Isu gender kembali menjadi sorotan banyak pihak. Hari Perempuan Dunia (Women’s Day) yang baru saja diperingati oleh para feminis pada tanggal 8 Maret lalu, membuktikan bahwa feminisme merupakan gerakan liberalisasi perempuan yang semakin agresif menyebarkan padangannya ke seluruh dunia. Bukan saja di negara-negara Barat namun pemikiran mereka juga diadopsi dan “dipaksakan” untuk diterima di negara-negara muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Mesir dan sebagainya. Bahkan PBB secara ekslusif telah mendirikan sebuah komisi khusus yaitu Commission on the Status of Women (CSW) yang salah satu tujuan pendiriannya adalah mempromosikan kesetaraan gender dan pengembangan (advancement) kaum perempuan. Setiap tahunnya, perwakilan dari berbagai negara di dunia akan berkumpul di kantor pusat PBB di New York untuk mengevaluasi kemajuan program-program mereka yang terkait masalah gender. (http://www.unwomen.org/how-we-work/csw/)
Pertemuan tahunan yang berlangsung pada tangal 4 – 15 Maret 2013 lalu, mengusung tema ‘End Violence against Women’. Pertemuan tersebut telah menghasilkan ratifikasi deklarasi UN CSW yang kemudian mendapat penolakan dari masyarakat muslim salah satunya dari organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir. Mereka berpandangan bahwa isi dari ratifikasi dokumen UN CSW tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, etika Islami dan hanya akan menghacurkan tatanan keluarga dan juga sosial.( http://www.ikhwanweb.com). Bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terkait dengan isu gender dan gerakan Feminisme? Berikut hasil wawancara Sakinah Fitriyah dari CGS (The Center for Gender Studies) dengan Dr. Khalif Muammar, Associate Professor dari Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur.
Bagaimana pandangan Anda tentang Feminisme?
Feminisme muncul di Barat akibat dari penindasan terhadap kaum perempuan, sejak ratusan tahun mereka mengalami diskriminasi oleh masyarakat yang memandang rendah kepada kaum perempuan.Walaupun kaum perempuan adalah yang paling banyak menyumbang terhadap keluarga dan masyarakat namun mereka tidak mendapat layanan dan penghargaan yang setimpal atas semua usaha itu. Gerakan feminis pada asalnya menuntut equal wage, equal opportunities sebagaimana layaknya seorang manusia biasa. Oleh yang demikian feminisme pada dasarnya adalah pemberontakan dan kemarahan terhadap ketidakadilan, kemarahan yang disalurkan secara halus. Ia adalah perlawanan secara senyap, khususnya melalui penulisan kemudian persatuan-persatuan, terhadap budaya masyarakat yang dikatakan patriarki. Oleh kerana pelaku ketidakadilan ini adalah laki-laki, maka laki-laki yang menjadi objek kemarahan itu. Di sinilah letak kesilapan mereka, seharusnya masalah ini bukan masalah gender tetapi masalah ketidakadilan, masalah sosial, dan masalah kemanusiaan. Kesilapan ini diakui oleh Doris Lessing (1919-), seorang tokoh feminis yang keluar dari feminisme dan mendapat anugerah Nobel pada tahun 2007, sebagaimana dilaporkan oleh majalah Guardian (2001) Lessing mengatakan: “I find myself increasingly shocked at the unthinking and automatic rubbishing of men which is now so part of our culture that it is hardly even noticed“. Menurut Lessing peperangan lawan jenis (sex war) yang dilancarkan oleh golongan feminis di Barat sejak abad ke-19 ternyata telah memunculkan suatu budaya di Barat yang juga negatif dan kontra produktif yaitu budaya yang merendahkan kaum laki-laki.
Apa yang lebih membimbangkan adalah apabila feminisme kemudian mendapat sokongan dari eksistensialisme dan pascamodenisme, yang ingin mendekonstruksi segala yang mapan. Maka feminisme telah berkembang dan berevolusi, menjadi gerakan intelektual dan filosofis. Masuk ke ranah epistemologi dan agama. Maka di sinilah peranan Nietzche, Foucault dalam mencorakkan feminisme pada abad ke-20 di Barat.
