Kesetaraan Gender dan Desakralisasi Agama

Dr. Saiful Bahri, M.A.(1)

 

Pendahuluan

Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan. Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:

Artinya, ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)

Ayat di atas dianggap mengandung makna perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, padahal kata “tidaklah seperti” ( ليس ك ) berarti umum. Perbedaan yang dimaksud bisa dari struktur fisik, fungsi-fungsi yang diperankan, serta fitrah dan tabiatnya sudah tentu tidak bisa sama persis. Maka, perbedaan antara keduanya adalah suatu keniscayaan. Namun, perbedaan di atas tak menandakan bahwa derajat perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak kesamaan lainnya dalam hak dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)

Maka, menjadi hal yang sangat prinsipil untuk dikatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan sebagaimana juga tak sedikit persamaan di antara keduanya. Keduanya tak mungkin disamakan secara mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu dibedakan dalam segala hal. Keseimbangan dalam hal persamaan dan perbedaan inilah yang menempatkan perempuan di bawah naungan syariat Islam menjadi mulia dan bermartabat. Sebelumnya, perempuan tak pernah mendapatkan hak warisnya. Islam datang untuk mengatur hal-hal ini, termasuk memberikannya hak waris yang merupakan sebuah aturan menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu, hak keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan hadits dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)(2). Islam bahkan tak pernah melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.

Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi laki-laki -saja- tidak termasuk bagi perempuan, sebagai bentuk diskriminasi lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat adalah sebuah bentuk keringanan (rukhshah) yang diberikan kepada perempuan. Namun, bukan berarti Islam melarang perempuan untuk mendatangi Shalat Jumat. Karena ada sebuah kaidah “man shahha zhuhruhû shahhat jum‟atuhû” (Barang siapa yang shalat zhuhurnya sah, maka sah pula Shalat Jum‟atnya)(3).

Istilah dan Sejarah Gender

Dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.(4) Istilah gender berasal dari “Middle English”, gendre, yang diambil dari era penaklukan Norman pada zaman Perancis Kuno. Kata „gender‟ berasal dari bahasa Latin, genus, berarti tipe atau jenis. Kedua istilah gendre dan genus, memiliki arti tipe, jenis, dan kelompok. Gender adalah himpunan karakteristik yang terlihat membedakan laki-laki dan perempuan. Kata Gender dapat diperpanjang dari sekedar kata “seks” sampai dengan “peran sosial atau identitas gender.” Kata, „gender‟ memiliki lebih dari satu definisi yang valid. Dalam pidato umum, biasa digunakan bergantian dengan „seks‟ untuk menunjukkan kondisi fisik sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial, kata „gender‟ secara khusus mengacu pada konstruksi sosial dan perbedaan kelembagaan, seperti perbedaan peran gender(5)(6).

Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari berbagai kalangan untuk mendefinisikan gender. Maka sebagai sesuatu yang baru, batasan-batasan gender menjadi sangat debatable. Gender bisa merupakan peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).Dan tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang dan implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat.

Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal, wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Yayasan Kartini”(7).

Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI. Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia kebebasan pasca reformasi 1998.

Sasaran Penyetaraan Gender

Wacana Pengarusutamaan Gender (PG) atau kemudian menjelma di mana-mana menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai sektor kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen dan bermula dari kesadaran perempuan atau pembela hak-hak perempuan. Tapi hal tersebut lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya yang paling mendasar adalah desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”. Maka wacana-wacana tersebut diperjuangkan sampai final memasuki ranah konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para pejuang kesetaraan gender.

Komitmen PBB untuk menjamin hak-hak perempuan secara khusus ditunjukkan ketika Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang kemudian dikenal dengan CEDAW pada tanggal 18 Desember 1979. Konvensi tersebut memuat tiga puluh poin materi yang terbagi menjadi enam pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan(8).

