Oleh: Azalia Safira
Bagi sebagian masyarakat, nama Fatimah Al-Fihri masih asing di telinga. Padahal, ia salah satu muslimah di dunia yang sangat berjasa dalam bidang pendidikan. Ia orang pertama yang mendirikan universitas tertua di dunia yang terletak di Maroko.
Ia seorang putri dari saudagar kaya raya asal Tunisia yang dilahirkan pada tahun 800 M. Ayahnya bernama Muhammad Al-Fihri. Meskipun berasal dari keluarga kaya dan bangsawan, mereka memiliki kepedulian dan kepekaan pada sesama serta memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sering menyambung silaturahmi dengan semua kalangan dan gemar bersedekah.
Pada masa Raja Idris II, awal abad ke-9, Fatimah beserta keluarganya hijrah dari Qayrawan (Tunisia) ke kota Fez di Maroko. Fez kala itu terkenal sebagai kota metropolitan dengan penduduk Muslim non-Arab. Ia kota yang sangat maju. Aktivitas ekonomi saat itu berkembang sangat pesat.
Fatimah al-Fihri mempunyai saudara perempuan yang bernama Maryam. Kakak-beradik ini memperoleh pendidikan mumpuni. Mereka berdua tumbuh dalam lingkungan yang mencintai ilmu, keagamaan maupun ilmu umum atau sains, khususnya arsitektur dan bangunan. Fatimah konon terkenal dengan jiwa pebisnis dan saudagar sukses. Di kota ini, mereka sukses berdagang dan menjadi salah satu pebisnis ternama. Agama menjadi ruh utama di keluarga besar Fihri.
Di Fez, keluarga Fatimah al-Fihri terus mengembangkan sayap bisnis. Mereka menjadi pengusaha Muslim yang sukses. Harta kekayaannya melimpah. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Fatimah muda ditinggal oleh ayah dan suaminya tercinta.
Tinggallah Fatimah bersama saudara kandungnya, Maryam.
Fatimah memang tercatat tidak pernah belajar di luar rumah. Keluarga adalah madrasah utama yang mencetak karakternya selama ini. Sumbangsih terbesar yang dilakukan oleh dua bersaudara ini ialah mendirikan Masjid al-Qarawiyyin (al-Karaouine). Mereka berdua memiliki semangat, keinginan, dan misi yang sama.
Dua wanita muda ini sepakat akan menggunakan semua warisan kedua orangtuanya untuk membangun masjid dan universitas. Mereka bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Sejak awal menetap di distrik barat Fez, Maroko, Fatimah dan Maryam mempunyai tekad dan cita-cita untuk kemajuan masyarakat di kota tersebut.
Fatimah memilih untuk membangun masjid yang dinamakan al-Qarawiyyin. Masjid itu terkenal juga dengan julukan Masjid Jami’ al-Syurafa’. Sementara Maryam membangun masjid al-Andalus, di Spanyol. Dua masjid ini kemudian bertransformasi menjadi universitas yang kelak menjadi kiblat dunia pendidikan modern, mulai dari kurikulum, sistem pengajaran, sampai ke urusan simbol akademik.
Keduanya menginginkan agar harta warisan orangtuanya dapat bermanfaat dan pahalanya tetap mengalir. Fatimah berkarya melalui Masjid al-Qarawiyyin, sedangkan Maryam membangun Masjid al-Andalus. Kelak, kedua lokasi tersebut mempunyai posisi dan peran penting dalam penyebaran Islam di Maroko dan Eropa saat itu.
Terkait lokasi masjid, Fatimah menyadari sepenuhnya arti kota Fez, Maroko. Letaknya yang sangat strategis memungkinkan para sarjana dan cendekiawan Muslim datang ke masjid itu. Fez menjadi kota berpengaruh sepanjang abad dan berposisi sebagai pusat agama dan budaya.
Di tangan Fatimah, proses pembangunan masjid yang berdiri pada masa pemerintahan Dinasti Idrisiyah tersebut penuh dengan kisah-kisah spiritual. Konon, Fatimah berpuasa selama pembangunan berlangsung. Seluruh biayanya berasal dari kantong pribadinya.
Ia tak ingin mengambil material apapun yang diambil dari orang lain. Pasir dan air sebagai material pokok diperoleh di lokasi tempat masjid berdiri tegak. Seperti yang dinukilkan, Fatimah memerintahkan para pekerja agar menggali sedalam-dalamnya untuk mendapatkan pasir sehingga tidak mengambil hak orang lain.
Sejak itulah, al-Qarawiyyin mengundang ketertarikan para sarjana dan cendekiawan Muslim. Kajian ilmu sering berlangsung di sana. Penuntut ilmu pun berdatangan dari penjuru Maroko, negara-negara Arab, bahkan penjuru dunia. Dalam waktu yang singkat, Fez mampu bersanding sejajar dengan pusat ilmu pada masa itu, yaitu Cordova dan Baghdad.
Secara resmi pada masa al-Murabithi para ulama diberikan tugas formal untuk mengajar di al-Qarawiyyin. Data sejarah menyebut sistem pendidikan formal berlangsung di Masjid al- Qarawiyyin pada masa al-Murini. Ketika itu, dibangun banyak unit kelas lengkap dengan fasilitas pengajaran, seperti kursi dan beberapa lemari.
Universitas ini menghasilkan para pemikir ternama. Ada pakar Matematika Abu al-Abbas az-Zawawi, pakar bahasa Arab dan seorang dokter Ibnu Bajah, serta pemuka dari Mazhab Maliki, Abu Madhab al-Fasi. Ibnu Khaldun, sosiolog tersohor itu konon juga pernah belajar di kampus ini. Al-Qarawiyyin juga merupakan pusat dialog antara kebudayaan Barat dan Timur.
Selain itu, selama abad pertengahan, Universitas Al-Qarawiyyin dianggap sebagai pusat intelektual utama di Mediterania. Reputasinya sangat baik hingga menyebabkan Gerber dari Auvergne belajar di masjid. Gerber kemudian menjadi Paus Silvester II dan telah memperkenalkan angka Arab dan nol ke seluruh Eropa.
Seorang filsuf Yahudi Maimonides (Ibn Maimun) belajar di al-Qarawiyyin di bawah asuhan Abd al-Arab Ibnu Muwashah. Demikian pula, al-Bitruji (Alpetragius). Dengan kata lain, Fatimah meninggalkan warisan berharga bagi generasi Muslim di seluruh dunia. Hingga kini, nama sosok yang wafat pada 266 H/ 880 M itu abadi, sekokoh masjid sekaligus universitas (al-Karaouine) yang ia bangun.
Baca Juga: Nyai Dahlan: Pelopor Kesadaran Pendidikan Perempuan Jawa
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/05/31/mnnimp-fatimah-alfihri-muslimah-pendiri-universitas-tertua
https://www.whyislam.org/muslim-heritage/fatima-al-fihri-founder-of-worlds-very-first-university/