Oleh: Dewi Wulandari
(Dokter Umum, Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam Solo)
Pekan-pekan penghujung tahun 2013 sepertinya akan menyisakan beberapa evaluasi besar di dunia kesehatan. Salah satu yang memicu reaksi keras di masyarakat adalah perihal program PKN (Pekan Kondom Nasional). Kegiatan PKN ini diinisiasi oleh KPAN (Komisi Penanggulangan Aids Nasional) dan DKT (perusahaan penyedia produk kondom). Lokasi pembagian kondom pun beragam, termasuk salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Cara semacam ini dipandang aneh oleh berbagai pihak.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan berdampak melemahkan sistem keamanan tubuh terhadap serangan infeksi dan kanker. Tahap paling lanjut dari ini adalah AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Penyakit ini penting untuk dicegah penyebarluasannya karena dampak besar yang diakibatkan. Jumlah orang yang meninggal akibat HIV/AIDS secara global mencapai 1,7 juta jiwa pada tahun 2011. ( WHO, “15 Facts on HIV Treatment Scale-Up and New ARV Guidelines 2013”, http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/15facts/en/index.html)
Belum ada pengobatan spesifik untuk HIV/AIDS. Pengobatan dengan obat anti retroviral (ARV) dapat mengontrol virus HIV sehingga kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) menjadi lebih baik. HIV/AIDS memiliki empat jalur penularan (transmisi) yaitu hubungan seksual dengan orang yang berisiko sebagai faktor penyumbang terbesar penularan yaitu 75% (Murray Longmore, Ian Wilkinson, Tom Turmezei, Chee Kay Cheung, “Oxford Handbook of Clinical Medicine, Seventh Edition”, (New York: Oxford University Press, 2007), hlm. 396.), transfusi darah; penularan dari ibu ke anak saat hamil, melahirkan, dan menyusui; serta melalui jarum suntik yang terkontaminasi.(UNFPA, WHO, PATH, “Condom Programming for HIV Prevention: an Operations Manual for Programme Managers”, diakses di http://www.unfpa.org/public/global/pid/1292). Data mengenai kondisi ODHA di Indonesia juga memilukan; mencapai 27197 kasus pada tahun 2012. (Ditjen PP & PL Kemenkes RI).
Kasus HIV/AIDS mengalami pergeseran pola. Pada tahun 2006 kelompok terbesar penyandang berada pada pengguna jarum suntik, namun di tahun 2011 kelompok terbesar ada pada kelompok heteroseksual.(http://health.kompas.com/read/2011/12/16/15574363/Lelaki.Pembeli.Seks.Jadi.Sumber.Penularan.HIV/AIDS).
Kelompok heteroseksual ini apabila dirinci lagi ternyata sebagian besar menginfeksi kelompok Ibu Rumah Tangga (IRT). Disinyalir, IRT mendapatkannya dari suami mereka yang suka “jajan”. (http://regional.kompas.com/read/2011/01/24/09374353/Pengidap.AIDS.di.Papua.Mayoritas.IRT http://health.kompas.com/read/2013/02/06/08083978/Kunci.Penularan.HIV.pada.Pria.Risiko.Tinggi).
Data ini mungkin yang kemudian melahirkan gagasan segolongan pihak untuk memotong cepat penularan HIV/AIDS yang ada dengan menyebarkan kondom. Sebenarnya data data ini masih harus dipelajari lebih lanjut karena pihak WHO mengakui bahwa di negara negara di mana homoseksual belum dilegalkan, data ini menjadi rancu. Sebab, bisa jadi diantara mereka yang terinfeksi walaupun heteroseksual ternyata melakukan MSM atau Men who have Sex with Men. (Guidelines on Surveillance among Populations most at Risk of HIV, 2011, hlm. 12)
Melirik perilaku ini, mengingatkan pada bagaimana HIV/AIDS ini pertama kali ditemukan. HIV/AIDS ini ditemukan pada Juli 1981 pada sekelompok orang gay di kota New York dan California.(Mark Chichocki, “The History of HIV, an HIV Timeline”, http://aids.about.com/cs/aidsfactsheets/a/hivhis.htm). Jadi, penyakit ini lahir dari anomali hukum alam. Penyakit ini lahir dari mereka yang berperilaku seksual menyalahi fitrahnya.
Manusia sudah dibekali seperangkat kemampuan untuk dapat berperan baik dalam menjalankan berbagai tugasnya. Tubuh manusia dirancang berperan baik saat digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, dan secara otomatis ketika manusia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fitrah, tubuh manusia akan “mengingatkan”. Misalnya, ketika mengalami stres berkepanjangan, pada saat itu tubuh menghasilkan zat-zat yang dapat merusak. Tuhan sudah memperingatkan manusia untuk tidak berputus dari rahmat-Nya. Konsekuensi dari pengingkaran ini dirasakan oleh manusia itu sendiri. Begitu pula, ketika Tuhan sudah mengatakan bahwa hubungan suami-istri yang dilakukan dalam kerangka pernikahan mendatangkan pahala, dan hubungan zina akan mendatangkan mudharat.
Efektivitas penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS masih menuai kontroversi, karena berbagai penelitian menunjukan bahwa ukuran virus HIV jauh lebih kecil dari pada pori pori kondom. Ketika program sosialisasi kondom ditujukan dengan membagi bagi kondom kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum, maka yang tercitrakan adalah dukungan besar-besaran terhadap seks bebas.
Ketika kondom ini dipromosikan besar-besaran apalagi ke masyarakat umum, tak lain seperti menciptakan lingkaran setan yang tak pernah putus. Penyakit ini bermula dari anomali, lantas bagaimana ia dapat berkurang jika anomali ini tetap dipertahankan. Lalu bagaimana untuk mengatasi resiko penularan HIV yang terjadi pada kelompok orang-orang yang suka melakukan seks bebas? Kita membutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk mengatasi ini. Perlu kepedulian pada sesama.
Dana sosialisasi PKN akan jauh lebih berguna jika diberdayakan untuk bidang penelitian. Misalnya, penelitian pengembangan penggunaan ARV (Anti Retro Viral) yang semakin menemukan titik cerah untuk membantu ODHA meningkatkan kualitas hidupnya. Pemberian ARV sedini mungkin dapat memperpanjang hidup dan menurunkan transmisi dari orang yang terinfeksi ke orang yang sehat. (WHO, “15 Facts on HIV Treatment Scale-Up and New ARV Guidelines 2013”, http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/15facts/en/index.html). Atau dana yang sama dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan ARV sehingga berita mengenai terbatasnya ARV ini tidak kita dapatkan lagi. (Kemenkes, “Bersama Capai Zero Infection, Zero AIDS Related Death, dan Zero Stigma Discrimination”, http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2258, Juga, Kemenkes, “Pengendalian Penderita HIV/AIDS dengan Pengobatan ARV”, http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2315).
Belum lagi, kita membutuhkan teknik diagnosa yang semakin canggih untuk dapat mendeteksi keberadaan virus ini secepat mungkin. Harapan ini terlihat titik terangnya. Salah satunya melalui rapid oral test yang dapat memperpendek waktu diagnosa HIV/AIDS dari yang biasanya 2 minggu menjadi 20 menit.(Lihat, Anastasia Yoveline, Retno Wahyuningsih, Yuli Kumalawati, Saleha Sungkar, “Peran Rapid Oral HIV Test dalam Diagnosis Infeksi HIV”, Majalah Kedokteran Indonesia Volum:58 Nomor:12 , Desember 2008). Akan ada banyak peluang penelitian di bidang ini. Tapi sekali lagi, penelitian di bidang ini, mungkin akan mengurangi keuntungan pihak-pihak tertentu. Wallahu’alam bish-shawab. (***)