Apakah feminisme sesuai dengan ajaran Islam?
Feminisme lahir akibat penindasan dan diskriminasi masyarakat Barat terhadap kaum perempuan sehingga memunculkan istilah male chauvinism. Karena ia muncul dalam konteks sejarah yang tersendiri maka gerakan pembebasan perempuan ini tidak semestinya relevan untuk masyarakat Timur, khususnya masyarakat Islam. Tidak dinafikan terdapat penindasan di mana-mana, bukan saja terhadap kaum perempuan, tetapi terhadap semua kaum yang lemah dan tertindas. Maka pembelaan sepatutnya dilakukan bagi semua kaum yang lemah dan bukan hanya untuk kaum perempuan. Dengan menumpukan pada pembebasan kaum perempuan di dunia Islam yang memiliki budaya yang berbeda maka kita tertanya-tanya apakah agenda yang sebenarnya. Sebagai seorang Muslim kita perlu faham bahawa Islam adalah agama yang menekankan keadilan dan sejak awal kedatangannya Islam telah menghapuskan wa’d al-banat, pembunuhan anak perempuan yang menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyyah. Islam juga mengangkat martabat kaum perempuan, menjadikan mereka sama tarafnya di sisi Allah meskipun berbeda dari segi tanggungjawab dan peranannya di dunia. Oleh yang demikian tidak ada sebab bagi seorang Muslim itu menganut ideologi feminisme untuk disebarkan di dunia Islam. Dalam melihat ketidakadilan yang berlaku dalam masyarakat Islam, kita harus dapat membedakan apa yang datang dari Islam dan apa yang merupakan cerminan budaya orang Islam yang tidak semestinya berasal dari ajaran Islam. Ketidakadilan adalah akibat kesilapan orang Islam yang gagal memenuhi tuntutan Islam. Kerana itu tidak wajar Islam yang dipersalahkan, sehingga perlu melalui proses rekonstruksi dan perombakan terhadap shari’ahnya. Akan tetapi justeru inilah yang cuba dilakukan oleh feminis Muslim seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud, Asma Barlas dan lainnya. Feminisme dalam dunia Islam menjadi satu cabang dari agenda liberalisasi Islam.
Disebabkan oleh pengaruh humanisme dan pascamodenisme tersebut, Feminisme mengalami masalah epistemologi. Ia bersandarkan pada faham relativisme dan subjektivisme dan menolak kebenaran yang mutlak, termasuk yang didatangkan oleh wahyu (agama Islam). Mereka meragui apakah yang dimaksudkan dengan laki-laki dan perempuan, konsep ini bagi mereka adalah konstruk sosial yang tidak semestinya diterima tetapi harus dirubah. Mereka tidak ingin perempuan dikaitkan dengan mengasuh dan membesarkan anak, memasak untuk suami dan keluarga, mengurus rumah tangga, sebaliknya cuba mengambil tanggungjawab dan peranan lelaki baik di dalam mahupun di luar rumah. Mereka menganggap pembebasan perempuan dan equality (kesetaraan) akan tercapai apabila perempuan dan laki-laki disamakan dalam segala hal. Lebih dari itu, oleh kerana penegasan peranan yang berbeza antara laki-laki dan perempuan dilakukan oleh agama, maka mereka cuba untuk merombak hukum hakam yang dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan, seperti poligami, pembagian harta warisan, kepimpinan dalam solat, kepimpinan dalam politik dsb. Padahal perbedaan-perbedaan ini, sebagaimana saya telah tegaskan dalam buku Atas Nama Kebenaran (2006 &2009), bukan suatu diskriminasi melainkan suautu keadilan di mana laki-laki dan perempuan ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrah masing-masing. Golongan feminis ini malah berusaha menciptakan tafsir al-Qur’an khusus mengikut perspektif kaum feminis. Oleh itu, golongan feminis Muslim telah tersasar jauh, mereka keliru dalam mengenalpasti masalah sebenarnya dan justeru mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah, maka mereka bukan lagi mempejuangkan keadilan dan pembebasan dari penindasan tetapi memperjuangkan agenda liberalisasi Islam dan menyebarluaskan kekeliruan yang datang dari Barat.
