Apakah Feminis Seksis?

 

Apakah Feminis Seksis?

Pada sebuah wawancara baru-baru ini, Julie Bindel (yang pernah saya debat tahun lalu), seorang jurnalis feminis yang memproklamirkan diri sebagai “Lesbian Politis”, mengatakan bahwa, kalau saja ia mampu, ia akan memasukkan semua laki-laki dalam sebuah kamp yang dijaga oleh “sipir-sipir”, kemudian kerabat-kerabat wanita mereka dapat meminjam mereka keluar seperti halnya meminjam “buku perpustakaan”.

Bindel, yang juga menulis untuk harian The Guardian, ditanya dalam sebuah wawancara, “Apakah heteroseksualitas dapat bertahan dalam era Kebebasan Wanita?”, yang kemudian ia jawab:

“Tidak akan! Tidak, kecuali jika laki-laki dapat mengendalikan tingkah mereka, jika kekuasaan mereka direbut dari mereka dan jika  mereka bersikap baik. Maksud saya, saya akan memasukkan mereka dalam semacam kamp dimana mereka dapat mengendarai motor ATV (All-terrain Vehicle—red), sepeda, atau van-van putih. Saya akan memberikan mereka pilihan kendaraan yang ingin mereka gunakan untuk berkeliling-keliling kamp dan menjauhkan mereka dari hal-hal porno. Mereka juga dilarang berkelahi, akan ada sipir di sana! Wanita yang ingin menemui anak laki-laki atau kekasih laki-laki mereka dapat datang menengok, bahkan membawa mereka keluar sebagaimana meminjam buku perpustakaan, dan kemudian mengembalikan mereka kembali.”[1]

Meskipun wacana tersebut tidak diadopsi oleh sebagian besar feminis, Bindel yang berasal dari komunitas feminis radikal memiliki sentimen yang besar terhadap kaum laki-laki. Perasaan demikian secara mengejutkan merupakan hal mainstream di kalangan feminis, bahkan terjustifikasi.

Bukanlah seksisme jika wanita yang melakukannya…”

Banyak feminis yang sejak lama menolak tuduhan bahwa gerakan feminis dikarakterisasi sebagai “pembenci laki-laki”. Namun demikian, ada feminis yang berusaha untuk membela rasa “membenci laki-laki” sebagai senjata moral dan politik.

Robin Morgan, seorang feminis dan juga seorang jurnalis pernah menerangkan:

“Saya merasa bahwa “membenci laki-laki”adalah sikap politik yang berkembang dan terhormat, bahwa yang ditindas mempunyai hak untuk membenci (classhatred) kaum penindasnya.”[2]

Dengan kata lain, bagi feminis seperti Morgan, wanita (sebagai kaum tertindas, red) memperoleh hak untuk berprasangka. Sementara itu, laki-laki (yang menindas, red) tidak berhak murka karena hal itu. Hal itu mulanya disuarakan secara lantang dikalangan para feminis radikal. Hari ini, klaim untuk melakukan class-hatred tersebut dicekokkan oleh berbagai kelompok identitas gender dan ras.

Dalam jargon politik kelompok berdasarkan identitas, jika class-hatred dilakukan oleh kelompok yang merasa “tertindas” terhadap kelompok  dominan atau “penindas”, hal ini  disebut “penindasan terbalik” (reverse opression)  atau dalam kasus feminisme, disebut “seksisme terbalik” (reverse sexism).

“… karena laki-laki tidak pernah dirugikan secara institusional…”

Akan tetapi, feminis sering memberikan argumentasi bahwa istilah seksisme dalam konteks “seksisme terbalik” merupakan sesuatu yang mengada-ada. Mereka mengklaim bahwa “seksisme” tidak diartikan sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan gender seseorang. Akan tetapi, seksisme khusus mengacu pada seluruh sistem prasangka atau diskriminasi, yakni ketika suatu kelompok kurang diuntungkanpada tingkat kelembagaan (baik pemerintahan, hukum, ekonomi, dll.) disebabkan oleh gender mereka. Dengan demikian, kaum feminis mengklaim bahwa tidak ada seksisme terhadap laki-laki, karena sikap prasangka dan diskriminasi terhadap laki-laki tidak akan menimbulkan kerugian institusional terhadapnya sebagaimana yang mungkin terjadi pada perempuan.

