Oleh: Meyrinda Rahmawaty Hilipito, S.H, M.H.[1]
Email: mr.hilipito@gmail.com
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU P-KS telah mengalami pro-kontra yang cukup panjang. Misalnya terkait judul, banyak kalangan mengusulkan mengganti terma “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual”. Pro-kontra ini disebabkan oleh kegagalan para pengusung RUU P-KS dalam menyajikan sebuah RUU bernafas Pancasila dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. RUU P-KS juga dianggap kurang selaras bahkan tumpang tindih dengan KUHP. Belum lagi definisi kekerasan seksual dalam RUU P-KS yang multi-tafsir dan bermasalah. Betapa tidak, dari definisi tersebut bukan hanya problem normatif yang menyeruak, tapi ada problem ideologis sehingga tidak heran muncul berbagai penolakan di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan teks yang begitu panjang, pemahaman definisi kekerasan seksual justru menjadi lebih sulit dipahami. Kekerasan seksual adalah “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”(Pasal 1 angka 1 RUU P-KS).
Problem Normatif-Ideologis
Sejumlah problem normatif mulai terbaca di bagian awal definisi. Sebab, ditemukan kata-kata yang ambigu, berkenaan dengan unsur-unsur tindakan kekerasan seksual. Buktinya, kata “merendahkan”, “menghina”. Dua kata yang sebenarnya memiliki arti yang sama. Menghina bisa dimaknai merendahkan, begitu pun sebaliknya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007). Entah apa maksud disandingkannya dua kata tersebut secara bersamaan. Penggunaannya malah terkesan mubazir dan menimbulkan miskonsepsi. Hal yang justru tidak sejalan dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang dimandatkan Pasal 5 huruf f UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan menggunakan rumusan tersebut, perbuatan merendahkan, menghina terhadap tubuh, hasrat seksual, fungsi reproduksi seolah bisa diartikan sesuka hati, tanpa ukuran-ukuran yang jelas.
Belum lagi dengan norma yang tumpang tindih. Indikasinya ada pada frasa “perbuatan lainnya” yang jika dicermati sebenarnya bertabrakan dengan Pasal 11 tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual. Intinya, penggunaan frasa tersebut dapat menyebabkan pemaknaan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah diatur secara limitatif dalam Pasal 11 menjadi luas, tanpa batas. Sebab, tidak ada interpretasi yang jelas mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan lainnya, sehingga sifatnya menjadi sangat subjektif. Apapun bisa digolongkan sebagai tindakan kekerasan seksual. Celakanya, dalam Pasal 11, perilaku-perilaku seksual yang dilarang dan diancam dengan pidana banyak mengandung subtansi yang kabur. Misal, aborsi secara paksa yang jika dimaknai sebaliknya bisa dianggap legal. Padahal, aborsi dalam keadaan terpaksa maupun tidak yang bukan didasari pertimbangan medis merupakan kejahatan sebagaimana yang diatur UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Rumusan demikian tentu akan menyebabkan kekacauan norma, bukan hanya terhadap pasal itu sendiri namun terhadap pasal lain dalam undang-undang yang sama ataupun ketentuan lain dalam undang-undang yang berbeda. Dampaknya pun akan dirasakan pada tataran implementasi, dalam proses penegakan hukum. Sebagai aturan yang akan diberlakukan secara khusus atau lex specialis, semestinya definisi RUU P-KS harus jelas dan tegas, memenuhi asas lex scripta, lex certa, dan lex stricta.
Persoalan selanjutnya semakin fatal. Karena disinilah akar masalah ideologis muncul dalam RUU ini. Pemicunya adalah frasa “hasrat seksual”. Kata-kata yang seolah menjadi sumber legitimasi atas segala macam penyimpangan perilaku seksual seperti perzinahan, pelacuran, termasuk disorientasi hasrat seksual LGBT. Bukan asumsi apalagi mimpi. Terkait poin terakhir misalnya, saat ini hegemoni LGBT untuk diakui orientasi seksualnya melalui hukum dan kebijakan suatu negara semakin menguat, bahkan menjadi tren yang mendunia, yang berlindung di balik isu hak asasi manusia.
