Jihad Perempuan di Bulan Puasa

Sumber Ilustrasi: komikmuslimah.blogspot.com

Oleh: Kholili Hasib

ThisIsGender.Com-Puasa bukan sekedar menahan makan, minum dan berhubungan badan di siang hari. Tapi ada beberapa hal yang harus ditahan untuk bisa menjalani puasa yang sempurna (tamam al-shoum). Puasa yang sempurna adalah puasa dengan menahan anggota-anggota tubuh dari hal-hal yang dimakruhkan. Menjaga mata dari pandangan yang tidak disukai Allah Subhanahu wa ta’ala, menahan lisan dari ucapan-ucapan yang tidak perlu, serta mecegah telinga untuk mendengar hal-hal yang diharamkan Allah Swt (Bidayatul Hidayah, hal. 55).

Melakukan perkara-perkara yang makruh dan haram memang tidak membatalkan puasa. Namun menurut Imam al-Ghazali, hal tersebut dapat mengurangi bahkan membatalkan pahala puasa. Seperti ghibah tidak membatalkan puasa, akan tetapi orang yang melakukan ghibah pahala puasanya akan terkikis.  Mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu, juga tidak membatalkan puasa. Namun aktifitas makruh ini mengurangi pahala.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam bersabda: “Ada lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu: berbohong, bergunjing, memfitnah, mengucapkan sumpah palsu, dan memandang dengan nafsu”.

Dalam kehidupan rumah tangga, tantangan itu semakin bertambah. Mencium (qublah) suami atau suami mencium istri ketika bulan puasa hendaknya dihindari. Beberapa ulama’ berpendapat mencium istri atau suami hukumnya makruh. Bila sampai keluar sperma, hukumnya batal (al-Muhadzab fi Fiqh Imam al-Syafi’i, hal. 182). Jika jatuh pada hukum makruh maka pahala puasanya — seperti dijelaskan oleh Imam al-Ghazali — bisa berkurang.

Ekspresi cinta antara suami dan istri sangat dianjurkan. Namun, esensi puasa adalah melatih jiwa untuk mengendalikan syahwat. Ada riwayat dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah mencium ‘Aisyah dalam keadaan berpuasa. Beberapa ulama’ syafi’iyyah dan hanabilah menjelaskan bahwa Nabi ketika mencium istrinya di bulan Ramadhan tidak disertai syahwat. Seperti disebutkan dalam hadis, ‘Aisyah bercerita bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium istrinya sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita bukan manusia seperti nabi yang paling kuat menahan syahwat. Seorang pasangan suami istri lebih banyak mencium pasangannnya dengan syahwat. Padahal jika sampai syahwat hukumnya haram (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, hal. 484).

Seorang istri hendaknya pandai-pandai melatih jiwa. Jika ia berhasrat untuk mencium suami sebagai ungkapan kasih-sayang, maka cepat-cepatlah untuk mengalihkan kepada aktifitas lain seperti, memasak, menulis, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika ia tiba-tiba diajak suami berciuman, maka ingatkanlah sang suami dengan bahasa lembut dan sopan. Ajaklah untuk bersama-sama membaca al-Qur’an. Ungkapkan bahwa hal itu bisa dilakukan pada malam harinya.

Selama puasa, istri juga diuji kesabarannya. Dalam kondisi haus dan lapar, ia mendapatkan tugas mengatur rumah. Ketika suami berangkat kerja, misalnya, sang suami memberi amanah untuk menjaga rumah dan anak-anak. Tugas ini tidak ringan dan membutuhkan kejernihan pikiran dan hati untuk bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dalam kondisi ini, ia dituntut untuk selalu menampakkan keceriaan di hadapan suami.

Meskipun sebenarnya memasak dan mencuci itu tugas suami, namun menurut Syekh Nawawi jika telah disepakati si istri membantu tugas itu dengan mengambil alih, maka sungguh karakter demikian merupakan karakter wanita surga. Suami yang bekerja seharian terkadang tidak memiliki waktu untuk melaksanakan tugas tersebut. Maka istri yang mulia bisa memahami beratnya tugas suami itu dengan membantunya. Derajat yang tinggi di sisi Allah tidak dicapai kecuali dengan jihad, menghilangkan ego dan tulus ikhlas membantu suami.

