Oleh: M. Hamdi*
Faham kesetaraan gender terus gencar diwacanakan oleh kalangan feminis dan para pendukungnya melalui berbagai sarana yang sering kali tampak sangat vulgar, namun lebih sering menghilang dan mengurung diri dalam lingkungan terbatas, seperti pusat-pusat studi wanita, lembaga-lembaga swadaya, organisasi kewanitaan, pelatihan dan workshop, dan lain sebagainya.
Dengan mengusung ide kesetaraan gender, kaum feminis menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang; politik, sosial, ekonomi, bahkan keagamaan. Berbagai kasus pun mencuat, mulai dari tuntutan persamaan hak waris, porsi kursi bagi perempuan di parlemen, pernikahan beda agama secara mutlak, hingga pembenaran hubungan sesama jenis, dan tentu saja masih banyak persoalan lain yang mereka angkat. Jika semua ini dipraktikkan, akan merusak tata peradaban di dalam masyarakat.
Secara umum, terdapat empat aliran feminisme yang selalu menjadi standing of theory aktivis pembela kesetaraan gender. Pertama, Feminisme Liberal yang menekankan pada hak-hak sipil kaum perempuan. Seperti hak atas keputusan seksualitasnya dan hak reproduksi. Kedua, Feminisme Kultural yang lebih mengaitkan pada nilai-nilai kehidupan dengan rasa alami perempuan. Seperti pengasuhan, saling mengasihi, dan segala nilai moral. Ketiga, Feminisme Radikal yang selalu berkeinginan untuk menghapus dominasi laki-laki atas perempuan dengan dasar gendernya. Keempat, Feminisme Sosialis yang selalu menisbatkan penindasan perempuan pada sistem ekonomi dalam bentuk kepemilikan privat dan kapitalis. Namun dari empat aliran ini, inti ide dari feminisme sebenarnya sama, yaitu kehendak bebas dari kekangan gender yang membentuk paradigma inferioritas perempuan, baik dalam struktur keluarga maupun sosial.
Bila diteliti lebih jauh, sesungguhnya gerakan feminisme akan berujung pada hancurnya individu yang berimplikasi pada keruntuhan sebuah peradaban. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan tiga tanda utama hancurnya sebuah peradaban. Pertama, karena pemusatan kekuasaan. Maksudnya ada orang yang memusatkan kekuasaan di tangannya, berarti ia telah mulai menekan keinginan orang lain dan merusak peranan solidaritas tanpa memperdulikan kesejahteraan orang lain. Lebih dari itu, ia hanya memikirkan dirinya dalam bentuk terus mengumpulkan kekayaan yang pada hakikatnya dimiliki oleh rakyat. Kedua, watak dari penguasa menuntut kepatuhan. Artinya, selalu meminta kepatuhan orang lain untuk dirinya. Menurut Ibn Khaldun, hal ini akan melahirkan sifat pemalas. Dari dua tanda ini, sebenarnya bisa ditarik satu kesalahan dasar, yaitu kesalahan moral individu.
Feminisme menuntut revitalisasi hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki, sehingga melupakan struktur biologis yang dimiliki karena terlalu kencang memperhatikan persamaan gender. Padahal gender terbentuk oleh keadaan fitrah perempuan itu sendiri. Jika anak laki-laki terbiasa memanjat pohon kelapa, itu karena struktur tubuh dan ototnya. Jika anak perempuan terbiasa dengan boneka, itu arena fitrahnya. Saat perempuan ingin menolak stereotype ini, maka perempuan akan menghilangkan fitrahnya, sehingga enggan untuk hamil dan enggan untuk memiliki anak. Jika sudah memiliki anak, ia enggan untuk mengasuh dan lebih berfikir bagaimana menyamakan dirinya dengan laki-laki. Hal ini secara otomatis akan menghapus peran dasar perempuan sebagai “al-madrasah al-ula”.
