Zara Faris
‘Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan?’ Seringkali para feminis mengklaim bahwa perempuan butuh kekuasaan ekonomi dan politik dalam rangka melindungi kepentingan mereka. Namun panggilan untuk “memberdayakan” perempuan ini merupakan hal menyesatkan yang disebarkan para feminis di balik topeng keadilan. Ajakan para feminis menuju kekuasaan ini sebenarnya tidak mewakili kepentingan masyarakat, bahkan tidak pula (semata-mata mewakili,red.) kepentingan perempuan. Namun, lebih merupakan ajakan untuk penambahan kebebasan tanpa tanggung jawab (dalam kata lain, individualisme), yang berlaku hanya untuk memberdayakan statusquo sejumlah grup dengan kepentingan mereka sendiri yang saling berkompetisi, tanpa memberdayakan keadilan bagi semua.
1 -Memberdayakan perempuan tidak secara otomatis memberdayakan keadilan
Kekuasaan seharusnya mewakili semua orang – tidak hanya satu faksi saja. Para feminis mengatakan bahwa perempuan butuh kekuasaan karena mereka “kurang terwakili pada posisi-posisi kuasa dan berpengaruh (underrepresented in positions of power and influence)” [i]. Mereka mengklaim bahwa meningkatkan akses wanita terhadap kekuasaan merupakan persoalan “keadilan sosial (social justice)” [ii]; bila perempuan kurangdiberdayakan, para feminis mengatakan bahwa laki-laki akan terus mendominasi pengambilan keputusan demi kehancuran wanita. Grup feminis Fawcett Society menyatakan, “perempuan sebagai sebuah kelompok hilang dari meja-meja kekuasaan tertinggi […] bila kamu tidak ada di meja, kamu ada di menu”.[iii]
Retorika feminis semacam ini mengabaikan fakta bahwa bila meja-meja kekuasaan tertinggi–yang saat ini dikuasai laki-laki–menampilkan perempuan di menu, mereka pun berpeluang memunculkan laki-laki di menu pula (saat mereka berkuasa, red.). Laki-laki sejatinya jauh dari kesetaraan bahkan di antara mereka sendiri – ada perbedaan-perbedaan intelegensia, tanggung jawab, kekuatan fisik, kekayaan, penampilan, kelas; dan hanya segolongan elit dapat duduk di meja tertinggi. Akan konyol jadinya untuk mengklaim bahwa kelas kecil laki-laki pemegang kekuasaan sebenarnya merupakan perwakilan dari semua laki-laki – sehingga sama konyolnya dengan menyatakan bahwa sekelompok kecil perempuan dalam kekuasaan akan mewakili semua perempuan. Alih-alih membalikkan kuasa atas ketidakadilan ini, para feminis hanya menuntut kursi di meja yang sama. Bila para feminis tulus dalam ajakan mereka untuk keadilan, mereka tidak akan mencoba untuk menciptakan kembali opresi golongan di antara wanita ini. Seharusnya, mereka akan mencari sebuah sistem alternatif sekalian.
Para feminis malah semakin menyulut bara api dengan menyuburkan ide seksis bahwa para laki-laki terikat untuk berkonspirasi melawan perempuan, hanya karena mereka laki-laki, sementara perempuan cenderung lebih adil, hanya karena mereka perempuan. Dalam kata lain, para feminis mengadvokasi kecurigaan terhadap laki-laki, mengatakan bahwa laki-laki adalah masalahnya, sementara perempuan adalah solusi. Para feminis tidak hanya akan marah besar (outraged) apabila generalisasi seksis yang sama diberlakukan terhadap perempuan, tapi, kenyataannya, tidak benar juga bahwa laki-laki selalu mendiskriminasi perempuan bila tidak ada segolongan kritis massa perempuan. Sebagai contoh, pada awal tahun ini (artikel ini aslinya diterbitkan pada Juli 2013,red.), koalisi ‘Counting Women In’ menghasilkan sebuah laporan berjudul ‘Sex and Power 2013 – Who Runs Britain?’ (Seks dan Kekuasaan 2013 – Siapa yang Menguasai Inggris?,red.) yang menyatakan bahwa ‘pengecualian perempuan dari posisi kekuasaan membahayakan baik perempuan maupun laki-laki’. Laporan itu menyayangkan fakta bahwa hanya 15.6% hakim di Pengadilan Tinggi yang (berjenis kelamin) perempuan. Pada saat yang bersamaan, seorang laki-laki lebih mungkin dihukum penjara oleh pengadilan yang didominasi laki-laki (r) daripada seorang wanita yang melakukan kejahatan yang sama. [iv] Laporan ini juga meributkan bahwa hanya 14.2% Vice Chancellor (setingkat pembantu rektor,red.) di universitas-universitas adalah perempuan. Padahal, menurut HESA Statistics (Higher Education States Agency), di universitas, perempuan lebih rajin daripada laki-laki – pada 2010, lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang belajar untuk meraih gelar – mereka mencakup 57% lulusan gelar pertama (termasuk sarjana dan diploma,red.) . Sebanyak 66% dari gelar pertama yang dianugerahkan pada perempuan antara tahun 2010-11 (peraihnya, red.) merupakan kelas atas ataupun kelas atas kedua, sementara untuk laki-laki angkanya adalah 61%. [v] Lagi-lagi, patriarki yang tak dapat dielakkan itu kembali menghambat perempuan!