Apakah konsep gender bisa di-Islamisasi?
Menurut sains sosial pada masa kini gender adalah produk sosial dan budaya.
Pandangan ini sebenarnya adalah kesan dari sekularisme dan eksistensial humanisme. Simone de Beauvoir (1908-1986), tokoh feminis yang juga seorang eksistensialis, merupakan seorang yang keliru orientasi seksual. Ia menolak untuk berkahwin dengan Sartre dan memilih untuk bersekedudukan tetapi kemudian menjalin hubungan dengan ramai wanita yang merupakan murid-muridnya. Kelakuannya ini menyebabkannya dibuang dari universitas di Paris. Dialah yang mengatakan bahwa “One is not born a woman, one becomes one” (seseorang itu tidak dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan) di sini pengaruh eksistensialisme terlihat sangat kental.
Kita melihat persoalan gender adalah sesuatu yang tabi’i (natural) pada diri manusia. Ia tidak diciptakan oleh masyarakat dan bukan dibentuk oleh budaya. Seseorang laki-laki mahu tidak mahu setelah berkahwin akan menjadi seorang suami dan ayah. Begitu juga perempuan akan menjadi isteri dan ibu. Sebagai seorang ayah ia bertanggungjawab untuk menafkahi keluarga dan sebagai ibu ia bertanggungjawab mengasuh anak-anak dan mengurus rumah tangga. Peran ini wujud secara tabi’i (innate) dalam diri manusia. Ia adalah sunnatu’Llah dan fitrah yang Allah tetapkan pada makhluk-makhlukNya. Ketika masyarakat Barat mengambil sekularisme, humanisme dan liberalisme sebagai pegangan hidup maka mereka tidak dapat melihat dan meletakkan peran Tuhan dalam menentukan peran gender.
Kita juga perlu mempersoalkan konsep gender equality (kesetaraan gender) yang mereka utarakan. Konsep equality berasal dari bahasa Perancis égalité, kemudian menjadi egalitarianism atau equalitarianism dan menjadi tunjang bagi liberalisme pada zaman modern di Barat. Konsep equality jarang digunakan pada masa lalu, hanya setelah revolusi Perancis ia menjadi popular dan menyebar luas. Konsep yang banyak dibahas oleh para sarjana, termasuk ahli falsafah Yunani seperti Aristotle begitu juga Imam al-Ghazali dan para ilmuwan Islam lainnya, adalah justice atau dalam bahasa Arab al-adl (keadilan). Equality atau kesetaraan membawa maksud kesamaan (sameness), ia mengisyaratkan penyamarataan (levelling), jika diletakkan bergandingan dengan gender maka yang berlaku adalah penyamarataan laki-laki dengan perempuan. Maka equality cuba menyamaratakan sesuatu yang Allah ciptakan berbeda dan bertingkat. Allah menciptakan manusia tidak sama, masing-masing memiliki kelebihan di atas yang lain, dan setiap orang perlu diletakkan berdasarkan tingkat masing-masing. Meletakkan setiap orang pada tempatnya yang berbeda itu adalah keadilan, sedangkan tindakan menyamaratakan mereka semua adalah ketidakadilan.
Namun begitu aktiviti ini tidak harus disebut sebagai Islamisasi gender. Ia adalah sebagian dari program Islamisasi ilmu dan dalam hal ini ilmu sains sosial yang telah mengalami proses pensekularan. Apa yang harus dilakukan para sarjana Muslim dalam bidang ini adalah mengkritik wacana gender yang pada hari ini didominasi oleh para saintis sosial yang sekular dan humanis. Sebagaimana kita harus mengkritik bidang keilmuan lainnya yang dipengaruhi sekularisme dan memberikan pandangan yang berdasarkan kepada ajaran Islam serta membangun bidang keilmuan yang bebas dari pengaruh sekularisme dan liberalisme.
