Oleh: Rita Soebagio
(Peneliti Insists)
Hampir 30 tahun lebih sejak pertama kali penyakit ini ditemukan, kerap kita menemukan propaganda penyakit AIDS yang tidak sesuai dengan realitas atau temuan ilmiah yang sebenarnya. Tanpa mengurangi rasa empati kita pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). yang mengalami penyakit AIDS karena berhubungan dengan pasangan sahnya atau karena kelalaian proses transfusi darah, para ilmuwan sudah seharusnya mulai menyampaikan fakta apa sebenarnya AIDS itu.
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981 oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) di Amerika Serikat yang mencatat adanya sebuah penyakit yang masih digolongkan sebagai Pneumonia atau Sarcoma pada beberapa kelompok laki-laki di New York dan Los Angeles. Temuan yang mengejutkan adalah seluruh pasien pada kelompok awal ini mengatakan bahwa mereka menjalankan perilaku Homoseksual. Beberapa orang sekaligus juga sebagai pemakai jarum suntik. Karenanya, penyakit dengan ciri spesifik penurunan kekebalan tubuh (Imunitas) ini, pada awalnya dinamakan sebagai GRID (Gay Related Immune Deficiency).(Malik Badri, (1997). The Aids Crisis : A Natural Product of Modernity’s Sexual Revolution. Kuala Lumpur : Medeena Book)
Dalam kasus AIDS, terlihat sekali bagaimana Etiologi (ilmu yang mempelajari penyebab atau asal penyakit dan faktor-faktor yang menghasilkan atau mempengaruhi suatu penyakit atau gangguan tertentu) tidak pernah berhasil dengan jujur disampaikan oleh para ilmuwan. Berubahnya penamaan GRID menjadi AIDS (Acquired Immune Defisiency Syndrome) dipandang sebagai salah satu upaya pengaburan asal usul penyakit. Dengan alasan terjadi perselisihan penamaan diantara penemu Virus HIV Dr Montagnier dan Dr. Robert Gallo, maka dipilihlah nama AIDS. Faktanya, hal ini disinyalir sebagai bentuk menyelamatkan kelompok Gay dan pendukungnya dari stigma. Sekaligus juga menyelamatkan Amerika sebagai negara asal dari virus HIV. (K. Mullis (1998). Dancing naked in The Mind Field. New York : Pantheon Book).
Satu tahun sejak ditemukannya virus HIV, pada tahun 1982 CDC mengumumkan temuan virus yang sama pada 34 orang Haiti. 34 orang laki-laki yang menyanggah menjalankan perilaku Homoseksual dan pengguna jarum suntik. (Fromer, 1983). Jumlah ini hanya menggambarkan 6% dari kasus AIDS yang dilaporkan pada saat yang sama (The New York Timer, 3 July , 1983). Namun, CDC dengan tergesa-gesa dan tidak adil, telah menempatkan orang-orang Haiti ke dalam daftar Black List kelompok beresiko tinggi seperti halnya prostitusi, homoseksual, biseksual dan pengguna jarum suntik. Keputusan yang tidak adil dan penuh prasangka terhadap warga kulit hitam Haiti dianggap juga memiliki kaitannya dengan anggapan awal bahwa penyakit ini menyebar dari Afrika. Faktanya setelah penelitian lebih lanjut yang dilakukan dengan lebih bersahabat dan tidak adanya tekanan terhadap 34 orang Haiti, ditemukan bahwa 80% dari dari mereka adalah Homoseksual dan pengguna jarum suntik (Sabatier, 1988). Sampai tahun 1985, Haiti menjadi tertuduh penyebar virus HIV, sampai para ahli kedokteran dari Universitas Miami melakukan penelitian terhadap 800 lebih orang Haiti dan menemukan hasil yang tidak diragukan bahwa AIDS tidak ditemukan di Haiti sebelum kasus AIDS di Amerika (Fromer, M.J. (1983). Aids. New York : Pinnacle Books).
Diabaikannya berbagai fakta penting dari temuan awal AIDS, menyebabkan banyak ilmuwan pesimis terhadap masa depan pencegahan dan pengobatan AIDS. Kelompok ilmuwan di Philadelphia perlu menggambarkan penelitian tentang AIDS/HIV dengan artikulasi : “stealthy, devious an elusive are just some of terms used by scientists to describes HIV…”(Philadelphia Science Group, 1992). Terminologi “diam-diam, penuh tipu daya dan sukar dipahami” akhirnya memang cukup masuk akal disematkan pada berbabagi riset tentang AIDS ini.