India menjadi contoh negara kesekian yang baru-baru ini melalui putusan Mahkamah Agung pada akhirnya melegalkan LGBT, meski sebelumnya hubungan sesama jenis dinyatakan sebagai perbuatan ilegal bahkan diancam pidana sebagaimana yang dinyatakan Pasal 377 Undang-undang Hukum Pidana India.“Whoever voluntarily has carnal intercourse against the order of nature with any man, woman or animal, shall be punished with imprisonment for life, or with imprisonment of either description for term which may extend to ten years, and shall also be liable to fine.”
Demikian pula Amerika Serikat yang telah lebih dulu mengesahkan perkawinan homoseksual berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Padahal mulanya, perkawinan sejenis dilarang. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah perkawinan yang diakui negara menurut Defense of Marriage Act. “The word ‘marriage’ means only a legal union between one man and one woman as husband and wife, and the word ‘spouse’ refers only to a person of the opposite sex who is a husband or a wife.”
India dan Amerika memang dikenal sebagai negara sekuler. Tetapi, itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengatur LGBT dengan aturan hukumnya, walaupun ketentuan yang melarang praktik homoseksual akhirnya runtuh atas nama hak asasi manusia. Tentu, ini alarm bagi Indonesia yang hukum positifnya tidak secara tegas, melarang atau membolehkan perilaku LGBT. Sekalipun pernikahan sejenis belum dimungkinan terjadi dengan adanya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi nilai ajaran agama, adat, tradisi dan nilai-nilai lainnya sebagai living law mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, namun celah hukum masih saja terbuka.
Bisa jadi, frasa hasrat seksual yang abu-abu menjadi kans bagi LGBT agar hak dan kebebasan pribadinya diakui, kendati tidak ditemukan satu kata yang mengabsahkannya. Karena, jika dicermati, kata-kata tersebut justru memberi ruang interprerasi, yang dapat dimaknai dan tidak terbatas pada hasrat heteroseksual saja, tetapi termasuk hasrat homoseksual. Apalagi, dalam RUU ini perilaku homoseksual tidak dinyatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual.
Sebuah anomali yang nyata. Entah sengaja atau tidak, nampaknya hal itu bertalian erat dengan konsep kekerasan seksual yang dalam definisi RUU ini hanya mensyaratkan unsur “pemaksaan”. Jadi, bukan merupakan kekerasan seksual jika dilakukan secara sukarela. Padahal, umumnya, hubungan sesama jenis dilandasi atas dasar suka sama suka, tentu selain perzinahan ataupun abrosi ilegal karena kehendak pribadi. Sekilas sebagai perbandingan, dalam Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia khususnya Pasal 377A, Pasal 377B dan Pasal 377C, selain unsur paksaan, sukarela atau persetujuan juga diadopsi sebagai unsur utama dalam tindak pidana persetubuhan, aturan yang juga berlaku bagi pelaku hubungan sesama jenis. Sebaliknya, di Indonesia, persoalan semakin pelik ketika perilaku tersebut digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime. Alasannya, karena dilakukan atas kemauan sendiri, yang tidak menimbulkan korban atau kerugian bagi orang lain sehingga sulit untuk dipidanakan.
Pandangan demikian jelas sangat keliru. Secara ideologis-filosofis tertolak dengan Pancasila yang mengedepankan nilai-nilai agama sebagaimana mandat sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Lagipula, dalam pandangan agama-agama yang diakui di Indonesia, setiap perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, melawan nilai-nilai kemanusiaan dan menyalahi fitrah manusia bukan saja dilarang namun dilaknat. Dalam Islam, homoseksual dan sejenisnya digolongkan sebagai perbuatan yang melampaui batas atau fahisyah. Perbuatan yang termasuk dosa besar dan sanksinya sangat berat. Karena, tidak hanya merugikan orang lain maupun masyarakat, tetapi justru merusak dan mencelakakan pelakunya.
Tidak sedikit fakta yang mengungkap, perilaku LGBT yang berujung pada gangguan kesehatan fisik berupa penyakit HIV/AIDS, penyakit kelamin lainnya, maupun kesehatan jiwa. Begitupula yang dialami oleh pelaku penyimpangan seksual lainnya. Inilah bentuk kezaliman dan kejahatan manusia terhadap dirinya sebagai individu. Karena itu, seseorang tidak boleh dengan dalih apapun merugikan dirinya sendiri. Inilah prinsip yang ditanamkan Islam sebagaimana yang ditegaskan Al-Quran, “dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 195). Keberadaan nilai-nilai seperti ini tentu diharapkan dapat mewarnai ketentuan dalam RUU P-KS.