Apakah cara yang efektif untuk membendung penyebaran feminisme di kalangan umat Islam?
Sebagaimana dijelaskan di atas mengikut kacamata Islam gender dan peran gender, laki-laki atau perempuan, bukan mutlak produk sosial dan budaya. Kefahaman ini telah menjadi sebagian dari kurikulum di universitas dan perguruan tinggi. Oleh itu kita harus berupaya menyadarkan masyarakat tentang kesan negatif dari kajian sains sosial kontemporer yang cuba merombak pemaknaan gender agar sesuai dengan pemikiran humanisme dan eksistensialisme. Kita harus bisa menyampaikan hakikat Islam dengan sempurna, sebagai agama dan peradaban, memberikan penjelasan alternatif yang lebih tepat dan benar terhadap persoalan-persoalan yang dibangkitkan oleh golongan feminis. Kita juga harus menjelaskan perbedaan antara amalan masyarakat Islam dengan hakikat ajaran Islam. Sebagian dari apa yang diamalkan oleh masyarakat Islam mungkin banyak dipengaruhi oleh budaya mereka sendiri yang tidak semestinya datang daripada Islam. Jika ada amalan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat dikategorikan sebagai diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan maka umat Islam perlu merubahnya. Sebaliknya kita amat pasti bahwa tiada yang diajarkan oleh Islam itu yang mendiskriminasi dan menindas kaum perempuan.
Saya melihat golongan feminis dan liberal ini mudah terpukau dengan pemikiran dan teori-teori dari Barat. Kemajuan masyarakat Barat dalam banyak hal telah mengelabui mata sebagian orang Islam sehingga menyebabkan mereka cenderung mengikuti, dan membesar-besarkan para sarjana Barat.Karena itu kita perlu mengembalikan keyakinan umat Islam terhadap ajaran Islam serta pengiktirafan terhadap sarjana-sarjana Muslim yang telah banyak melahirkan karya-karya besar yang telah mencorakkan peradaban yang unggul. Oleh itu bagi saya persoalan ini adalah persoalan jati diri dan identitas Muslim yang dicorakkan oleh worldview atau pandangan alamnya. Jika seseorang itu tidak terdidik dan mempelajari Islam dengan baik maka ia akan mudah terpengaruh dengan segala macam pemikiran asing. Sebaliknya jika ia mempelajari Islam dengan baik dari guru-guru yang benar-benar dapat membimbing mereka (guru murshid) maka ilmu yang mereka terima itu akan mampu mencorakkan cara berfikir dan cara hidup mereka sehingga terhindar dari berbagai kekeliruan dan penyelewengan.
Rep : Sakinah Fitriyah.
Red: Dinar Kania
Q.S. 2 AL BAQARAH ayat 185 – AL QUR’AN sbg “Furqaan” (tolok ukur) dan “Hudan” (tolak ukur) beserta penjelasannya. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” (Mendem jero, mikul duwur).
Q.S. 4 NISAA’ sbg “titik tolak” mempertanyakan ihwal Wanita. Mengapa dlm AL QUR’AN ada Surah 4 AN NISAA’ dan Surah 19 MARYAM – “Muanaas” (feminine), namun tidak ada Surah “AR RAJULU” – “Muzakar” (masculine)?
Q.S. 4 AN NISAA’ 1 terkesan merupakan “Inti Ajaran” semua Agama, namun sepengetahuan saya belum dikaji secara ilmiah. Terjemahannya rancu, sehingga tafsirnya pun menjadi galau.
Pembahasan ihwal Wanita lebih cenderung emosional ketimbang rasional, atau di satu pihak menyempit tapi di lain pihak berlebihan. Keduanya tidak realistis.
Q.S. AN NISA’ ayat 1 – Alam, Manusia, dan TUHAN tak akan terpahami kalau ihwal Wanita masih terperangkap dalam “mistery” … ???