Pemerintah Indonesia pun telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen. Konvensi tersebut kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984. Di samping meratifikasi Konvensi Perempuan, Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/ BPFA) yang merupakan hasil Konferensi Perempuan se-Dunia IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). Dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000, juga tak luput dari isu dan tekanan kesetaraan gender sebagaimana sebelum-sebelumnya.

Dengan isu gender, terselubung proteksi terhadap perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan melakukan aktivitas seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui di PBB dengan tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai pengekangan dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia (9).

Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender

1. Asal kejadian manusia

Dalam persoalan manusia pertama yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam „alaihissalam bukanlah manusia pertama tersebut.

Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif. Maka, klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan oleh Allah, dan bukan laki-laki (Adam). Menurut Musda Mulia pemahaman distortif dan sarat dengan bias gender ini muncul dari penafsiran literal terhadap ayat Al-Quran. Dan sayangnya pemahaman seperti ini justru dianut oleh kebanyakan kaum muslimin(10). Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ”nafsun wahidah” dalam awal surat An-Nisa‟ adalah Adam alaihissalam. Sebagian kecil saja dari para ulama yang berpendapat selain itu. Di antaranya adalah Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Mu‟tazily, ”Jika Allah mampu menciptakan Adam dari debu/tanah, maka tentu Allah sanggup mencipta Hawa juga dari tanah. Jika demikian, lalu apa faidah penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam”(11). Sedangkan Abu Muslim al-Asfahany (254-322 H) mengatakan, ”lafazh „nafs‟ di dalam Al-Quran diulang sebanyak 295 kali. Dan tidak ada yang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah Adam „alaihissalam. Demikian juga kata ”nafsun wahidah” yang diulang sebanyak lima kali. Tak ada satupun yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah Adam „alaihissalam”(12).

Para pejuang gender ini merasa makin kuat ketika mendapatkan dukungan dari Muhammad Syahrur yang sangat terpengaruh teori evolusi Darwin. Menurutnya bahwa Allah menciptakan manusia setidaknya melalui dua tahap. Pertama, Allah ciptakan semua unsur jantan (dzakar) dan betina (untsa) dari semua makhluk-Nya, yang berakal maupun yang tidak. Pada tahap kedua, Allah membedakan antara jenis manusia dan yang lainnya ketika meniupkan ruh. Kemudian Allah menegaskan kemuliaan manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra‟: 70)(13).

Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan Allah(14). Pendapat ini juga didukung dalil-dalil hadis yang kuat yang menunjukkan bahwa Adam adalah manusia pertama ciptaan Allah yang akan mendapat pengaduan anak-anak Adam ketika hari kiamat(15).

Adapun penciptaan Hawa, di dalam Al-Quran secara implisit disebut sebanyak tiga kali dengan redaksi ”khalaqa minhâ” atau “ja‟ala minhâ”(16). Sedangkan secara eksplisit hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki(17).

Pilihan penulis terhadap pendapat jumhur bukan hanya karena banyak yang berpendapat demikian. Tapi karena pendapat ini argumentatif dan didukung dalil yang kuat. Dan permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Adam dan nabi-nabi utusan-Nya bahkan menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.

2. Tema perwalian dan mahar dalam nikah

Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 30 disebutkan, “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”. Musdah Mulia mengusulkan amandemen pasal ini dalam Counter Legal Draft (CLD), pasal 16 dengan menawarkan, ”(1) Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan kemampuan pemberi”(18). Hingga saat ini usulan CLD ini masih belum diterima, tetapi jika suatu saat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) disahkan tidak mustahil butir-butir aneh tersebut termasuk usulan-usulan lainnya akan kembali diperjuangkan. Mahar yang merupakan salah satu syarat nikah, maka hukum memberikan mahar adalah wajib, baik tunai ataupun ditunda. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan. Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Maka mahar adalah kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya.