Klimaks permasalalahan ideologis RUU P-KS kian diperkeruh dengan munculnya gagasan “relasi kuasa atau relasi gender”, tanpa pemaknaan yang jelas, sehingga kata-kata tersebut dapat dimaknai perempuanlah yang senantiasa menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual, sementara laki-laki menjadi pelaku. Dikatakan demikian, karena berangkat dari pandangan relasi gender itu sendiri yang selama ini berkembang, bahwa dalam hubungan hirarkis antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung dirugikan adalah perempuan. (Reeves, Hazel & Sally Baden, 2000). Tentu, tak terkecuali dalam masalah kekerasan seksual.
Logika yang sangat naif. Karena jika mau jujur, tanpa bermaksud mengabaikan fakta bahwa kekerasan seksual yang dialami perempuan menunjukan intesitas yang meningkat, dalam perspektif tindak pidana, kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan oleh siapapun dan dimanapun tanpa harus distigmakan terhadap jenis kelamin tertentu. Lagipula, jika menggunakan pendekatan tersebut seakan mengabaikan fenomena kejahatan perkosaan terhadap laki-laki atau male rape. Perkosaan yang pelaku dan korbannya bukan hanya laki-laki melainkan pelakunya adalah wanita dan korbannya laki-laki.
Di Amerika Serikat, kasus Cierra Ross telah memicu kesadaran masyarakat bahwa perempuan pun bisa bertindak sebagai pelaku kejahatan seksual. Ia didakwa dalam tindak pidana perkosaan dan perampokan bersenjata terhadap korbannya yang notabene adalah seorang laki-laki. (https://chicago.cbslocal.com, 2013). Tentu hal ini belum termasuk kejahatan seksual yang melibatkan pelaku sesama jenis yang berkelamin perempuan.
Jadi, sangat tidak tepat jika relasi kuasa atau relasi gender dinyatakan sebagai satu-satunya penyebab kekerasan seksual. Kalaupun ada maksud baik, harusnya faktor lain pun dapat dipertimbangkan dalam definisi RUU ini. Namun bila sebaliknya, kokoh dengan konsepsi tersebut, maka jelas ini adalah paradigma feminis. Dalam tradisi perjuangan feminis, khususnya teori hukum feminis atau feminist legal theory, gender adalah harga mati yang harus dijadikan standar semata wayang dalam pembentukan hukum dan kebijakan.
Mereka lazimnya akan bersikap apriori dan konfrontatif terhadap tatanan atau struktur tertentu yang identik dengan sistem patriarki, apalagi, jika tatanan itu dijadikan dasar acuan dalam peraturan perundang-undangan. Karena, dalam alam pikir feminis, sistem patriarki yang dijustifikasi oleh nilai-nilai sosial, budaya, dan agama justru melanggengkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Secara ekstrim mereka bahkan meyakini hukum negara yang bersumber dari hukum-hukum agama terutama Islam adalah pangkal masalah kekerasan seksual perempuan, dengan aturannya seperti kewajiban busana ataupun poligami.
Penutup
Meskipun ada wacana “definisi kekerasan seksual” ini akan dihilangkan dari draft RUU P-KS, namun sayangnya unsur-unsur pidana maupun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang muncul di Pasal 11 tidak mengalami perubahan dan tetap dibiarkan sesuai tafsiran definisi kekerasan seksual yang bermasalah itu. Perlu diingat, kedudukan sebuah definisi sangat vital, bisa diibaratkan jantung bagi undang-undang. Jika sejak awal perumusannya keliru, subtansi undang-undang pun bisa keliru. Hal ini pernah terjadi ketika seluruh materi UU No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi karena definisinya berjiwa korporasi, menghantam prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut UUD 1945. Oleh karena itu, jika usulan berbagai pihak terkait definisi ini tidak diakomodasi oleh pihak pengusung RUU P-KS, maka tentunya tidak sulit memahami kemana arah RUU P-KS hendak dibawa.
Artikel ini dimuat di Majalah Konstitusi No.151 Edisi September 2019
(link https://mkri.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_161_1.%20Edisi%20September%202019%20.pdf)
[1] Peneliti The Center for Gender Studies (CGS), Anggota Bidang Kajian dan Hukum Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia