Oleh: Henri Shalahuddin
Peneliti INSISTS bidang Gender
Selama bertahun-tahun meneliti perkembangan studi tentang gender, penulis sampai pada kesimpulan: semakin banyak Perguruan Tinggi Islam yang berbondong-bondong mengintegrasikan paham keadilan dan kesetaraan gender (KKG) ke dalam studi Islam. Kasus-kasus parsial tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), meningkatnya angka perceraian, dan kejahatan terhadap wanita yang terjadi di sebagian masyarakat, menjebak para pemegang kebijakan negara untuk menata ulang konsep pendidikan dan perundang-undangan.
Kebijakan itu awalnya dipengaruhi oleh hasil kajian para sarjana Barat — dengan segala perbedaan nilai dan budaya yang melatarbelakanginya. Lalu, diambil kesimpulan secara acak bahwa telah terjadi kriminalisasi perempuan dalam sistem kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga maupun sebagai individu. Sebagian penelitian kemudian menggambarkan, seolah-olah sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini tidak sunyi dari pemiskinan, pembodohan dan pemarjinalan kaum hawa. Padahal, kasus-kasus sejenis juga menimpa kaum laki-laki. Hanya tidak ada penelitian khusus tentang kasus penindasan laki-laki.
Strategi-strategi seperti: women in development (WID), gender and development (GAD), hingga pengarusutamaan gender (PUG) yang diterapkan dalam pembangunan nasional, didasarkan pada asumsi tentang rendahnya daya saing dan kualitas perempuan. Konon, itu akibat mengakarnya ideologi patriarkhi di masyarakat yang lebih mengutamakan laki-laki. Karena itu dibangun logika: perlu pengutamaan perempuan. Singkatnya, melalui payung INPRES No. 9 Tahun 2000, PUG telah menjelma menjadi “rukun” baru dalam pembangunan nasional, termasuk pengembangan kurikulum studi Islam berbasis gender di lingkungan perguruan tinggi.
‘Genderisasi’ Studi Islam
Dalam konteks perguruan tinggi Islam, penerapan program PUG kedalam kurikulum pendidikan, termasuk studi Islam, dipandang telah menjadi suatu keniscayaan. Entah bagaimana pola awalnya, proses ‘genderisasi’ studi Islam cenderung berkembang begitu liar. Agama (Islam) dituduh sebagai sumber terjadinya bias gender. Tuduhan ini bukan dianggap lagi sebagai hal yang ganjil. Gelombang krisis kepercayaan, khususnya terhadap khazanah Tafsir dan Fiqh yang diduga lebih memihak laki-laki adalah fenomena yang menghegemoni banyak perguruan tinggi Islam. Dekonstruksi terhadap Ilmu Tafsir dan Fiqh, hingga ke ranah bahasa Arab al-Quran, telah menjadi corak baru studi Islam di beberapa perguruan tinggi Islam.
Dalam beberapa kasus, penulis menemukan terasingnya ruh dalam perkembangan studi Islam karena dipaksa harus tunduk pada nalar kesetaraan gender. Hukum-hukum Islam yang digali melalui kaedah istinbathul hukm yang sangat ketat dan ilmiah sejak zaman Sahabat Nabi hingga ulama-ulama terkemuka, dengan gampangnya didekonstruksi ulang berdasarkan doktrin ‘jenis kelamin’.
Bahwa, hukum-hukum Islam adalah produk ahli fiqih yang kebanyakan laki-laki. Para ulama fiqh dan tafsir digambarkan sebagai rezim laki-laki yang bengis dan melanggengkan praktek patriarkhisme dalam Islam. Maka dekonstruksi terhadap studi Islam dipandang perlu dan mutlak untuk mendobrak kemapanan rezim yang merugikan pihak perempuan ini.
Bahkan dalam sebuah karya monumentalnya, seorang guru besar yang sudah seperti dianggap sebagai rujukan (marja’) tertinggi di bidang studi Islam berbasis gender menulis dalam bukunya: “Bahasa Arab yang “dipinjam” Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias gender, baik dalam kosa kata (mufradat) maupun dalam strukturnya”. Kemudian beliau juga menegaskan: “Tidak ada jaminan bahwa ide atau gagasan Allah SWT 100% terwakili di dalam simbol bahasa arab.”
Dalam kesempatan lainnya beliau juga menulis: “Siapa sesungguhnya yang membahasa-arabkan al-Qur’an? Apa dari sono-nya, atau karena nabi yang akan menerimanya adalah orang Arab maka Jibril yang mentransformasikannya ke dalam bahasa Arab, atau wahyu yang terkadang turun dalam bentuk kode morse atau bunyi lonceng itu dirumuskan ke dalam bahasa Arab oleh Nabi Muhammad? Allahu a’lam.”
Dengan adanya pengakuan akademis dari lembaga pendidikan tinggi terhadap ungkapan-ungkapan seperti di atas, maka tidak mengherankan jika kemudian salah satu pusat studi wanita (PSW) di perguruan tinggi Islam negeri dalam sampul belakang buku kumpulan abstrak skripsi, tesis dan disertasi secara lebih berani menyatakan: “Eksistensi itu lahir dari makhluk berkelamin laki-laki yang diyakini lebih gagah dan perkasa dibanding perempuan. Keberadaannya diamini dalam sepanjang sejarah melebihi makhluk manapun! Apakah ia sejatinya hadir sebagai lintah yang menghisap v****a dan p*****a semata?”
Masyarakat muslim Indonesia suatu ketika bisa jadi akan sangat terkejut menyaksikan realitas perkembangan studi Islam berbasis gender di perguruan tinggi dewasa ini. Letupan-letupan kecil mulai bermunculan. Seperti fenomena dosen yang menginjak al-Quran dikelas, yang sebenarnya dibangun oleh perkembangan pemikiran ‘desakralisasi al-Quran’.
Sebenarnya studi Islam berbasis gender bertujuan untuk membangun kembali pemahaman terhadap teks-teks agama yang dipahami secara ekstrim oleh sebagian kalangan. Berkembanglah tuduhan bahwa studi Islam “gaya klasik” mempertahankan bias gender dan bahkan dianggap sumber kekerasan terhadap wanita. Sayangnya pola yang dikembangkan untuk menolak tuduhan bias gender dalam studi Islam, justru lebih dekat kepada konsep feminisme. Pengajaran inklusif gender (gender inclusive teaching) di berbagai perguruan tinggi Islam dilakukan dengan menggunakan materi perkuliahan yang “ramah wanita”, dan diperkaya dengan kasus-kasus subjektif dari pengalaman ketertindasan perempuan yang bersifat individual.
Secara operasionalnya, studi Islam berbasis gender juga dilakukan melalui strategi pendirian PSW atau Pusat Studi Gender (PSG), penerbitan buku dan jurnal, penyusunan kurikulum, pelatihan-peltihan, serta menggalakkan kerjasama dengan lembaga-lembaga feminis dari dalam maupun luar negeri. Dengan dukungan dana yang cukup melimpah, baik dari pemerintah maupun donor asing, maka proyek-proyek pengembangan studi gender ini cukup leluasa dikembangkan. Kadang tanpa berpikir panjang terhadap dampak sosialnya.
Sedangkan secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di antaranya: i) Mencari justifikasi teologis yang mendukung ide kesetaraan gender untuk menolak teks-teks terkenal yang digunakan menindas perempuan. ii) Kritik terhadap gaya bahasa dan perspektif patriarkhi terhadap teks-teks wahyu. iii) Menampilkan perspektif perempuan dalam teks-teks wahyu. iv) Kritik sejarah terhadap teks-teks wahyu yang misoginis. Sebelumnya, metode-metode tersebut telah digunakan feminis Barat untuk membongkar pemahaman terhadap teks-teks Bibel yang patriarkhis.
Demikian juga berkenaan dengan isu-isu kesetaraan gender dalam studi Islam yang dikembangkan di banyak universitas, cenderung berorientasi kepada ideologi feminisme Barat. Para aktivis studi gender ini seolah-olah mempercayai konsep-konsep kesetaraan gender ala Barat itu sebagai jawaban untuk semua masalah perempuan. Padahal budaya, ideologi dan konteks sosial perempuan di Barat tidak selalu sama dengan hukum dan ajaran Islam. Pendekatan feminis yang didasarkan kepada pengalaman subjektif tentang ketertindasan wanita berbeda dengan konsep ajaran Islam yang berbasis wahyu dan bersifat kekal di segala tempat dan zaman.