Selain masalah mahar, mereka juga banyak menyebut unsur-unsur diskriminatif lain dalam ajaran agama Islam. Masalah perwalian misalnya, juga hak menolak atau meminta hubungan badan (jima‟) atau menikmatinya sama seperti suaminya (laki-laki). Maka hak aborsi juga perlu diberikan kepada perempuan, bahkan kesediaan untuk hamil atau menundanya atau menolaknya adalah hak setiap perempuan. Sebagaimana hak untuk keluar rumah dan beraktivitas serta mendapatkan pendidikan yang lain.

Tentunya pembahasan masalah mahar, perwalian juga aborsi (pengguguran janin) tidaklah bisa disamakan dengan masalah hak perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan aktivitas publik. Terlebih masalah hubungan badan yang merupakan hak keduanya secara sama, yang oleh Rasulullah SAW ditegaskan ”pada kemaluan kalian terdapat shadaqah”(19). Karena Rasul menambahkannya bahwa jika dilampiaskan pada yang haram maka akan berdosa. Hasrat seksual sengaja Allah ciptakan pada manusia sekaligus diberikan jalan pemenuhannya secara halal dan aman. Sedangkan, wacana kesetaraan gender punya kepentingan untuk melegalkan kebebasan seksual tanpa batas.

Poin lain dalam masalah sensitif ini adalah tentang masalah nusyuz yang sering disalahartikan dan tak jarang justru dituduhkan sebagai dasar normatif KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dalam Islam. Menurut bahasa, nusyuz diambil dari suatu dataran tinggi di bumi. Maka bisa diartikan nusyuz terjadi bila salah satu pihak dari masing-masing suami maupun istri merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Nusyuz disebut secara spesifik sebanyak dua kali, yaitu dalam QS. An-Nisa: 34-35 bila terjadi dari pihak istri (perempuan) dan di dalam An-Nisa‟: 128, jika terjadi dari pihak suami (laki-laki).

Ini adalah solusi penawaran dalam sebuah masalah yang terjadi di tengah keluarga. Jika permasalahan berat atau kesalahan dari pihak perempuan maka sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki disarankan untuk menyeselaikannya dengan santun, melalui tiga tahap: menasehati dan berdialog, jika tak mempan maka diambil langkah berikutnya yaitu “pisah ranjang”. Adapun langkah ketiga “memukul” terdapat banyak aturan, di antaranya: tidak menyakiti dan tidak memukul wajah serta tidak menghinakan. Imam Malik bahkan menyaratkan boleh memukulnya dengan sehelai tisyu. Hal tersebut bukan dimaksudkan sebagai pelampiasan kemarahan atau hukuman tapi untuk mencairkan suasana dan mengembalikan keakraban serta keharmonisan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadis Nabi SAW, ”Orang-orang pilihan di antara kalian takkan pernah memukul –istrinya-”(20). Nusyuz istri ini tidaklah dikarenakan semua bentuk kesalahan istri, tapi kesalahan besar yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ar-Ragib Al-Asfahany menegaskan, ”bahwa nusyuz terjadi bila istri merasa tinggi di depan suaminya sehingga berdampak ketidaktaatan, atau jika hatinya sudah tak berhasrat padanya dan berpaling pada laki-laki lainnya”(21). Demikian sebaliknya jika tanda-tanda nusyuz ditemukan seorang perempuan dalam diri suaminya, serta ada masalah disharmonisasi di tengah biduk rumah tangga, maka cara damai diutamakan untuk ditempuh. Jika dalam dua kondisi nusyuz di atas tak terelesaikan secara internal, maka dibolehkan minta mediasi (dari keluarga masing-masing mereka) untuk ikut menyelesaikan masalah. Dan jika cara ini tak menemui solusi yang baik, maka berpisah pun diperbolehkan dengan cara yang makruf. Sedang ketiadaan tahapan-tahapan penyelesaian nusyuz (bagi perempuan) mengandung hikmah yang sangat arif. Karena, jika perempuan disarankan memukul tentu rumah tangga akan berubah menjadi ring pertarungan yang tak seimbang. Dengan hal ini justru perempuan dilindungi dari kekerasan dan pelecehan martabatnya sebagai manusia yang terhormat.