Jadi, apakah wanita yang diberdayakan pasti akan lebih adil, hanya karena mereka perempuan? Meskipun ini merupakan ide yang sangat seksis, tapi sementara kita anggap saja dulu begitu. Ketika berhubungan dengan kasus perwakilan di pemerintahan, Rwanda, Algeria, Iraq, Tunisia, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Sudan Selatan dan Uganda – negara-negara yang sering dicantumkan sebagai contoh negara-negara miskin dan berperilaku buruk terhadap perempuan – masing-masing memiliki lebih banyak wanita di pemerintahan daripada di AS [vi]. Lebih jauh lagi, di Rwanda, wanita mengalahkan jumlah pria di parlemen, akan tetapi masih saja 45% dari populasi Rwanda – baik laki-laki maupun perempuan – berada di bawah garis kemiskinan. Perhatikan bahwa Menteri Kemajuan Wanita (Minister of Women’s Advancement) Rwanda (seorang aktivis feminis) dituduh atas genosida ketika ia menawarkan perkosaan sebagai penghargaan atas pembunuhan ribuan pengungsi. Jadi, menjadi seorang perempuan tidak menjamin bahkan setitik kemanusiaan, apalagi keadilan. India, Pakistan dan Bangladesh juga semua telah pernah memiliki pemimpin perempuan; tapi hal itu tidak menghasilkan kemajuan standar hidup bagi wanita dan pria, akan tetapi hanya perbaikan hidup kelas elit perempuan yang berkuasa. Sehingga jelas tidak ada korelasi positif antara keadilan dan jumlah perempuan di parlemen.
AS tidak hanya mengurutkan negara-negara ini berdasarkan representasi perempuan, hal ini di luar kenyataan bahwa AS memiliki mayoritas pemilih perempuan (53%) [vii]. Bukan suatu kejutan jadinya, ketika perempuan memilih untuk tidak mengangkat wanita dan memilih kandidat dari ‘gender yang salah’ (yakni laki-laki), membuat para feminis beralih mengecilkan wanita yang seharusnya mereka wakili, dengan mengampanyekan kuota tetap perempuan di parlemen.
Jadi perempuan tidak butuh kekuasaan untuk memperoleh keadilan, karena sekadar memberdayakan perempuan tidak sama dengan memberdayakan keadilan.
2- Memberdayakan Perempuan Menguatkan Status Quo
Para feminis menyatakan bahwa memberdayakan perempuan adalah tentang menambah pilihan-pilihan bagi perempuan. Pada kenyataannya, hal tersebutberupaya membatasi pilihan-pilihan perempuan hanya pada yang diakui oleh para feminis, dan mencoba untuk menempatkan mereka pada opresi yang sama dengan yang telah dialami oleh laki-laki. Bila Jack terguling dari bukit, apakah Jill benar-benar harus ikut terguling juga?*
Feminis senang mengklaim bahwa perempuan akan memperbaharui kekuasaan. Editor perempuan dari Forbes 100 Most Powerful Women 2013, mengatakan bahwa ia ingin menyeleksi wanita yang membawakan ide-ide segar mengenai kekuasaan, daripada yang mewakili kekuasaan politik dan ekonomi lama. Hanya saja daftar yang dikatakannya “segar” menyombongkan sekitar 9 kepala daerah dengan kombinasi GDP USD 11,8 triliun, 24 CEO yang mengontrol $893 miliar, dan 14 jutawan dengan total kekayaan lebih dari $82 juta. Beyonce (#17), Angelina Jolie (#37), dan Sofia Vergara (#38) juga semua muncul lebih dulu daripada Ratu Inggris (#40); tetapi di depan mereka semua adalah Michelle Obama (#4), berdasarkan pernikahan pada Barack Obama, lelaki paling berkuasa! Sehingga, konsep kekuasaan para perempuan ini secara mencurigakan terlihat sama seperti konsep kekuasaan para pria!
Para feminis tidak benar-benar menginginkan perubahan, tapi sekadar mengambil alih ide-ide kekuasaan yang opresif yang selama ini mereka atribusikan kepada pria.