Hijrah Studi Islam
Secara umum, studi Islam berbasis gender yang dikembangkan dan berlangsung di beberapa universitas Islam di Indonesia berlawanan dengan khazanah intelektual Islam; baik dalam metode maupun hasil akhirnya. Perbedaan dalam memaknai konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti kesetaraan, keadilan, tsawabit-mutaghayyirat dan qat’iyyat-zanniyat sangat berperan memunculkan perbedaan mendasar antara pengusung perspektif gender dengan para ulama Islam dalam mengkaji isu-isu perempuan.
Misalnya, apa yang di dalam konsep fiqih Islam sejatinya kewajiban dan beban (taklif) bagi laki-laki, boleh jadi dalam pandangan feminis dianggap sebagai bentuk dominasi laki-laki. Demikian halnya apa yang menjadi keringanan (rukhsah) untuk perempuan dalam ajaran Islam, di mata feminis, boleh jadi justru dianggap sebagai subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
Fakta bisa sama. Tapi, cara pandang (worldview) yang berbeda, akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Dalam struktur sosial di Barat, tidak ada konsep kepala rumah tangga laki-laki; tidak ada konsep istri taat suami; tidak ada konsep wali dan saksi laki-laki dalam perkawinan; perempuan dan laki-laki dipandang sebagai makhluk individual yang setara dan bebas dari orang tua setelah mereka mencapai usia dewasa. Juga, tidak ada kewajiban suami mencari nafkah. Perkawinan adalah kesepakatan dan kontrak disertasi rincian-rincian. Dan yang paling mendasar: tidak ada konsep ibadah dan pertanggungjawaban di akhirat.
Perbedaan konsep perempuan dalam Islam dan dalam struktur sosial di Barat inilah yang sepatutnya dikaji dan dipahami, sebelum mengambil keputusan lebih jauh, menggusur konsep fiqih rumah tangga dan sosial Islam dengan paham kesetaraan gender. Karena itu, keputusan pengembangan studi Islam berbasis gender sudah seyogyanya dikaji ulang. Sebab paham keadilan dan kesetaraan gender tidak bisa dipisahkan dari ruh gerakan feminisme. Ruh feminisme di Barat dilatarbelakangi oleh serangkaian sistem politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama yang menindas kaum wanita. Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak wanita yang paling asasi. Tetapi keragaman kepentingan, pengalaman ketidakadilan yang dirasakan wanita, serta banyaknya metode dan arah perjuangan yang ingin diwujudkan, pada akhirnya memunculkan beragam aliran, kelas dan konflik di kalangan internal feminis.
Maka, perlu ditentukan, di antara aliran-aliran feminis tersebut apakah ada yang sejalan dan mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam konsep wahyu? Mana yang harus diunggulkan jika terdapat pertentangan antara konsep wahyu dan ideologi feminis? Pertanyaan-pertanyaan ini ada baiknya menjadi perhatian sebelum menginternasionalisasi dan menggeneralisasi permasalahan perempuan Barat ke dalam studi Islam.
Sebab pada dasarnya, ajaran Islam mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan paham kesetaraan dan keadilan gender. Hukum-hukum syari’ah adalah bersifat permanen dan tidak dibangun berdasarkan budaya dan realitas sosial. Hukum Islam tidak begitu saja berubah menurut perubahan konteks dan kondisi kehidupan manusia, serta kasus-kasus partial dan temporal, kecuali melalui kaedah yang dibenarkan dalam Islam.
Karena itu, di awal tahun baru Hijriah ini, para akademisi muslim, sepatutnya merenung dan memutuskan untuk berhijrah pemikiran: dari pemikiran spekulatif menuju pemikiran berbasis wahyu yang dilandasi keyakinan hakiki, jauh dari spekulasi akal yang liar. Wallahu wali taufiiq. (***)
Sumber: Islamia Republika edisi 15 Oktober 2015