Oleh Dr Henri Shalahuddin
(Peneliti INSISTS Bidang Gender)
Rentetan kasus kejahatan seksual yang begitu marak belakangan ini sungguh menampar muka kita semua sebagai bangsa yang beragama. Hal yang lebih menyakitkan, di antara pelaku dan korban kejahatan seksual itu adalah remaja tanggung di bawah umur. Guru dan orang tua pun saling tuding, siapa yang patut dipersalahkan? Tidak ada pengakuan bersalah secara terbuka baik dari aparat keamanan, pengelola pemerintahan, maupun pihak-pihak yang berkenaan atas insiden ini. Perlindungan terhadap keselamatan dan kehormatan warga terkesan sangat rapuh.
Di sisi lain, aspek moralitas seakan-akan bukan menjadi bagian terpenting dalam aktivitas pembangunan nasional. Sementara, sekumpulan LSM feminis yang menamakan dirinya aktivis perempuan justru memainkan kasus ini untuk menjajakan ideologinya ke tengah-tengah masyarakat. Kritik terhadap apa yang mereka namakan sebagai “kontrol tubuh wanita” baik di lingkup domestik maupun publik semakin keras disuarakan.
Menurutnya, kebebasan mengelola anggota tubuh adalah hak pemilik tubuh yang tidak boleh diintervensi agama dan negara. Termasuk hak untuk memutuskan waktu dan jumlah kehamilan, hak berhubungan seksual (baik dalam menentukan partnernya maupun waktunya), hak aborsi, model pakaian, dan lain-lain secara mutlak harus dikembalikan kepada perempuan.
Dalam konteks bernegara yang mayoritas berpenduduk Muslim, Islam telah mengatur norma-norma kehidupan baik publik maupun domestik, termasuk yang berhubungan dengan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi. Sayangnya, aturan-aturan itu oleh sebagian feminis dituduh telah mengintervensi independensi perempuan dalam mengelola tubuhnya. Sebagian lainnya malah menuduh Islam melegalkan kejahatan seksual karena mengutuk istri yang menolak ajakan suami berhubungan seksual. Setiap hubungan badan yang tidak dilandasi oleh keinginan istri oleh feminis dianggap sebagai pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Sebaliknya, jika perbuatan itu dilakukan atas dasar kerelaannya, maka tidak dianggap sebagai kejahatan, meskipun di luar ikatan perkawinan.
Perspektif Islam
Hasrat seksual merupakan fitrah manusiawi, bahkan termasuk salah satu kebutuhan primer dalam hidup manusia. Oleh sebab itu Allah mensyariatkan pernikahan untuk menyalurkan hasrat seksual secara legal, sehat, dan selamat. Di antara kesempurnaan ajaran Islam adalah wujudnya perhatian yang besar dalam menjaga lahirnya keturunan yang legal dan berkualitas. Pembinaan keluarga dalam Islam menempati porsi yang istimewa.
Dalam QS at-Tahrim: 6, umat Islam senantiasa diperintahkan untuk menjaga diri dan keluarganya dari siksaan api neraka. Sebab, keluarga merupakan asas masyarakat dan keselamatan masyarakat bergantung pada keselamatan keluarga. Perhatian Islam terhadap penjagaan keturunan juga dinyatakan dalam tujuan diturunkannya syariah yang lima, yaitu menjaga agama, nyawa, keturunan, harta, dan akal. (lihat: Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Fiqh, 1997, 2:20)
Karena itu, semenjak awalnya, Islam mensyariatkan pernikahan, mengarahkan hubungan seksual secara makruf, memperbanyak keturunan, memberi kebebasan memilih calon suami/istri, mengharamkan hubungan seksual songsang (LGBT), dan mengatur kebolehan poligami. Di waktu yang sama Islam juga membincangkan talak, mengatur perencanaan keluarga, pengguguran janin, mengharamkan pernikahan dengan keluarga dekat (incest), hubungan seksual di luar pernikahan, dengan hewan, dengan mayat, dan lain-lain.
Berkenaan dengan memilih istri dan memperbanyak keturunan, Rasulullah SAW bersabda bahwa Nabi SAW memerintahkan menikah dan sangat melarang hidup membujang. Kemudian Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian terhadap umat-umat yang lain di hari kiamat.” (HR al-Bazzar)
Hubungan seksual sebagai salah satu asas dalam membina keluarga yang bahagia juga telah diatur dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Jikalau suami mengajak istrinya ke pelaminan (untuk melakukan hubungan badan), kemudian istrinya menolak sehingga semalaman ia (suami) marah, maka malaikat akan melaknatnya (istri) hingga pagi hari.” (HR al-Bukhari)
Hadis di atas bermakna bahwa ada hak suami terhadap tubuh istrinya sehingga istri tidak dibenarkan sekehendak hatinya menolak hasrat seksual suami tanpa alasan syar’i, sebagaimana diyakini feminis Barat, “My body my right.” Terlebih lagi, jikalau suaminya masih muda dan memerlukan pelampiasan hasrat seksual yang dihalalkan. Bahkan, dalam kitab Sahih Bukhari juga dinyatakan bahwa istri juga dilarang berpuasa sunah apabila suaminya berada di sisinya, kecuali atas seizinnya. Padahal, puasa merupakan salah satu bentuk ibadah terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun demikian, syariat melarang istri berpuasa sunah jika suaminya tidak mengizinkan. Hubungan seksual suami istri bukanlah perkara yang hina, malahan dalam hadis ia dinilai sebagai ibadah dan sedekah, seperti termaktub dalam kitab Sahih Muslim.
Kejahatan seksual
Kejahatan seksual dalam perspektif Islam adalah segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak makruf dan tidak legal. Dalam hal ini, kategori kejahatan seksual meliputi sisi perbuatannya ataupun objeknya.
Dari sisi perbuatan, kategori kejahatan seksual meliputi:
a.Berhubungan seks di luar nikah, baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan.
b.Berhubungan seks secara menyimpang seperti sodomi, meskipun terhadap istrinya sendiri dan berdasarkan kerelaannya.
c.Berhubungan seks yang dilakukan dengan cara sadis dan disertai penyiksaan.
d.Berhubungan seks dengan istri di saat datang bulan (haid) yang menyasar ke faraj.
e.Segala bentuk perbuatan dan perkataan yang bersifat melecehkan martabat dan harga diri seseorang, baik perempuan maupun laki-laki.
Adapun kategori kejahatan seksual yang berkenaan dengan objeknya antara lain berhubungan seks dengan hewan, dengan mayat, dengan sesama jenis (gay dan lesbian), dengan keluarga dekat (incest), dan berhubungan seks dengan anak-anak di bawah umur.
Perlindungan dan penghargaan Islam terhadap wanita berserta kesehatan reproduksinya antara lain dinyatakan dengan aturan yang melarang penyiksaan fisik dan segala bentuk perbuatan aniaya terhadap istri. Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang dari kamu mencambuk istrinya seperti cambukan kepada budak, kemudian ia menggaulinya di akhir hari.” (HR al-Bukhari)
Salah satu bentuk perbuatan aniaya terhadap istri dalam Islam adalah melakukan jimak di waktu haid (lihat: QS al-Baqarah [2]: 222). Di samping itu, Islam juga melaknat suami yang mendatangi istrinya dari anus/dubur. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan tersebut tergolong sebagai kriminal yang hampir menyamai perilaku kaum Nabi Lut (lutiyah sughra).
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh terlaknat orang yang menggauli istrinya melalui duburnya” (HR Ahmad).
Oleh sebab itu, dalam membina keluarga yang bahagia, salah satu aspek yang ditekankan syariat adalah menghindarkan bahaya kepada istri. Sehingga, apabila tidak lagi dicapai kehidupan suami istri yang harmonis, syariat memberikan kebenaran bagi istri untuk meminta fasakh (cerai). Misalnya, karena suaminya menderita penyakit kulit, seperti kusta dan lepra (leprosy, al-judzam wal barsh). (Lihat: Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, 2001, 210)
Prinsip ajaran lainnya dalam menjaga lahirnya keturunan berkualitas adalah wujudnya larangan menikah dengan kerabat dekat yang masih mempunyai pertalian nasab maupun karena hubungan perbesanan. Berasaskan QS an-Nisa’ [4]: 22-24, Imam al-Tabrani dari jalan ‘Umair dari Ibn ‘Abbas menjelaskan wujudnya tiga penghalang pernikahan, yaitu karena keturunan (nasab), karena perbesanan, dan sebab lain. Maka terdapat 15 wanita yang haram dinikahi. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathu l-Bari Syarhu Sahih al-Bukhari, 9:154)
Penghalang pernikahan karena keturunan (nasab)
Penghalang pernikahan karena perbesanan (mushaharah)
Wanita lain yang diharamkan dinikahi
1.Ibu kandung
2.Anak kandung
3.Saudara kandung
4.Saudari ayah (ammat)
5.Saudari ibu (khalat)
6.Anak dari saudara-saudara laki-laki
7.Anak dari saudara-saudara perempuan
8.Perempuan yang telah diperistrikan ayahmu
9.Ibu istrimu (mertua)
10.Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri
11.Istri anak kandungmu (menantu)
12.Dua perempuan bersaudara secara bersama
13.Perempuan-perempuan yang menjadi istri orang
14.Ibu yang menyusui kamu
15.Saudara perempuan sepersusuan
Rasulullah juga melarang pengebirian, walaupun dimaksudkan untuk menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam perzinaan. Abdullah berkata, “Kami pernah berperang bersama-sama dengan Rasulullah SAW dan saat itu kami tak punya apa-apa. Kemudian kami pun berkata, ‘Apakah kami harus melakukan pengeberian (castration)?’ Dan ternyata Baginda SAW pun melarang kami untuk melakukannya. Kemudian Baginda memberikan keringanan kepada kami, yaitu menikah dengan wanita meskipun dengan mahar kain. Kemudian Nabi SAW membacakan QS al-Maidah: 87 (HR al-Bukhari).
Kesimpulan
Harus diakui bahwa serentetan kasus kejahatan seksual dan kriminal secara umumnya adalah dampak kegagalan kita semuanya sebagai orang tua, guru, tokoh masyarakat, aparat keamanan, dan pengelola negara. Perlu solusi integral, komprehensif, dan serius menangani kasus ini, baik dari sisi pendidikan formal, informal, norma keagamaan, keamanan, hukuman, maupun undang-undang (UU). Intinya, kejahatan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat UU. Terlebih lagi, jika UU itu menyasar nilai-nilai agama dan mendorong penguatan penguatan unsur-unsur kemerdekaan seksual berdasarkan HAM sekuler.
Di samping itu, aspek kebahasaan juga berpotensi mengabaikan maraknya perbuatan biadab ini. Misalnya, mengganti istilah pemerkosaan dengan pencabulan, perbuatan tidak senonoh, asusila, dan lain-lain. Mungkin di satu sisi dimaksudkan untuk melindungi kehormatan si korban, tetapi di sisi lain juga berdampak mengaburkan sisi kebiadaban perbuatan tersebut dan pelakunya. Wallahu a’lam wa ahkam bissawab.
Dimuat dalam ISLAMIA Republika Kamis, 6 Juni 2016