Oleh: Kholili Hasib*
Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Chlidfree telah menjadi trend, khususnya di negara-negara Barat, atau masyarakat yang mengikuti gaya hidup model Barat. “Dalam al-Quran dan Hadis tidak ada keterangan yang mewajibkan pasangan suami istri untuk punya anak”. “Ingin memimiliki anak atau tidak, kembali ke pilihan masing-masing”. Demikian potongan status aktivis penganut childfree di media sosial. Bagaimana pandangan Islam tentang gaya hidup tidak punya anak ini?
Sepertinya, pilihan menjadi childfree ini hak manusiawi setiap individu. Tetapi sejatinya lebih dari menggunakan haknya itu: ada yang memiliki pandangan yang memutus hidupnya dengan agama, bahkan sampai berdiri di atas paham materialism yang ekstrim. Sehingga, seakan-akan pasangan suami-istri itulah yang memiliki otoritas penuh menentukan ‘beranak’ atau ‘tidak beranak’. Padahal, tidak sesimpel itu. Sebab, memang isu ini persoalan yang serius yang perlu diurai dari beberapa hal.
Secara garis besar, kita perlu melihat dari dua aspek; pertama aspek teologis, kedua aspek yuridis Islam. Pertama, ketika sepasang suami-istri menikah, biasanya yang mereka harapkan adalah segera mendapatkan keturunan. Karena salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan keturunan yang baik. Dalam hal ini terdapat penjelasan al-Qur’an, bahwa menikah itu bertujuan melahirkan keturunan yang mulia:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72).
Rasulullah Saw juga mengajurkan memiliki anak:
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَومَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad).
Ayat dan hadis di atas merupakan petunjuk yang terang, bahwa sudah semestinya menikah itu dibarengi niat meneruskan keturunan. Nabi Muhammad Saw menyukai umatnya yang memiliki anak keturunan. Tentu saja anak keturunan ini untuk disiapkan menjadi generasi yang baik.
Maka, niat itu penting. Setiap tindakan dapat diukur dari niatnya. Menikah dengan niat untuk menyenangkan Rasulullah Saw, dengan mempersembahkan kader yang sholih adalah anjuran agama. Janganlah menikah itu berdiri di atas paradigma materialism. Takut miskin, takut anak, takut tidak bahagia, dll. Jika telah benar niatnya, meskipun tidak terlaksana tindakan itu, maka tetap ada ganjaran dari Allah Swt.
Akan tetapi, keturunan yang banyak, sedikit atau bahkan tidak bisa memiliki keturunan karena alasan medis, merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari keputusan Allah Swt. Allah Swt berfirman:
لِّلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki “ (QS. Asy-Syuro: 49).
Maka, yang memberi rizki anak keturunan itu tidak lain adalah Allah Swt. Bukan seorang pria, juga seorang wanita. Di antara pasangan suami-istri ada yang dikaruniai anak perempuan, ada yang diberi anak laki-laki. Ada pula yang Allah Swt menghendaki tidak diberi keturunan sama sekali, baik laki-laki maupun perempuan. Semua ini keputusan dan kehendak Allah Swt.
Meski begitu, pasangan Muslim dianjurkan untuk berusaha mendapatkan keturunan. Ada atau tidak ada keturunan adalah kehendak Allah Swt. Hasan Khitab mengatakan: “Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya adalah menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan melahirkan keturunan yang baik. Alasan ini secara hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan. Karenanya tidak mungkin terbayang adanya anak yang baik tanpa pernikahan, sehingga menikah adalah sebab yang menjadi perantaranya. Anak yang baik menjadi maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada pernikahan, maka tidak akan ada anak yang baik.”(Maqasidun Nikah wa Atsariha Dirasatan Fiqhiyyatan Muqaranatan, 9). Namun, bila pasangan sudah berniat untuk tidak mau memiliki keturunan, maka ia sejatinya telah memilih untuk tidak berada dalam anjuran nas ilahi dan Nabi.
Kedua, secara yuridis Islam. Dari segi niat memperoleh keturunan, maka pernikahan itu menjadi nilai ibadah. Dalam hal ini Imam al-Ghazali berpendapat:
فى التواصل الى الولد قربة من اربعة وجوه هي الاصل فى الترغيب فيه عند امن من غوائل الشهوة حتى لم يحب احد ان يلقي الله عزبا الاول موافقة الله بالسعي فى تحصيل الولد الثانى طلب محبة الرسول صلى الله عليه وسلم في تكثير من به مباهته الثالث طلب التبرك بدعاء ولد الصالح بعده الرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير اذا مات قبله (أبوحامد محمد بن محمد الغزالي،إحياء علوم الدين 2، ص. 25).
“Upaya untuk memiliki keturunan menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dengan memperbanyak keturunanan yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.”
Atas dasar itu, apabila pasangan suami – istri sehat, secara medis memiliki peluang memperoleh keturunan, tidak ada kendala penyakit atau hal yang semisalnya, maka dilarang untuk menutup jalan keturunan. Pada Muktamar NU ke-12 di kota Malang tanggal 25 Maret 1937, masih dalam kepemimpinan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu keputusan hukum yang dikeluarkan adalah tidak boleh memutus jalan keturunan. Dalam keputusan tersebut dinukil ibarah dari kitab I’anatu at-Thalibin:
أفتى ابن عبد السلام وابن يونس بأنه لا يحل للمرأة أن تستعمل دواء يقطع الحبل.
“Ibnu Abis Salam dan Ibnu Yunus berfatwa bahwa tidak halal bagi wanita menggunakan obat yang bisa memutus kehamilan”.
Dengan demikian, pilihan childfree itu tidak sesuai dengan keputusan agama dan menyalahi tujuan dari pernikahan. Secara tekstual memang tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan Hadis untuk memilih tidak punya anak. Tapi isu ini masuk ke ranah fiqih. Oleh sebab itu, wajib ada istinbath. Al-Qur’an dan Hadis adalah alat utama istinbath. Jadi sebagaimana dikatakan oleh Prof. As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki bahwa tidak adanya teks dalam al-Quran dan hadis bukan merupakan atau belum tentu dalil yang bisa dipakai (As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manhajus Salaf fi Fahmin an-Nushus, 418).
*Penulis merupakan Dosen IAI Dalwa Bangil