Book Review: “Delusi Kesetaraan Gender: Tinjauan Kritis Konsep Gender”

Oleh: Fajri Muhammadin*

Satu hal yang perlu dicamkan sebelum memulai membaca buku ini adalah bahwa “do not judge a book by its cover” adalah sebuah kaidah yang sangat penting. Sangat mungkin dan sangat sering sebuah slogan terdengar begitu indah, tapi maknanya sangat umum sehingga dapat diturunkan menjadi beraneka konsep yang sama-sama memenuhi slogan umum tapi ternyata saling bertabrakan.

“Kesetaraan gender” pun adalah istilah yang terdengar indah bak juru selamat apabila dihadapkan dengan penindasan masyarakat Eropa yang bahkan memperdebatkan apakah perempuan termasuk manusia atau bukan. Akan tetapi, perbandingan tersebut menjadi serasa seperti false dilemma apabila kita menyelam lebih lanjut terhadap apa sejatinya makna dan konsep “kesetaraan gender”.

Karena itu, ada dua konsekuensi:

  1. Bila ada yang menggaungkan slogan “kesetaraan gender”, kita harus membaca lebih lanjut bagaimana ia memaknai slogan tersebut.
  2. Bila ada yang mengkritik “kesetaraan gender,” tidaklah mesti ia bermakna “pro-diskriminasi gender.”

Poinnya: baca sampai tuntas buku ini, baru simpulkan.

Masalahnya, peneliti-peneliti terkemuka di Barat akhir-akhir ini mengatakan bahwa menyalahkan perempuan hamil yang merokok adalah salah dan ‘seksis’. Bahkan, ada klaim bahwa ideologi feminisme ala barat (sumber dari konsep “kesetaraan gender”) berdampak pada meningkatnya aborsi atau bahkan pembunuhan terhadap bayi. Apakah pandangan-pandangan gila ini adalah representative terhadap produk kesetaraan gender? Atau ia ‘penyimpangan’, sebagaimana ISIS adalah penyimpangan terhadap Islam?

Buku Delusi Kesetaraan yang ditulis oleh Dr Dinar Dewi Kania dkk yang dipublikasi tahun 2018 oleh BAZNAS ini menelaah secara objektif sejarah dan pemikiran konsep “kesetaraan gender” yang dibawa oleh feminis sekuler barat. Kemudian, dijelaskan juga bagaimana pemikiran konsep “kesetaraan gender” ternyata memiliki dampak serta produk turunan pada berbagai bidang. Ada tinjauan dari perspektif filsafat dan tafsir, ada dari perspektif psikologi, ada dari perspektif biomedik, ada dari perspektif sosiologi, dan banyak lagi. Yang membuat saya sangat excited adalah karena ada juga analisis terhadap instrumen hukum internasional yaitu the Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against Women (CEDAW).

Dari semua penjelasan yang dihuraikan dalam buku ini, kita dapat mempelajari beberapa hal yang sangat penting.

Pertama, bukanlah satu saja cara untuk memaknai “kesetaraan gender” atau “keadilan antar gender” atau semisalnya. Sedangkan, pemaknaan yang berbeda-beda ini banyak saling menabrak dalam berbagai level. Takkan dua pandangan yang bertabrakan secara diametrik bisa kesemuanya betul. Minimal pasti salah satunya salah.

Kedua, konsep “kesetaraan gender” yang digaungkan oleh feminis sekuler liberal memiliki banyak kekeliruan. Kekeliruan ini berakar baik secara epistemologis, metodologis, yang akan mengakibatkan banyak sekali masalah secara praktis. Tidak mungkin sebuah konsep dihasilkan dari kekeliruan berfikir, melainkan ia akan menghasilkan konsep-konsep atau produk-produk turunan yang bermasalah. Makanya, pernyataan-pernyataan gila pada paragraf 4 di atas tadi bukanlah penyimpangan melainkan konsekuensi logis.

Ketiga, ‘bermasalah’ ini tidak akan tampak apabila alat ukur yang digunakan adalah juga merupakan turunan dari kekeliruan berfikir yang sama. Buku ini menawarkan kritik bukan hanya pada substansi, melainkan juga pada kerangka berfikir yang banyak diamini sebagai ‘default’ pada banyak orang zaman sekarang padahal ia keliru.

Tentunya bukanlah manusia kalau tidak pernah bersilap. Ada beberapa hal yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan kualitas buku ini. Secara substansi, misalnya, sebetulnya saya menunggu-nunggu apakah ada analisis hegemonisasi konsep “kesetaran gender” ala feminis sekuler barat ini. Ada dua tulisan tentang CEDAW, bahkan salah satunya sudah memiliki sub-bab berjudul “CEDAW Sebagai Instrumen Pengarusutamaan Gender Internasional.” Andaikan sekalian dilanjutkan dengan menggunakan analisis Critical International Law, Postcolonialism, dan Realism, akan sangat mak nyus buanget! Sayangnya tidak sampai ke sana.

Selain itu, ada beberapa hal yang dapat diperbaiki dalam hal referensi. Pertama, di beberapa tempat ada beberapa informasi penting tapi sitasinya bersifat ‘tangan kedua’. Misalnya pada halaman 3-4 ada kutipan dari Tertullian dan St John Chrysostom tentang perempuan, tapi mengambil rujukan dari Abu ‘Ala Maududi. Tentu akan lebih baik mencari rujukan yang lebih primer.

Selain tidak seragamnya sitasi (ada sebagian bab yang memiliki banyak footnote, ada yang tidak ada footnote), juga kadang ada ketidaksinkronan antara sitasi dan bibliografi. Misalnya pada bab berjudul “Komplementer, Bukan Kompetisi: Telaah Biomedik Konsep Gender”. Tidak ada footnote sama sekali di bab ini, padahal kalau bisa diberikan footnote pasti akan lebih keren lagi plus ditambah lebih banyak referensi untuk koroborasi poin yang sama. Lalu, di halaman 133 ada disebut “Wagner dkk menyimpulkan…” tapi di bibliografi tidak ada penulis bernama “Wagner dkk,” padahal bisa menambahkan kredibilitas artikelnya.

Akan tetapi, masukan-masukan ini bukanlah akibat kekurangan dalam artian negatif. Ini hanyalah untuk meningkatkan kualitas buku yang sudah sangat baik untuk menjadi lebih baik lagi. Buku ini, bagi saya, adalah sebuah gebrakan awal untuk menantang hegemoni konsep “kesetaraan gender” ala feminis sekuler barat yang telah menghegemoni tapi bukan karena kebenarannya. Rasanya ia adalah titik tolak untuk memulai rekonstruksi pemikiran sebelum membaca buku-buku feminisme dan Islam yang lebih “berat” seperti misalnya karya Prof. Zeenath Kausar, Prof. Yunahar Ilyas, Prof Mahmudul Hasan, Sachiko Murata, dan lain-lain.

Intinya, buku ini sangat recommended untuk dibaca segala kalangan. Bagi akademisi atau aktivis yang meneliti terkait gender atau nyerempet soal gender, ini sangat penting. Bagi masyarakat awam yang berada di tengan ‘cross-fire’ diskursus soal gender dan HAM, ini juga sangat penting.

 

Jadi, make sure you get it and read it!

*Penulis merupakan dosen di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada dan kandidat doktor di Department of Islamic Law, Ahmad Ibrahim Kuliyyah of Laws, International Islamic University of Malaysia.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.