Tak jarang, sebagian orang menukil beberapa data perceraian yang diakibatkan oleh KDRT sebagai argumen untuk mendelegitimasi aturan agama. Mereka mengatakan bahwa perilaku KDRT ini meningkat bisa jadi karena sandaran aturan normatif yang salah. Padahal, jika mau jujur orang-orang yang melakukan KDRT tesebut sama sekali tidak memahami aturan agamanya, bahkan mungkin tidak terbersit bahwa apa yang mereka lakukan memiliki pembenaran dan dalil. Dengan demikian kesimpulan di atas menjadi sangat prematur dan merupakan bentuk generalisasi yang tidak argumentatif.

3. Masalah thalaq (perceraian)

Sebagai tindak lanjut masalah sebelumnya, kali ini talak atau perceraian diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan. Karena –menurut mereka- laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang setara.

Maka menurut para pejuang penyetaraan gender, sebagai bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak percerian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Maka, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bunyi keadilan dan kesetaraan gender. Di samping itu mereka juga menghendaki adanya iddah yang diberlakukan juga bagi laki-laki.

Salah satu pejuang penyetaraan gender, Nawal Sa‟dawi mengatakan, ”Sesungguhnya talak merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan sebagian masalah rumah tangga. Tapi apakah sebuah keluarga hanya berisi satu pihak saja yaitu laki-laki? Mengapa penyelesaian masalah justru merugikan pihak lain?”(22). Sementara yang lain –Aminah Wadud- memandang bahwa peraturan ini hanya bersifat temporer, mengingat kondisi saat turun wahyu sangat tidak memihak perempuan(23). Maka di zaman saat kesetaraan dijunjung tinggi hal itu perlu direvisi dan diubah. Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk diulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman. Ini belum membicarakan hak asuh anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan persusuan serta persoalan rujuk, jika terjadi keinginan antar keduanya untuk memulai membangun kembali mengurai disharmonisasi.

Di samping itu, jika dalam kondisi perempuan menjadi pihak yang dirugikan jika terpaksa bertahan dalam keadaan disharmonisasi yang menjeratnya, ia bisa melakukan khulu‟ (tuntutan cerai kepada suaminya).

4. Hijab/Jilbab

Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi oleh para slogan perangusutamaan gender dengan meluaskan wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) dari yang sudah maklum di kalangan umat Islam; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan muslimah. Khilafiyah ini diperluas dengan redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; yaitu bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.

Orang-orang yang sering menyebut diri mereka kalangan modernis, di antaranya Muhammad Syahrur, meredefinisi ”az-zinah” yang dikecualikan dalam ayat ( walaa yubdiina ziinatahunna illa maadhoharo minhaa ) [QS. Al-Ahzab: 31] terbagi dalam dua hal: yaitu, 1. Az-zinah yang zhahir dan 2. Az-Zinah yang tersembunyi. Lalu apakah yang dimaksud zinah di sini yang sesuai dengan ruh dalam ayat QS. An-Nisa‟: 22 dan 23. Setelah membagi jenis-jenis perhiasan/zinah, Syahrur juga menjelaskan apa yang dimaksud kata ”juyub” dalam Al-Qur‟an yang dianggapnya aurat kubra. Ia lalu mengatakan, ”Jika ada pertanyaan: bolehkah seorang perempuan membuka auratnya (telanjang) di depan mahram-mahramnya. Maka saya jawab: boleh, jika tidak mengganggu atau ada keperluan. Jika ada rasa tak enak maka itu termasuk bagian dari adat, kepatutatan/aib atau malu. Tapi hal ini tidak ada hubungannya dengan halal dan haram, karena suami dan ayah termasuk di dalamnya. Jika seorang ayah melihat anak perempuannya demikian, ia jangan mengatakan: ini haram. Tapi katakanlah hal tersebut aib!”(24).

Sementara Muhammad Said al-Asywamy mencoba mengritisi argumen disyariatkannya jilbab yang menurutnya secara global bermula dari dua hal: melindungi kaum muslimat yang merdeka dari pelecehan seksual atau disamakan dengan budak atau pelacur pada saat mereka hendak menunaikan hajat (buang air). Inilah –menurut Asymawy- maksud yang sesungguhnya dan bukan untuk mewajibkan pakaian islami sebagaimana banyak diklaim orang. Apalagi saat ini untuk membedakan identitas seseorang sangat mudah karena ada kartu identitas, juga karena hampir semua model kamar kecil (toilet) sekarang berada di dalam rumah atau ruang yang sangat tertutup (privasi). Dengan demikian perlu peninjauan ulang terhadap klaim kewajiban jilbab(25).

Penulis takkan menjawab syubhat ini, karena kewajiban tentang jilbab sudah demikian jelas sejelas kewajiban shalat dan zakat. Jika ada perdebatan maka wilayahnya menjadi sangat kecil, yaitu hanya wajah dan kedua telapak tangan. Jika sebagian muslimah atau banyak di antara mereka enggan mengenakan pakaian iffah ini maka tidak menjadi tolok ukur bahwa kewajiban jilbab kemudian tereduksi dan mengalami perubahan hukum atau dikatakan hukumnya belum final.

5. Waris

Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah waris dalam frame kesetaraan gender adalah bahwa dalam masalah perwarisan seorang perempuan –hanya- mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Maka ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang lain. Padahal dalam agama Islam hukum waris adalah sebuah sistem komprehensif dan tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial saja. Aturan-aturan tersebut dikemas dalam al-Qur‟an yang kemudian dipelajari perkembangan kasus-kasusnya yang oleh para ulama kemudian dinamakan dengan sebuat disiplin ilmu ”Fara‟idh”. Para pejuang gender tersebut hendak menggeneralisasi kondisi perwarisan, atau dimaksudkan untuk memblow up, beberapa kondisi yang sangat sedikit saja sehingga mendukung tujuan mereka serta menempatkan Islam dalam posisi tembak dan tak ubahnya seperti perundang-undangan yang bisa direvisi dan diamandemen. Secara umum Islam mengatur hak perempuan dalam waris sebagai berikut, jika diperhatikan justru yang terjadi sebaliknya, perempuan menjadi sangat dimuliakan dan dijunjung derajat dan martabatnya.

a. Hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki

b. Ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki

c. Ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki

d. Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya(26).

6. Poligami

Adapun poligami yang dihalalkan Allah sudah tentu menjadi musuh utama para pejuang gender. Karena selain dianggap perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, poligami dianggap tidak manusiawi dan merendahkan martabat perempuan. Tak heran, jika di mana-mana poligami disosialisasikan untuk diperangi, karena merupakan bentuk perbudakan dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Juga karena perempuan tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.

Termasuk pula dalam pengertian ”mâ anzalallah” adalah hukum poligami. Dalam banyak pandangan di dalam masyarakat hukum poligami bukan sekedar dibolehkan, tetapi juga sunnah karena pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW” (27).

Gerakan anti poligami ini sangat mudah untuk digulirkan. Dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan yang memang sulit menerima untuk diduakan, maka tak perlu berpikir panjang seolah-olah poligami adalah dilarang dan dimusuhi bersama. Di saat yang sama para pejuang gender tersebut ingin melegalkan dan melindungi praktek perselingkuhan dan perzinahan, termasuk perilaku seksual yang sangat bebas tanpa batasan tertentu karena dipandang sebagai wilayah yang sangat privat.

