Oleh: Akmal Sjafril
Cinta dan cemburu adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kita tidak bisa memahami cinta yang tak disertai kecemburuan, dan bahkan kita tidak bisa mendefinisikan cinta tanpa kecemburuan.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Sa’ad ibn ‘Ubadah ra pernah mengatakan bahwa jika ia melihat istrinya berduaan dengan lelaki lain, niscaya ia akan menghabisi laki-laki itu dengan pedangnya. Ketika kata-kata ini sampai kepada Rasulullah saw, beliau bersabda: “Apakah kalian heran melihat kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih pencemburu daripadanya, dan Allah lebih pencemburu daripadaku.”
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw menjelaskan secara lebih mendalam perihal kecemburuan Allah SWT ini. Sabda beliau: “Tak ada seorangpun yang lebih pencemburu daripada Allah, yang karena sifat cemburu-Nya Allah mengharamkan segala bentuk perbuatan keji.”
Adapun perihal cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, agaknya bisa dicukupkan dengan hadits berikut:
Barangsiapa berbuat kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan yang semisalnya, dan terkadang Aku tambahkan lagi. Dan barangsiapa yang berbuat keburukan, maka balasannya adalah keburukan yang serupa atau Aku mengampuninya. Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depan. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari. Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula. (HR. Muslim)
Besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya dibuktikan dengan cara-Nya ‘memperhitungkan’ amal-amal manusia. Jika manusia berbuat kebaikan, maka pahalanya sepuluh kali lipat, bahkan lebih. Sebaliknya, jika manusia berbuat kesalahan, maka dosanya setimpal dengan kesalahannya, bahkan ada kemungkinan diampuni secara sempurna. Allah SWT pun mendekat kepada hamba-hamba-Nya lebih cepat daripada manusia menghampiri-Nya, meskipun Dia sangat cemburu dengan kemaksiatan hamba-hamba-Nya. Pada akhirnya, kita pun memahami bahwa ada satu hal yang paling dicemburui Allah, yaitu kemaksiatan terbesar, yang tidak lain adalah menyekutukan-Nya.
Jika Sa’ad ibn ‘Ubadah ra dan Rasulullah saw sebagai suami tidak bisa mentolerir jika istri-istrinya menduakannya, maka Allah SWT pun takkan rela jika ada manusia yang menyekutukan-Nya dengan yang lain. Sebesar apa pun dosa manusia, Allah dapat mengampuninya, kecuali jika manusia berlaku khianat dengan memberikan cinta yang sama atau bahkan lebih besar kepada selain-Nya.
Hamba-hamba Allah, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya, membalas cinta Allah dengan tidak mencintai apa pun melebihi cinta mereka kepada Allah. Oleh karena itu, mereka rela kehilangan nyawa demi mempertahankan ‘aqidah. Mereka tak mampu mengkhianati kecintaannya kepada Allah, meski harus menggadaikan nyawa. Lagipula, jika harus melepas nyawa, toh manusia takkan kemana-mana selain kembali kepada Allah. Maka, kematian di jalan Allah adalah jalan paling sempurna untuk bertemu dengan Dia yang paling dicintai oleh hamba-hamba-Nya.
Mencintai Allah tentu sejalan dengan mencintai apa-apa yang Allah cintai, dan sebaliknya, juga mencintai orang-orang yang mencintai Allah. Seorang mukmin bukan hanya tak sampai hati melakukan kemaksiatan dengan sengaja (karena ia mengetahui betapa cemburunya Allah), namun juga tak rela jika orang-orang yang dicintainya melakukan perbuatan maksiat yang sama. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman pasti menjaga keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Sebagian kaum sekularis kini menyebarkan keraguan kepada umat Muslim dengan mengatakan bahwa mereka hanya menjadi Muslim karena kebetulan lahir di tengah-tengah keluarga Muslim. Pendapat ini seolah-olah menunjukkan bahwa setiap orang yang beriman cenderung tidak kritis dan menerima agamanya semata-mata secara dogmatis. Dengan demikian, mereka yang beriman dianggap tidak kritis, dan yang ingin kritis merasa perlu untuk tidak beriman. Seorang penggiat Islam liberal mengatakan dalam blog-nya bahwa memang keberimanan seseorang itulah yang menjadi penyebab ‘kebutaan’:
“Di mata orang beriman, kontradiksi itu memang tak kelihatan, karena yang bersangkutan sudah dikondisikan oleh imannya untuk mempercayai apa saja yang termuat dalam kitab tersebut.”
Cara berpikir semacam ini mengakibatkan banyak konsekuensi berikutnya, dan paling tidak dua di antaranya dapat didiskusikan di sini. Pertama, ia mengakibatkan dualisme dalam jiwa manusia; di satu sisi mengaku beriman, di sisi lain hatinya penuh keraguan. Lebih lanjut, manusia seperti ini bukan hanya bersikap skeptis pada agama, tapi juga lebih percaya kepada mereka yang skeptis ketimbang yang beriman. Janganlah heran jika mereka lebih percaya kepada orientalis yang jelas-jelas tak beriman ketimbang para ulama.
Efek kedua dari cara berpikir ini adalah mengantarkan manusia pada paham pluralisme agama, meski biasanya dalam bentuk yang sangat simplistik, atau bahkan tidak lebih dari pemikiran yang lahir dari ketidakmautahuan (ignorance). Mereka menganggap semua agama sama saja, dan semua manusia bisa masuk surga apa pun agamanya, tidak peduli apa yang disembahnya. Mereka pun, mungkin dengan main-main, mengatakan bahwa mereka beriman, meski tanpa rasa takut (faith without fear).
Banyak orang sudah terjebak dalam kekeliruan ketika menafsirkan cinta Allah. Dengan alasan saking dekatnya hubungan dengan Allah, maka dianggapnya syari’at boleh ditinggalkan. Tidak sedikit pula yang meninggalkan cinta Allah hanya demi mendapatkan cinta dari seorang kekasih. Tapi apakah mungkin manusia bisa mendapatkan cinta Allah jika mengabaikan kecemburuan-Nya?