Cuplikan dari sebuah buku teks[3] yang digunakan cukup luas di kalangan akademik. Bunyinya: “HENTIKAN: Tidak ada yang disebut sebagai rasisme terbalik atau seksisme terbalik (atau kebalikan dari semua jenis penindasan). Sementara perempuan bisa berprasangka sebagaimana laki-laki, perempuan tidak bisa dikatakan “se-seksis laki-laki” karena mereka tidak memegang tampuk kekuasaan dalam hal politik, ekonomi dan kelembagaan.”

Dengan demikian, menurut feminis seperti Morgan, kutipan-kutipanberikut ini tidak dapat disebut seksis, tetapi menjadi “tindakan politik yang nyata dan terhormat”dalam feminisme.

“Laki-laki adalah perempuan yang tidak sempurna, janin yang gagal sejak fase pembentukan gen. Menjadi laki-laki berarti menjadi kurang sempurna dan terbatas secara emosional; kelelakian adalah sebuah penyakit defisiensi, dan laki-laki kecacatan emosional. […] Bahkan menyebut laki-laki sebagai hewan pun sebenarnya adalah sebentuk pujian; dia hanyalah mesin, tak lebih dari dildo berjalan.”[4]

– Valeria Solanas (SCUM Manifesto)

“Dibawah sistem patriarkal, anak perempuan dari seorang wanita adalah korban, di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dibawah sistem patriarkal, setiap anak laki-laki merupakan calon pengkhianat dan tak terhindarkan akan menjadi seorang pemerkosa atau sebagai petualang wanita[5]

– Andrea Dworkin, Our Blood

Porsi laki-laki harus diperkecil dan dipertahankan kira-kira sebesar 10% saja dari jumlah manusia penduduk bumi.[6]

– Sally Miller Gearhart, Masa Depan – jika kelak ada – adalah perempuan

Pertama-tama, mari kita nyatakan sesuatu sebagaimana adanya. Sama sekali tak ada yang disebut dengan “seksisme terbalik”—hanya ada “seksisme”. Hal ini sama anehnya dengan jika kita menyebut “pemerkosaan terbalik”, atau “terorisme terbalik”. Perbuatan yang tak adil tetap merupakan perbuatan tak adil,tidak pandang bulu siapa yang melakukannya, serta kepada siapa hal tersebut dilakukan.

Kita akan mengevaluasi ide“seksisme hanya bisa menjadiseksismejika hal itu menimbulkan kerugian institusional”. Walaupun sebenarnya kita seperti berkelakar saat menggunakan definisi ini, katakanlah sekedar untuk berargumentasi. Karena bagaimanapun, jika sudah menyangkut laki-laki dan perempuan, kerugian institusional tidaklah dapat dilihat secara hitam putih. Gagasan bahwa tidak ada tekanan institusional terhadap laki-laki merupakan realitas yang dipaksakan, jika kita mengingat kondisi buruk yang dialami oleh laki-laki tingkat pekerja kasar dan laki-laki non-kulit putih, misalnya. Belum lagi terkait dengan diposisikannya laki-laki (secara kelembagaan, red) yang seolah-olah “lebih mudah dibuang” dari pada perempuan (contoh: wajib militer bagi laki-laki, kebijakan dalam evakuasi yang mendahulukan wanita dan anak-anak, dan lain-lain). Ditambah dengan kerugian institusional bagi laki-laki dalam hal kesenjangan kualifikasi untuk masuk perguruan tinggi, kesenjangan hukuman pidana, kesenjangan tingkat bunuh diri, kesenjangan dalam usia harapan hidup, kesenjangan dalam angka penderita kanker, kesenjangan dalam penanganan menghadapi KDRT, kesenjangan resiko kematian dalam pekerjaan, dan lain-lain.[7]