Para feminis juga mengklaim bahwa kapitalisme yang didominasi laki-laki telah lama menghalangi pencapaian ekonomi perempuan, memaksa mereka untuk bergantung pada laki-laki sebagai pemberi nafkah (karena laki-laki sudah pasti menginginkan tanggung jawab finansial sebanyak mungkin, bukan?). Feminis mengatakan bahwa kapitalisme meninggalkan perempuan hanya berjarak satu pria dari kesejahteraan– hanya saja pria, juga berjarak satu pekerjaan saja, dari kesejahteraan! Jelas bahwa kapitalisme bukan tentang laki-laki merendahkan perempuan, tetapi yang kaya merendahkan yang miskin. Hanya saja, daripada membela keadilan sosial dan menantang sistem ekonomi yang telah memperbudak jutaan laki-laki dalam hutang, feminis hanya telah sekadar menyuguhkan perempuan untuk eksploitasi juga, dengan menjadikan suatu kebutuhan bagi wanita untuk bekerja. Sekarang, kelas elit yang berkuasa bisa memperbudak, mengeksploitasi dan membebankan pajak pada kalangan perempuan dari masyarakat juga! Sungguh sebuah kemajuan!
Dalam memberdayakan perempuan, kapitalisme dan feminisme saling melengkapi dalam memecah-belah dan menguasai unit keluarga. Simone Beauvoir, yang melejitkan gerakan feminis, menjelaskan: “Tak ada perempuan yang seharusnya diperintah untuk tinggal di rumah dan membesarkan anak-anaknya […] Perempuan seharusnya tidak memiliki pilihan itu, tepatnya karena bila pilihan itu ada, maka terlalu banyak perempuan akan memilihnya. Ini adalah cara untuk memaksa perempuan dalam sebuah arahan tertentu.”
Jadi, para feminis secara gamblang tidak peduli untuk berkampanye mengenai apa yang diinginkan perempuan atau untuk memperbanyak pilihan-pilihan mereka, tetapi lebih pada menyesuaikan pilihan-pilihan perempuan terhadap apa yang dianggap para feminis seharusnya diinginkan oleh perempuan.
Feminis mengeluhkan banyaknya laki-laki yang mendominasi posisi-posisi kepemimpinan – tapi tanpa menghiraukan fakta bahwa hampir setiap manusia telah dibentuk oleh seorang wanita – ibu yang membesarkan mereka. Pertimbangkan sejenak bahwa hal ini mencakup setiap laki-laki, yang konon, patriarkis – setiap laki-laki patriarkis telah dibesarkan oleh seorang wanita. Para feminis bersemangat untuk menuntut hak-hak reproduktif, tapi bagaimana dengan tanggung jawabnya? Tanggung jawab apa lagi yang lebih besar bagi wanita yang ingin membesarkan anak-anaknya? Peran fundamental apa lagi yang ada selain membentuk generasi yang, dengan matamu sendiri, akan kamu lihat beranjak dewasa dan menghidupkan kebaikan ataupun keburukan yang kamu ajarkan? Wanita seringkali merupakan kekuasaan tertinggi di dalam rumah – berapa banyak pria yang merupakan kekuasaan tertinggi di tempat kerja mereka? Para feminis mengabaikannya karena hal itu mengakui bahwa perempuan secara luas telah memegang kekuasaan, bahkan mungkin lebih banyak daripada laki-laki; hal tersebut juga mengakui bahwa kekuasaan yang sebenarnya (true power) tidak berarti kebebasan, tetapi tanggung jawab.
Memaksa wanita untuk keluar dari pilihan untuk menjadi ibu secara full-time, bukan hanya telah merugikan banyak perempuan, tapi juga mempermudah negara (melalui bertambahnya childcare) untuk memiliki paparan dan pengaruh yang lebih besar dalam membentuk pemikiran anak-anak demi menyesuaikan mereka dengan tujuan-tujuan negara. Perempuan tidak butuh kekuasaan dalam sebuah sistem yang cacat, di mana pemberdayaan perempuan hanya akan menguatkan status quo tersebut.
3 – Kekuasaan adalah Kewajiban, Bukan Hak
Kesalahan besar dalam cara berpikir para feminis, sebagaimana tentunya dalam banyak pemikir Barat, adalah mengenai konsepsi mereka terhadap kekuasaan. Kekuasaan merupakan beban bukan keunggulan, sebuah kewajiban bukan hak, bersifat “menarik bagi yang berpotensi untuk korupsi (magnetic to the corruptible)” [viii] dan perlu terus-menerus dibatasi, kekuasaan seharusnya diberikan, bukan diminta. Dalam sebuah sistem yang benar-benar adil, seorang pemimpin seharusnya memperhatikan kepentingan seluruh individu – bukan hanya faksi tertentu. Dalam sistem yang adil, seorang pemimpin seharusnya tidak memerintah sesuai keinginannya sendiri, tetapi pada sebuah standar obyektif yang lebih tinggi daripada mereka sendiri; sebuah standar obyektif yang menjanjikan segala hak laki-laki maupun perempuan, tidak peduli siapapun yang menjalankannya, dan bahwa si pemimpin bertanggjungjawab atasnya. Seseorang yang meminta kekuasaan ini seharusnya didiskualifikasi darinya. Dalam sistem seperti ini, seorang pemimpin terikat untuk melayani, bukan memerintah. Inilah konsep kekuasaan, atau kepemimpinan dalam Islam.
Dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan dipersilahkan untuk bekerja dalam bidang politik dan lingkup pengambilan keputusan dalam pemerintah. Baik laki-laki maupun perempuan boleh menjadi hakim pengadilan dan ilmuwan hadits dan hukum Islam. Islam menetapkan bahwa sumpah atau janji setia seorang perempuan atau kepada pemimpin adalah sama dengan sumpah seorang pria. Janji dan konsultasi adalah prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam dan perempuan berbagi di dalamnya posisi yang setara.
Mengenai masalah pemimpin negara dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan tidak memiliki hak atas kekuasaan ini. Seyogyanya, laki-laki berkewajiban untuk mengemban beban ini, sementara perempuan diberkati dengan pengecualian darinya. Seorang pemimpin negara dalam Islam tidak menerima kelebihan maupun pemasukan untuk posisinya itu (tidak seperti pemimpin zaman ini), tapi digaji sejumlah kompensasi berdasarkan apa yang akan mereka terima bila saja mereka tidak diangkat untuk mengemban pelayanan publik ini. Dengan cara ini, Islam menempatkan posisi pemimpin negara seolah seperti sebuah kewajiban militer, sementara perempuan tidak diharapkan untuk mengemban beban untuk membela negara – hanya laki-laki.
Bila wanita memang benar-benar menginginkan keadilan untuk masyarakat, dan implementasi hak-hak yang telah dijamin oleh Sang Pencipta, kita seharusnya tidak terjebak atau teralihkan oleh retorika para feminis yang memberitahu bahwa kita butuh lebih banyak lagi wanita untuk menempuh jenjang ekonomi dan politik dalam rangka memperbaiki kehidupan kita. Seharusnya, kita memenuhi kewajiban kita pada Tuhan, dalam mengimplementasikan hukum-hukum Allah (swt); sebuah sistem yang berjanji untuk memberdayaan keadilan daripada manusia, dan memiliki preseden sejarah untuk melindungi pria, perempuan, dan grup-grup minoritas dari kemiskinan, eksploitasi dan penyiksaan. Tanpa menerima nilai-nilai obyektif yang diberikan oleh Sang Pencipta, manusia tidak memiliki jalan untuk kembali kepada keadilan. Perempuan tidak butuh kekuasaan karena memberdayakan kekuasaan pada perempuan tidak secara otomatis memberdayakan keadilan; perempuan tidak butuh kekuasaan karena memerdayakan perempuan tidak mengubah status quo; dan, terutama, perempuan tidak butuh kekuasaan karena kekuasaan bukanlah keunggulan bagi laki-laki ataupun perempuan – kekuasaan adalah keutamaan dari Sang Pencipta, menyisakan hanya kewajiban sebagai keutamaan bagi manusia.
Catatan kaki:
[i] http://www.fawcettsociety.org.uk/activity/women-and-power
[ii] ibid.
[iii] http://www.fawcettsociety.org.uk/women-and-politics/
[iv] Untuk negara Inggris, lihat debat Hansard dan MP (anggota parlemen) Philip Davies: http://www.theyworkforyou.com/whall/?id=2012-10-16a.32.1. Lihat juga untuk Amerika Serikat: http://www.huffingtonpost.com/2012/09/11/men-women-prison-sentence-length-gender-gap_n_1874742.html
[v] http://bbc.co.uk/news/education-16530012
[vi] http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm
[vii] http://www.bbc.co.uk/news/magazine-20231337
[viii] Herbert Dune
*Berdasarkan lagu anak-anak (nursery rhyme) Jack and Jill. Kalimat dalam artikel aslinya adalah “If Jack goes tumbling down a hill, does Jill really have to go tumbling after?” -red.
Diterjemahkan dari tulisan Zara Faris ‘Do Women Need Power?’, oleh Lisana Shidqina.
ini gimana sih, ngebandingin jumlah perempuan di ruang politik atau ekonomi dengan basis kelas? jumlah perempuan sedikit, trus yang dibahas kalo laki-laki ‘orang kecil’ ngga bisa juga. Dari bahasannya aja udah ngga setara. aduh, gimana ini….mosok yang seperti ini layak naik ya? saya jadi ragu sekali dengan situs ini.
ya elaaah. komen aja dimoderasi. HAHAHAHA. kalian fasis.
FEMINIS MODERN BANYAK NUNTUT