Di luar interaksi dengan suami, seorang perempuan hendaknya menjaga pergaulan dengan tetangga. Hindari pergunjingan pada saat berkomunikasi. Jika mendengar tetangga sedang menggunjing, ingatkan mereka, namun jika tidak mampu, tinggalkan. Allah Swt berfirman: “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka” (QS. An-Nisā: 140).  Lakukan istigfar dan ingatkan diri bahwa puasa sempurna (tamam) akan diganjar dengan pahala yang besar.

Terkadang perempuan juga tergoda untuk berperilaku konsumtif. Membeli barang dan makanan secara berlebihan. Perbuatan ini dalam padangan Imam al-Ghazali bisa mengurangi pahala puasa. Menu buka puasa sebaiknya tidak berlebihan. Utamakan makanan bergizi, bukan yang memuaskan perut. Jika obsesi kita adalah ‘balas dendam’, memuaskan perut karena selama sehari menahan lapar dan haus, maka nafsu berlebihan kita itu bisa mengurangi pahala puasa. Kata beliau, jika berbuka puasa dengan makanan-makanan yang berlebih dari hari biasanya, maka puasa itu tdk ada faedahnya. Sebab puasa itu hikmahnya menghancurkan ‘racun’ syahwat (Bidayatul Hidayah, hal. 57).

Dalam keadaan haidh, perempuan muslimah bukan berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan berkah pahala puasa. Janganlah momen haidl dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk kembali memanjakan diri. Mereka tetap dapat berkah, dan pahala dengan menahan diri dari hal-hal makruh tersebut. Wanita haidl masih bisa berjihad di bulan ramadlan. Hendaklah ia tetap menahan perkara-perkara yang menghabiskan pahala puasa, meski sedang berhalangan puasa. Dzikir tetap diperbanyak. Membantu suami memasak. Dan jangan lupa, hadiri majelis ilmu. Sebab majelis ilmu memberi asupan ‘gizi spiritual’ untuk hati (qalb) dan akal.

Terkait dengan jihad nafsu dalam puasa, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin membagi orang puasa itu ke dalam tiga tipologi. Pertama, puasanya orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sedangkan hati, adab dan perilaku tidak dijaga. Sehingga kelompok ini hanya memenuhi syarat sahnya puasa. Kita sebagai umat Islam — termasuk para perempuan — tidak dididik untuk terus menjadi awam, tapi Islam agama yang mementingkan ilmu. Oleh sebab itu, kualitas spiritual harus terus ditingkatkan.

Kedua, kelompok khawas, yaitu kelompok yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Lisannya terjaga dari perkataan bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Menjaga dari perbuatan tercela seperti ghibah, namimah (mengadu domba), dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia. Termasuk perbuatan sia-sia adalah mendengar lagu-lagu yang syairnya tidak mengantarkannya pada mengenal kebesaran Allah.

Ketiga, adalah kelompok yang disebut khawasul khawas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Kelompok ini menjadikan ibadah puasa sebagai benar-benar ‘madrash’ mengisi hatinya dengan ingat kepada Allah bukan kepada lainnya.

Perempuan yang shalihah akan berobsesi untuk mendapatkan predikat khawasul khawas. Atau setidaknya masuk dalam tipologi kedua, yaitu predikat  khawas. Hal tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa di zaman ini yang penuh ujian dan fitnah. Untuk itu, perhatikan rambu-rambu; mana kategori haram, mana yang membatalkan pahal puasa, apa saja yang dianggap makruh dan pahami sunnah-sunnah berpuasa. Perhatikan juga bahwa ada hal yang dalam bulan-bulan biasa dianggap halal, bahkan dianjurkan, tetapi pada saat puasa merupakan hal yang makruh dan haram dilakukan. Pantangan ini merupakan riyadlah (melatih jiwa) agar di bulan-bulan berikutnya tidak terpenjara oleh nafsu secara berlebihan.

Jihad nafsu harus dipersenjatai dengan ilmu yang memadai. Tanpanya, hampir pasti kita akan terjebak ke dalam tipuan syetan. Semoga kita semua mendapatkan kemuliaan bulan Ramadhan dan keluar sebagai pemenang sejati.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.