Masalah lain dalam argumen “seksisme hanya bisa menjadi seksisme jika hal itu menimbulkan kerugian institusional” adalah turunan ide mengenai syarat berhaknya suatu kelompok atas perlindungan dari diskriminasi yakni dengan melalui suatu ritus transisi yang menyebabkan (kelompok tersebut, red) mengalami kerugian institusional. Dengan kata lain, feminis yang bersikukuh dengan definisi ini menyarankan bahwa setiap individu laki-laki harus menjalani siksaan sebagai golongan rendah yang tertindas. Siksaan ini diatur secara keji oleh sistem matriarki yang tidak memiliki perasaan. Dengan begitu, barulah ia berhak atas perlindungan dari penindas.  Definisi ini secara langsung menyarankan suatu sistem yang mensyaratkan adanya kelompok penindas dan kelompok tertindas agar hak setiap individu dapat dilindungi. Wajarlah jika kita menduga-duga, apakah feminis berniat untuk mencapai keadilan ataukah hanya semata-mata ingin membalas dendam?

Kemudian, argumentasi “orang yang tertindas memiliki hak untuk membenci kelompok yang menindas mereka” dapat dikatakan salah secara moral. Hal itu sebenarnya sama saja dengan memaklumi dan membenarkan bentuk “kebencian kelompok” (class-hatred) yang dimiliki oleh teroris terhadap kelompok yang mereka anggap sebagai “penindas”. Karena para teroris itu pada akhirnya menggambarkan diri mereka sendiri sebagai kelompok tertindas.

Akan tetapi, meskipun seksisme terbalik (reverse sexism) digunakan untuk mengkritik seksisme feminis terhadap laki-laki, terminologi tersebut masih bermasalah. Terminologiini memberikan kesan pada pendengar bahwa seksisme yang sedang dipermasalahkan hanyalah reaksional; dilakukan sebagai reaksi dari apa yang dianggap sebagai seksisme sebelumnya. Jika masyarakat menggunakan terminologi seksisme terbalik” (reverse sexism) dan bukannya hanya seksisme, hal ini sebenarnya mengasumsikan bahwa posisi awal para feminis—bahwa mereka dirugikan dalam semua hal yang mereka klaim—adalah benar, dan mereka hanya merespon. Sebaliknya, penggunaan terminologi seksis tidak memiliki sejarah seperti itu. Tidak diperlukan seorang laki-laki yang didiskriminasi oleh feminis karena gendernya, untuk dapat dimasukkan dalam rangkaian narasi oleh para feminis ini sebagai laki-laki anggota kelompok “penindas”.

“… karena perempuan tidak sanggup menghadapi kengerian yang sama sebagaimana laki-laki.”

Sebagaimana mengagetkannya pernyataan Gearhart tentang pengurangan populasi pria di atas, ia tidak melakukan protes atas ide pemusnahan 90% laki-laki. Dalam sebuah esei mengerikan, ia menulis tentang kemungkinan mengurangi spesies laki-laki secara bertahap hingga 90%, dengan “kerjasama secara sukarela” dari laki-laki usia produktif. Tanpa memperhatikan tingkat keseriusan proposal tersebut, Gearhart berusaha untuk mengatakan bahwa wanita tidak memiliki kemampuan untuk bersikap kejam terhadap laki-laki, hal ini dikarenakan “sifat alami” mereka, ia pun terus mengatakan bahwa wanita tidak dapat menekan laki-laki, apalagi bersikap seksis terhadap mereka:

“Keunggulan wanita adalah fakta, kebenaran, […] Saya berkeyakinan bahwa sifat alami yang dimiliki wanita akan menghalanginya menggunakan kekuatan hirarki sebagaimana yang biasa terjadi ketika digunakannya biologi sebagai senjata sosial, baik yang dilakukan oleh orang kulit putih yang menekan orang kulit berwarnamaupun oleh laki-laki yang menekan wanita.[…] Apakah kelompok betina dari suatu spesies, jika diberi kesempatan, akan mengulangi kekejaman patriarki? Saya jawab tidak […] Jika kita ingin melihat bagaimana wanita benar-benar mengatur kekuasaan dan pemerintahan, maka biarkan mereka memperlihatkan kemampuan mereka dalam suatu sistem yang diciptakan oleh mereka sendiri berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut.[8]

Harapan yang oportunistik tentang “sifat alami wanita” ini menunjukkan secara berbahaya bahwa kecenderungan untuk berbuat baik dan jahat—entah bagaimana—melekat secara tak sadar dalam karakteristik gender (meskipun dia menolak konsep yang sama berlaku dalam karakteristik ras, tanpa penjelasan apapun).

Sebagai contoh, Grearhart “memperingatkan” pembacanya akan marabahaya dari ikatan-pria (male-bonding)  sebagai berikut:

“Marabahaya tidak datang dari laki-laki secara individu […] Marabahaya yang sebenarnya adalah pada fenomena ikatan-pria, komitmen dari sekelompok laki-laki di sana, apakah dalam kelompok tentara, sebuah geng, klub layanan, pondok, biarawan, perusahaan, atau olahraga […] Sebagian besar energi dan semangat dari kelompok ikatan-pria dihabiskan untuk mengusir wanita dan merendahkan nilai-nilai dan kualitas kewanitaan. Wanita mestilah menjadi target hinaan; pengalaman dan emosi wanita selalu direndahkan. Keberhasilan suatu kelompok ikatan-pria bergantung pada pengusiran dan penghinaan yang terus menerus ini.[9]

Sayangnya, Gearhart mungkin tak sadar jika banyak perempuan berperilaku tidak berbeda dengan pria yang dituduhkannya di sini. Ada juga fenomena ikatan-wanita (female-bonding) yang tumbuh hari ini dengan mengangkat kalimat-kalimat “kebencian terhadap laki-laki” yang dilakukan secara terang-terangan seperti “I bathe in male tears” (saya mandi dalam tangisan pria) pada perlengkapan sehari-hari (seperti mug, t-shirt), dan tagar seperti “#KillAllMen” di halaman-halaman media sosial. Para feminis ini mengklaim bahwa mereka hanya bersikap “ironis”. Mereka berdalih menggunakan slogan-slogan ini sebagai “lelucon internal” dan sebagai cara untuk membangun “solidaritas” diantara para feminis. Seorang feminis bahkan mengatakan “Saya senang bahwa kalimat-kalimat tersebut mengganggu pria-pria yang tidak memahaminya”.[10] Jika ini adalah nilai-nilai yang dianut oleh para feminis yang berada dalam sistem yang ada saat ini,  kita dapat membayangkan betapa mengerikannya perilaku yang dapat ditunjukkan oleh mereka “pada suatu sistem yang mereka ciptakan sendiri berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut.

 Bagi yang beranggapan bahwa wanita tidak bisa menjadi seksis sebagaimana pria karena wanita tidak memiliki kemampuan yang sama dalam hal kebencian kelompok (class hatred) sebagaimana yang dituduhkan dilakukan oleh pria (yang oleh para feminis disebut “misoginis”), mereka justru memiliki kemampuan yang sama persis. Mengapa? Karena keduanya, laki-laki dan perempuan adalah manusia yangmemiliki kemampuan untuk melakukan kebaikan maupun kejahatan. Bahkan mereka juga memiliki kemampuan untuk membenarkan tindakan mereka.