Padahal poligami adalah sebuah solusi sebagaimana perceraian yang diperbolehkan dalam Islam. Adanya syarat keadilan yang tak bisa ditawar merupakan bentuk pengetatan dan rem keberanian seorang laki-laki sebelum melangkah mengambil keputusan untuk menikah lagi. Nabi Muhammad SAW sendiri tetap bertahan monogami selama kurang lebih 27 tahun. Sulitnya kondisi perceraian tak menyebabkan seseorang harus mengatakan bahwa talak diharamkan. Maka demikian halnya dengan poligami, yang jika –terpaksa- dilakukan karena suatu sebab dan diikuti dengan pemenuhan keadilan yang maksimal maka adalah bentuk prestasi. Meski pandangan yang mengatakan bahwa poligami adalah sunnah, tetap harus dikritisi dan dikaji ulang. Karena poligami merupakan salah satu solusi masalah sosial dan juga kebutuhan pribadi di waktu yang sama. Maka secara proporsional –justru- akan kembali menempatkan perempuan dalam kehormatannya. Berbeda dengan perselingkuhan dan perzinahan yang merupakan bentuk hubungan yang sulit dipertanggungjawabkan secara manusiawi sebelum di hadapan hukum Allah.

7. Kepemimpinan (qawwamah)

Masalah qawwamah cenderung dibahasakan sebagai penguasaan atas perempuan. Kepemimpinan yang dimaksud adalah pengayoman didistorsis sebagai hegemoni dan diktatorisme. Parahnya pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga kemudian diluaskan ke mana-mana seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para perempuan. Gerakan dan perjuangan para pembela kesetaraan gender ini bahkan sangat berlebihan. Sebagai contohnya, ranah politik dipaksakan harus mengakomodir 30% jatah khusus perempuan. Ini di Indonesia, di saat negara-negara maju di dunia ini tak sampai menetapkan kuota dengan angka seperti itu.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik28 mengakomodasi beberapa paradigma baru Indonesia. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) yang menyebutkan :

(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.

Islam tak melarang perempuan untuk menggunakan hak politiknya juga tak melarang rincian-rincian di atas. Namun, jika ditilik dari munculnya undang-undang tersebut maka tak bisa dilepaskan dari semangat pengarusutamaan gender, atas nama kesetaraan gender.

8. Persaksian perempuan

Isu yang diangkat dalam masalah persaksian juga tak jauh berbeda seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian didakwa sebagai pembedaan/diskriminasi perempuan sekaligus sama halnya menempatkan perempuan sebagai setengah manusia.

Banyaknya wilayah perbedaan dalam masalah ini di kalangan para ulama mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan yang konstruktif. Dan semakin menegaskan pemahaman para ulama akan hal-hal yang konstan (tsâbit) yang tak bisa berubah yang tidak menjadi wilayah ijtihat serta mana yang termasuk wilayah yang berubah (mutaghayyirât). Sebagai contoh sederhana, seorang murid yang sangat setia pada gurunya seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, banyak berbeda pendapat dengan gurunya, Ibnu Taimiyah dalam masalah ini(29).

Metode yang Digunakan

Untuk disebut sebagai sebuah metode, dalam kajian apapun yang diperlukan adalah konsistensi dan nilai ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Secara khusus penulis tidak menemukan metode yang digunakan para pejuang gender untuk mencari sandaran normatif dalam rangka mendukung dan menguatkan propaganda mereka dari perspektif agama. Meskipun pada dasarnya agama dan etika adalah dua hal yang dihindari, dikritisi dan dijauhi.

Secara global pembahasan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perempuan dikaji dalam perspektif kesetaraan gender dengan beberapa pendekatan dan metode berikut.

1. Hermeneutika

Secara umum hermeneutika adalah penakwilan bebas dan tak ada yang final dalam penafsiran teks (relativisme). Wahyu telah berubah menjadi teks dan masuk ke dalam ranah manusia karena sudah diturunkan ke bumi. ”Sebuah ilmu tentang penakwilan teks-teks suci atau teks agama manusia, seperti sebuah tafsir atau ilmu filologi, pemaknaan literal (harfiyah), atau pendekatan marfologi dan gramatikal. Atau yang dikenal sebagai penafsiran per lafazh”(30). “… yaitu dengan menanyakan banyak hal dari sumbernya atau dari pembacaan di lain sisi”(31). Maka bagi para penganut ”tafsir hermeneutika” ada lima unsur pokok: (1). Matinya pengarang, karena penakwilan dibebaskan sesuai pembacaan pembaca; (2). Wahyu telah beralih menjadi teks manusia, maka bisa dikritisi sebagaimana karangan manusia; (3). Tak ada yang zhahir, semuanya bisa ditakwilkan; (4). Relativisme dan tidak ada yang final dalam penakwilan, karena akan terus berkembang; (5). Maka sebagaimana para mufassirun berkarya, semua yang datang setelahnya boleh berkata apa saja. Di antara pelopor hermeneutika: Schleirmacher (1768-1834 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gadamer (1900-2002 M). Oleh para sarjana muslim yang belajar ke Barat, hermeneutika dianggap sebagai penemuan atau ilmu baru yang dibutuhkan dalam penafsiran Al-Quran.

2. Kritik sastra dan kebahasaan Al-Quran

a. Strukturalisme (al-binyawiyah):

Dengan pendekatan strukturalisme, Al-Quran bagaikan teks yang berdiri sendiri terlepas dari berbagai ikatan ideologis. Atau menjadikan teks harus dikembalikan kepada kaidah kebahasaan yang memiliki aturan gramatikal dan sebagainya. Tidak finalnya Al-Quran ditunjukkan dengan adanya qira‟ah sab‟ah (tujuh) atau asyrah (sepuluh). Maka bagi kritikus strukturalis tidaklah memiliki misi mengungkap hakikat sesuatu yang terkandung dalam bahasa teks, tapi misinya adalah menyesuaikan bahasa teks dengan bahasa modern saat ia hidup di tengahnya(32). Di antara para pelopor aliran kritik sastra ini: Ferdinand De Sausure (1857-1913 M) dan Roland Barthes (1980-1915 M).

b. Dekonstruksi (at-tafkîkiyah):

Adalah sebuah metode pembacaan teks yang beranggapan, setiap teks/ungkapan selalu kontekstual. Di antara tokohnya: Jacques Derrida (1930-2004 M) menunjukkan bahwa kita cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap setiap teks. Derrida sendiri banyak terpengaruh oleh Nitche (1844-1900 M)(33) dengan filsafat nihilismenya(34).

c. Stylistik (al-uslûbiyah):

Yaitu dengan menempatkan Quran dalam kritik sastra dan kebahasaan. Wahyu yang semula adalah kalam Allah, ketika disampaikan kepada Muhammad (manusia), maka yang digunakan adalah bahasa manusia. Adanya kesenjangan antara dua bahasa tersebut (antara sumber dan penerima) dimediasi oleh Jibril. Maka yang menjadi pusat kritik bukan asal sumbernya (wahyu/kalam Allah), juga bukan penerimanya (Nabi Muhammad), juga bukan mediatornya (Jibril), tapi teks yang sampai kepada Umat Islam. Al-Quran yang diterima Nabi Muhammad dari Jibril, pasti berbeda pemaknaan dari yang diterima sahabat langsung dari Nabi SAW, demikian seterusnya para tabi‟in hingga sampai ke zaman sekarang. Maka kritik gaya bahasa (uslub) dijadikan poin penting dalam kritik. Meski terjadi perbedaan serius di antara para pelopor aliran ini(35), tapi tetap bisa dipakai para pejuang gender untuk mengangkat kebenaran relatif dan perlunya amandemen isi al-Quran.

d. Semiotika (as-simiya`iyyah):

Dengan metode ini yang dipusatkan adalah unsur bahasa yang sering disebut kode atau simbol(36). Maka unsur-unsur yang dimuat dalam al-Quran juga demikian, menjadi sangat relatif. Sebagai contoh: definisi khamr, aurat dalam kebahasaan Arab akan berkembang dan mungkin berubah jika dilakukan dengan pendekatan bahasa lain dan di tengah komunitas lain.

3. Pendekatan sejarah

Dengan pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan sebagai unsur sejarah(37) dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka kandungan ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk menyesuaikan perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran(38). Artinya sebagai produk budaya Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di dalamnya tema-tema perempuan dan gender.