Kegagalan atau pengabaian fakta penting dalam riset AIDS terutama dalam kaitannya dengan perilaku Homoseksual dan biseksualitas tampaknya terjadi karena tekanan kelompok Homoseksual yang menilai riset yang mengaitkan AIDS dengan perilaku mereka sebagai sebuah Stigma Negatif yang tidak manusiawi. (Herek, G.M & Capitanio J.P (1996). Some of My Best friend : Integroup Contract, Concealable, Stigma and Heterosexual Attitudes Toward Gay Men and Lesbians. Personality and Social Pyschology Bulletin 22).
Akibatnya, para ilmuwan barat dan pakar AIDS menahan diri dari mengatakan bahwa menjangkitnya AIDS serta mutasi virus yang lebih mematikan tidak akan dapat dihindari kecuali dengan merubah perilaku seksual dan perilaku modern seperti Homoseksual dan Biseksual. Root Bernstein dalam bukunya Rethinking AIDS mengatakan : AIDS menjadi problem bagi laki-laki homoseksual yang melakukan pergaulan bebas, sering melakukan seks anal dan memakai jarum suntik bersama-sama (Root Benstein, 1993 dalam Malik Badri, Aids Crisis).
Prof Malik Badri, dalam bukunya The AIDS Crisis, (1997) dengan tegas mengatakan bahwa AIDS memiliki dua dimensi yang jelas. Pertama, Adanya Revolusi Seksual yang terjadi di Barat sebagai hasil dari Peradaban Barat. Kedua, AIDS adalah konsekuensi natural dari Revolusi Seksual dimana ciri dari revolusi seksual adalah Merajalelanya Pergaulan bebas dan tidak terkendalinya penyebaran propaganda Homoseksual. Gambaran bahwa HIV hanya dapat dihindari dengan melakukan “Safe Sex” dengan pemakaian kondom dan pemakaian jarum suntik yang bersih adalah jelas sebagai penolakan atau ketidakmampuan untuk menghentikan perilaku-perilaku menyimpang.
Kegagalan dalam memahami akar permasalahan dari AIDS, menyebabkan kasus AIDS menjadi permasalahan serius di seluruh dunia. Data CDC sejak tahun 2007-2010 jumlah pengidap AIDS di Amerika mencapai 1.129.127 orang dengan kecenderungan yang tidak pernah menurun (www.cdc.gov/nchs/data/hus/2011/045.pdf). Sementara untuk Indonesia sendiri jumlah penderita AIDS terus meningkat, dari awal ditemukan pada tahun 1987 pada seorang wisatawan Belanda di Bali hingga saat ini data tahun 2010 menunjukkan jumlah penderita diperkirakan mencapai 93 ribu – 130 ribu orang (Republika, 17 Desember 2013).
Disamping kegagalan dalam upaya pencegahan, kesalahan dalam memahami akar permasalah penyakit juga akan memberikan tekanan psikologis sendiri yang akan semakin memperburuk kesehatan penderita AIDS. Selama ini, dunia kedokteran hanya fokus pada problem dan stresor yang diciptakan oleh sebuah penyakit kronis. Padahal fokus ini bisa mengaburkan poin penting dari sebuah penyakit, bahwa penyakit dapat menimbulkan akibat positif. (Taylor, 1983). Pengetahuan atau kognisi penyakit yang diderita seseorang dan latar belakang penyebabnya akan membantu pasien melakukan penyesuaian terhadap penyakitnya. Penyesuaian terhadap penyakit akan memberikan efek positif bagi pasien seberapa mampu mereka mengontrol penyakitnya (Taylor, Peplau & Sears, 2009).
Pada akhirnya, dalam memandang kasus AIDS khususnya untuk kasus di Indonesia, diperlukan kejujuran berbagai pihak untuk berani mengatakan bahwa AIDS sesungguhnya adalah Life Style Desease akibat Gaya Hidup yang Menyimpang. Maka menjadi tanggungjawab berbagai kalangan untuk mencegah dan mengobati AIDS dengan komprehensif. AIDS bukan saja menjadi otoritas dunia kedokteran untuk mengobatinya, tetapi Agamawan, Aktifitas Sosial dan masyarakat secara umum berhak dilibatkan untuk menghentikan dan mengajak semua orang agar menghentikan berbagai perilaku yang menyimpang. (***)