Ilusi bahwa kebencian kelompok (class-hatred) akanmengakhiri ketidakadilan

Banyak feminis—yang dengan membayangkan wanita sebagai “kelompok tertindas” melawan laki-laki sebagai “kelompok penindas”—berakhir dengan meniru perilaku kelompok “penindas” yang mereka bayangkan. Konsep “kebencian kelompok” seperti ini—baik dalam konteks riil ataupun imajinatif—bukanlah hal yang baru. Fenomena pergantian “yang tertindas” menjadi “penindas” telah terlihat sepanjang sejarah.

Seorang pendidik dan filsuf Brazil, Paulo Freire, mengatakan bahwa:

“Yang tertindas, bukannya berjuang untuk memperoleh kemerdekaan, hustru mereka cenderung menjadikan diri mereka sebagai penindas […] Ideal mereka adalah untuk menjadi laki-laki; tapi bagi mereka, untuk menjadi laki-laki adalah menjadi penindas.”[11]

 Ibn Khaldun, seorang filsuf Islam abad ke-14 juga memperhatikan dinamika ini, dan mengatakan bahwa  peniruan ini telah secara gegabah memperkuat ide/anggapan tentang superioritas dari “penindas”.

Yang kalah selalu berusaha meniru yang mengalahkan dalam cara berpakaian, perhiasan, kepercayaan, kebiasaan dan apa-apa yang dikenakan. Ini karena laki-laki selalu memperlihatkan kesempurnaan atribut diri kepada mereka yang telah ia kalahkan dan taklukkan  […] apakah karena perasaan hormat yang mereka miliki terhadap penakluk mereka menjadikan mereka melihat kesempurnaan pada diri penakluk mereka, atau, mereka menolak untuk mengakui bahwa kekalahan mereka bisa jadi dikarenakan sebab-sebab yang sangat biasa, dan mereka menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan kesempurnaan penakluk mereka. Jika pemikiran ini dipercayai dalam jangka waktu yang lama, maka akan berubah menjadi keyakinan yang sangat dalam dan akan mengarah pada diambilnya ajaran-ajaran penakluk dan menirukan seluruh karakter mereka. Peniruan inidapat dilakukan secara tidak sadar atau karena kesalahan berpikir yang menganggap bahwa kemenangan penakluk disebabkan bukan karena tingginya tingkat solidaritas dan kekuatan mereka, tetapi karena (rendahnya) tingkat kepercayaan dan kebiasaan pihak  yang ditaklukkan. Maka hal ini lebih lanjut menumbuhkan kepercayaan bahwa peniruan tersebut akan menghilangkan sebab kekalahan.”[12]

 Yang “tertindas” tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban.

Sebagian orang kemudian mungkin berpikir bahwa argumentasi ini tidak memberikan kesempatan bagi kelompok tertindas untuk mengambil tindakan. Apakah orang atau kelompok yang benar-benar tertindas perlu mengubah situasi mereka? Tentu saja! Dalam Islam, berbagai cara disiapkan untuk menghindari terjadinya penindasan dan untuk mengubah penindasan dalam berbagai situasi. Cara Islam menangani ketidakadilan adalah dengan melarang dilakukannya tindakan ketidakadilan dalam bentuk apapun oleh siapapun kepada siapapun. Dengan cara ini, ketidakadilan dihilangkan tanpa ada sisa kemarahan ataupun dendam.

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Al Qur’an surat 5:8

Wahai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”  4:135

Menjadi bagian dari kelompok “tertindas” tidak memberikan alasan bagi seseorang untuk boleh melakukan ketidakadilan atau menuntut superioritas atas anggota kelompok “penindas”:

Pada khutbah terakhirnya Nabi Muhammad saw bersabda, “Seorang Arab tidak memiliki keutamaan dibanding orang-orang nonArab […] juga orang-orang kulit putih tidak memiliki keutamaan atas orang-orang berkulit hitam”, dan mengatakan bahwa satu-satunya keutamaan adalah “ketaatan dan amal.”[13]

Menjadi anggota kelompok yang “tertindas” tidak membebaskan seseorang dari tujuan hidupnya, yakni dari tugas untuk melakukan apapun demi keadilan sebagai tanggungjawabnya. Allah swt berfirman dalam Al Quran, percakapan antara kelompok yang lemah (yang tertindas) dan kelompok yang senang menguasai yang keduanya telah dilaknat di akhirat:

“[…] Dan (alangkah mengerikan) kalau kamu melihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian mereka mengembalikan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada yang menyombongkan diri “kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang mukmin”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, “kamikah yang telah menghalangimu untuk memperoleh petunjuk setelah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah yang berbuat dosa.” (Q.S. 34: 31-32)

 Kedua kelompok itu akan cekcok satu sama lain selagi berhadapan dengan Pencipta mereka. Kelompok yang lemah berusaha menyalahkan kelompok yang sombong sementara kelompok yang sombong berbalik dan mengingatkan yang lemah bahwa walaupun mereka tertindas, mereka hendaknya tetap mengikuti perintah Allah. Al Qur’an menggabarkan keduanya sebagai pendosa (orang yang zalim).

Mencari keadilan bukan sekedar mengikuti jalan dengan semangat atau meniru tindakan yang salah dari kelompok penindas. Demi keadilan, seseorang memerlukan kerangka petunjuk, kebenaran yang obyektif, dan metode yang adil. Tanpa bimbingan dari yang Mahatinggi, feminisme tidak memiliki konsep keadilan yang jelas selain tuntutan kosong mengenai “kesetaraan”. Namun demikian, masalah pencarian kesetaraan bersama mereka yang dianggap sebagai penindas, menjadikanya meniru apa-apa yang dibayangkan mengenai mereka, dan perbedaan yang ada hanyalahbagian siapa yang saat ini melakukan ketidakadilan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.

 

Penerjemah: Tetraswari Diahingati

Editor: Rira Nurmaida

 

[1]http://www.radfemcollective.org/news/2015/9/7/an-interview-with-julie-bindel

[2]Robin Morgan, penulis dan editor untuk Ms. Magazine; Going Too Far (1978), hal.178

[3]Bukunya berjudul “Is Everyone Really Equal? An Introduction to Key Concepts in Social Justice Education” oleh Ozlem Sensoy dan Robin DiAngelo

[4]Valerie Solanas, pendiri S.C.U.M. (Society for Cutting Up Men), S.C.U.M. Manifesto (1967) http://suwon.weebly.com/uploads/1/3/5/4/13540638/scum_manifesto.pdf

[5]Andrea Dworkin, penulis dan aktivis feminis; Our Blood (1976) hal.20

[6]Sally Miller Gearhart, penulis dan mantan profesor women’s studies di San Francisco State University; The Future – If There Is One – Is Female, Bagian III (1981)

[7]Untuk penjelasan dan demonstrasinya dapat dilihat di dalam video debat Zara Faris dengan Natalie Bennett

[8]Gearheart, op. cit., hal.273-4

[9]Ibid hal.281

[10]The Rise of the Ironic Man-Hater, Amanda Hess, http://www.slate.com/blogs/xx_factor/2014/08/08/ironic_misandry_why_feminists_joke_about_drinking_male_tears_and_banning.html. Lihat juga, Do Young Feminists Really Want To Bathe In Male Tears? Katherine Speller, http://www.mtv.com/news/2110217/misandry-is-a-joke/. Lihat juga: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3054067/Pictured-Diversity-officer-banned-whites-anti-racism-event-British-university-wiping-away-fake-tear-no-white-men-sign.html

[11]Paulo Friere, PEDAGOGY OF THE OPPRESSED, New York: Continuum Books, 1993.

[12]Bab Dua, Geography, An Arab Philosophy of History, Selections from the Prologomena of Ibn Khaldun of Tunis (1332-1406), dialihbahasakan oleh Charles Issawi

[13]“[A]n Arab has no superiority over a non-Arab nor a non-Arab has any superiority over an Arab; also a white has no superiority over a black nor a black has any superiority over white except by piety and good action.” Khutbah terakhir Nabi Muhammad saw.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.