Jika perempuan telah lupa peran dasarnya, maka masyarakat yang terbentuk darinya akan merasakan imbasnya. Solidaritas masyarakat otomatis akan melemah karena anak yang nantinya menjadi pemuda yang beradab telah menjadi manusia tanpa budi dan tanpa pendidikan akhlak yang baik. Sehingga masyarakat yang ada terbentuk dari sifat-sifat personal yang tercela. Ibn Khaldun menjelaskan, tujuan akhir dari sifat-sifat personal sebagai detail-detail pelengkap adalah kedaulatan. Sedangkan kedaulatan memiliki tujuan akhir solidaritas sosial. Maka solidaritas sosial saja tanpa mempraktekkan sifat terpuji pasti akan membentuk kekurangan dalam banyak hal.
Selaras dengan ini, Prof. Naquib Al-Attas menjelaskan, jika ingin menyelesaikan problem banyak munculnya kepemimpinan palsu, maka haruslah dikoreksi secara efektif ketiadaan adab. Menurutnya, ketiadaan adab akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami.
Sebuah masyarakat juga tak terlepas dari unsur pendidikan. Dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan membuktikannya. Pertama, pendidikan adalah sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Kedua, lebih berorientasi pada individu untuk menyiapkannya sebagai makhluk masa depan. Baik pertama maupun yang kedua, sesungguhnya memiliki sumbangsih yang sama dalam terciptanya sebuah masyarakat yang beradab.
Oleh sebab itu, tidak salah jika mengatakan perempuan adalah citra sebuah peradaban. Islam telah mencantumkan beberapa sosok perempuan dalam al-Quran dan sejarah. Sebagai contoh; pertama, Maryam alaihissalam yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah) (QS. Al-Muthaffifin: 21). Kedua, Khadijah. Ia merupakan perempuan pertama yang mempercayai ajaran Islam. Ia juga yang selalu menemani Nabi Muhammad Saw. Ketiga, Fatimah Az-Zahra yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan umat sampai mengingatkan para pemimpin masyarakat agar memperhatikan tanggung jawab dan menunaikan tugas-tugasnya. Dan banyak lagi sosok perempuan yang patut dicontoh. Mereka semua adalah citra dari peradaban Islam yang terdepan.
Maka sepatutnya perempuan merenungkan kembali perannya sebagai sekolah pertama yang akan melahirkan generasi penerus bangsa. Jika benar kaum hawa disebuah bangsa, maka akan benar pula masyarakatnya. Bukan justru menjauh dari rumah dan mengesampingkan peran utamanya karena mengejar revitalisasi hak-haknya.
Sebagai penutup dari tulisan ini, perlu untuk ditegaskan sekali lagi bahwa peran perempuan menjadi semakin penting. Generasi yang beradab mungkin akan terbentuk jika orang tua berperan maksimal untuk mendidik anak. Posisi perempuan akan semakin mulia jika bisa berperan maksimal dalam proses mendidik anak. Ungkapan al-umm al-madrasatul ula adalah tradisi dalam kehidupan masyarakat muslim. Apalagi kondisi saat ini, jangankan membentuk generasi beriman dan berilmu, membentuk anak yang saleh sungguh tugas yang berat. Islam sangat mementingkan kehidupan diri dan keluarga. Sementara feminisme, terlalu menekankan partisipasi perempuan yang terlalu aktif dalam kehidupan sosial. Ini akan membewa dampak pada kerapuhan benteng keluarga.
Padahal, ketahanan keluarga adalah keniscayaan. Apalagi lingkungan saat ini sudah terkontaminasi dengan nilai-nilai yang merusak kehidupan agamis. Jika keluarga rapuh, maka akan sulit membentuk generasi yang beradab, yang menjadi tujuan dari kehidupan masyarakat Islam. Feminisme semakin menjauhkan keluarga muslim dari membentuk generasi yang beradab.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor
ed: Kholili