Oleh: Kholili Hasib
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi ia juga lidahnya jahat terhadap tetangga-tetangganya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW:“Sungguh ia termasuk ahli neraka”.
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim).
Kisah dalam hadis tersebut memberi pelajaran akan bahaya lidah yang dapat menyakiti tetangga. Jika tidak dikontrol iman, maka lidah pun bisa menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Meskipun seseorang dikenal sebagai ahli ibadah, banyak shalat dan puasa, akan tetapi bila ia tidak mampu menjaga lidahnya dari memfitnah, berbohong dan hasud, maka amalannya tersebut hanya akan berujung kepada kesia-siaan.
Salah satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada Allah swt sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab kepada-Nya dengan percaya dan beribadah. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti diberikan kepada mereka. Dua-duanya adalah kewajiban yang sifatnya hierarkis.
Sebagai contoh, seseorang yang suka berbuat baik kepada manusia namun masih sering meninggalkan shalat, bukanlah karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi gemar berbuat buruk kepada tetangga, juga tidak termasuk karakter muslim yang bertauhid.
Artinya, seseorang yang bertauhid pasti akan berbuat baik kepada manusia. Jika akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertauhid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama harus didasari oleh tauhid dan bukan malah terlepas dari iman seperi doktrin humanisme Barat. Inilah karakter muslim yang sejati, adab yang datang dari ketundukannya kepada Rabb, Sang Pemilik Alam Semesta.
Begitu pula dalam etika bertetangga. Bahkan etika ini menjadi perhatian khusus oleh Rasulullah saw. “Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris -yakni dapat menjadi ahli waris dan tetangganya” (HR. Bukhari Muslim).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa malaikat Jibril berulang kali mengingatkan Nabi Muhammad saw untuk memperhatikan tetangganya.
Wasiat Jibril kepada Rasulullah saw sesungguhnya pemberian pelajaran yang diperuntukkan kepada umat Rasulullah saw. Memang, perkara dengan tetangga sering memicu konflik antar saudara sesama muslim. Inilah barangkali yang menjadi perhatian, agar ukhuwah tidak retak.
Ukhuwah itu paling kecil dimulai dari keluarga, kemudian tetangga. Jika unsur ini retak, maka persaudaraan sesama manusia lain mudah dipatahkan. Unsur tetangga menjadi peran sentral dalam menjaga keharmonisan bermasyarakat. Jika kita meretakkan unsur ini berarti kita ikut andil meruntuhkan persaudaraan. Padahal kerusuhan masyarakat tidak diinginkan oleh Islam.
Oleh karena itu, berbuat baik kepada tetangga dimasukkan ke dalam salah satu tanda keimanan seseorang. Allah swt berfirman: “Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan, sepekerjaan, sesekolah dan lain-lain – orang yang dalam perjalanan dan – lalu kehabisan bekal -hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu.” (QS. al-Nisa’:36).
Dalam ayat tersebut, setelah larangan untuk menyekutukan-Nya, Allah swt memerintahkan berbuat baik kepada tetangga, orang tua, kerabat dan kepada manusia lainnya. Pengaitan ini bukan tanpa maksud atau tujuan. Maksud Allah swt dalam ayat tersebut ditafsirkan bahwa adab terhadap tetangga, orang tua atau kerabat begitu penting dalam membentuk karakter muslim beriman.
Sejumlah hadis menegaskan perintah Allah swt dalam ayat itu. Misalnya, dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!” Beliau s.a.w. ditanya: “Siapakah, ya Rasulullah.” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya – tipuannya” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam riwayat lain Abu Hurairah juga menyampaikan sabdanya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya – baik dengan kata-kata atau perbuatan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau – kalau tidak dapat berkata baik – maka hendaklah berdiam saja – yakni jangan malahan berkata yang tidak baik.” (HR. Bukhari).
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya (HR. Abu Syuraih al-Khuza’i). Semua hadis Nabi tersebut menunjukkan urutan kebaikan di atas adalah, setelah bertauhid, maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang baik. Jadi, keshalihan itu tidak dipersempat
pada urusan prifat, tapi juga Islam mengajarkan keshalihan secara menyeluruh, di setiap aspek kehidupan.
Oleh sebab itu, penting bagi setiap muslimah untuk mengetahui adab bertetangga, untuk diamalkan. Diantaranya:
Pertama, Tidak berkata, berbuat atau berprasangka yang tidak baik. Kalau mengeluarkan kata-kata yang baik, itulah yang sebagus-bagusnya untuk dijadikan bahan percakapan. Tetapi jika tidak dapat berbuat sedemikian, lebih baik berdiam diri saja.Rasulullah saw pernah ditanya: Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah Rasulullah menjawab:”Tidak ada kebaikan di dalamnya dan dia adalah penduduk neraka”.(HR. Bukhari).
Kedua Berbagai makanan secukupnya, jika kita memiliki makanan lebih. Dari Abu Zar r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu – untuk saling beri-memberikan.” (HR. Muslim). Jika pun rizki itu tidak cukup dibagikan untuk tetangga, maka jangan sampai bau makanannya sampai kepada tetangga. Jangan sampi pula tetangga kelaparan sedangkan kita kenyang. Rasulullah SAW bersabda:”Seseorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar”(HR. Bukhari).
Ketiga, Menjaga Tetangga. Rasulullah saw memberi peringatan keras agar tidak menganggu tetangga. “Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!” Beliau s.a.w. ditanya: “Siapakah, ya Rasulullah.” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya – tipuannya” (HR. Bukhari).
Keempat, Menyapa, berprilaku baik dan sopan. Jika tetangga membutuhkan sesuatu untuk dirinya, kita jangan menghalanginya. Seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW: “Janganlah seseorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu di dindingnya -untuk pengukuh atap dan lain-lain (HR. Bukhari).
Semua hadis Nabi tersebut di atas mengandung nilai etika yang luhur dan menunjukkan urutan kebaikan. Setelah manusia bertauhid, maka urutan kebaikan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang baik. Jadi, keshalihan itu tidak dipersempit hanya pada urusan pribadi (private), tapi juga Islam mengajarkan keshalihan secara menyeluruh di setiap aspek kehidupan, dimulai dari kebaikan terhadap tetangga yang merupakan pilar utama dalam menjaga keutuhan ukhuwah.