ritual” semata. Proses mendidik terus berjalan, tapi tujuannya tidak pernah tercapai. Pelajar makin jauh dari adab. Bahkan tidak beradab. Mengutip perkataan al-Ghazali, hal yang demikian dikarenakan tiga hal: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Pendidikan kita adalah pendidikan yang zalim karena tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Misalnya, mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan, keimanan dengan kemusyrikan. Di kelas, pelajar disuguhi materi keagamaan akan tetapi di luar kelas mereka bebas melakukan kemaksiatan.
Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan bahwa orientasi yang tidak menitikberatkan pada agama adalah suatu kebodohan. Bodoh dalam menentukan suatu tujuan belajar. Pelajar jadi bodoh tentang cara mencapai tujuannya. Bahkan, yang dilakukan pelajar kita adalah bisikan Machiaveli yaitu “Anda harus bisa kaya dengan segala cara”. Ini adalah suatu kebodohan.
Mengutip pernyataan Gus Hamid (Direktur INSISTS), orang Barat begitu percaya diri dengan konsep yang mereka ciptakan. Cardinal John Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran Universitas Humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep Universitas Humanis-Eksistensialis. J. Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran Universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat.
Tapi, mengapa justru “Islam” hanya menjadi atribut sekolah-sekolah kita, yang penduduknya masyoritas Muslim. Sehingga nilai-nilai keislamannya pun menjadi kabur karena tidak tercermin dalam diri para pelajarnya. Lembaga pendidikan Islam terbukti masih malu-malu memerankan pendidikan Islam yang siap membangun peradaban.
Seharusnya, sistem pendidikan yang diterapkan ialah sistem yang mampu membangun konsep-konsep islami. Seperti, konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, dsb.
Sekolah pun harus berani menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari peradaban Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sekolah harus mampu menjadi sumber gerakan moral dan sosial. Sekolah harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab (sebagaimana juga nilai Pancasila dituangkan) agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.
Penutup
Jadi, lembaga pendidikan harus berani menanamkan nilai-nilai pendidikan yang islami. Bukan sekedar mengajari bagaimana cara bermoral. Lebih dari itu, sekolah harus mampu mengontrol moral siswanya. Guru harus menjadi qudwah (teladan). Materi keagamaan tidak hanya dijadikan sebagai ritual semata. Bahkan, sistem atau kurikulum yang jauh dari nilai-nilai agama (Islam) pun bila perlu direvisi, demi terciptanya pelajar yang sadar ilmu dan agama.
Sebagai catatan akhir, ini semua tentu tidak dapat berjalan jika dilakukan oleh satu pihak. Pelajar harus sadar, pihak lembaga harus sadar, masyarakat juga harus sadar, bahkan pemerintah pun harus segera sadar bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.
Untuk itu, hendaknya kesadaran tersebut membawa dampak pada revisi sistem dan reorientasi pendidikan yang tidak lagi mengedepankan materi. Sudah saatnya agama tidak dipandang sebelah mata. Bahkan, akan lebih baik lagi apabila semua materi pendidikan mengandung nilai-nilai keagamaan (Islam).*
Penulis sedang menempuh program Pascasarjana di ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Gontor-Ponorogo
Red: Cholis Akbar
Sumber: Hidayatullah.Com