Tak heran jika kemudian, para pejuang kesetaraan gender mencoba memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam wilayah budaya dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender). Jika nantinya RUU ini disahkan, maka bisa dijadikan pintu untuk merevisi atau mengamandemen aturan-aturan agama yang sudah pakem. Apalagi jika ditekankan bahwa Islam adalah bagian dari sejarah dan budaya(39), maka sudah selaiknya ditinggalkan dan diganti dengan yang baru. Atau jika tak memungkinkan setidaknya diperbarui dan diubah kandungannya.

4. Pendekatan sosiologis dan antropologis

Dengan pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah fenomena sosial(40), maka perilaku keagamaan orang Arab tak bisa disamakan dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi). Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap perempuan dan kentalnya sistem laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya, dalam konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan.

5. Pendekatan psikologis

Dalam pendekatan ini, yang diutamakan dalam tataran realita adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang memeluk agama tertentu apa. Dari sini akan dimunculkan sebuah madhab baru dalam beragama, yaitu madzhab pluralisme(41). Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim mengambil intisari kebaikan dari berbagai agama.

RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)

Target dari pengesahan RUU KKG adalah kriminalisasi segala bentuk pelanggaran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan(42), tanpa memandang kondisi. Maka dengan rujukan RUU ini kelak akan berimplikasi terevisi dan teramandemennya beberapa Undang-Undang di negara ini, khususnya secara mendasar akan terjadi perubahan besar dalam UU Perkawinan (Ahwal Syakhshiyyah). Target dan sasaran ini bisa diendus dengan masuknya unsur budaya dalam berbagai poin dalam RUU tersebut. Dengan pendekatan budaya dan sejarah, maka segala bentuk aturan agama adalah unsur budaya yang terus mengalami perkembangan.

Meskipun belum bisa digeneralisir, namun patut dicermati sebuah fakta yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Angka perceraian di Indonesia pasca reformasi (di atas tahun 2000) meningkat empat hingga sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, terdapat 250 ribu perkara perceraian, atau sebanding dengan 10% angka pernikahan di tahun yang sama. Tujuh puluh persen di antara perceraian tersebut adalah bentuk cerai gugat, yaitu pihak istri (perempuan) yang menggugat cerai suaminya dengan berbagai sebab(43). Padahal para pejuang dan pembela kesetaraan gender sering mengemukakan bahwa terjadi perbaikan dan peningkatan dalam penerapan kesetaraan gender serta penekanan angka perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.

Penutup

Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati perempuan, di dalam Al-Qur‟an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat an-Nisa‟, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan para pejuang gender, tapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga dalam masyarakat.

 (Makalah disamaikan dalam acara Diskusi Dwipekanan INSIST 30 Juni 2012)

Daftar Pustaka

(1) Alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat, Divisi Kajian Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta, Dosen di Sekolah Tinggi An-Nuaimy, Jakarta, Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta, aktif di Asia Pasific Community for Palestina di Jakarta.

(2) Dr. Ali Muhammad Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah; Ardh Waqa‟i wa Tahlil Ahdats, Darut Tauzi‟, Cairo, Cet. II, 20023 M-1424 H, Jilid 2, hlm. 363-364. Suhailah Zainal Abidin, al-Mar‟ah al-Muslimah wa Muwajahah Tahaddiyat al-Aulamah, Ubaikan, Riyadh, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 190-191.

(3) An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu al-Muftin, Darul Ma‟rifah, Beirut, 1986 M-1406 H, J.1, h. 21.

(4) Lihat Helen Tierney (Ed.), “Women’s Studies Encyclopedia”, Green Wood Press, New York, Vol. I, hlm. 153.

(5) Lihat Wikipedia Online, dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Gender, diakses tanggal 17 September 2010.

(6) dikutip dari Naskah Akademis RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), Tim Kerja PUU-Deputi Perundang-undangan DPR RI, 24 Agustus 2011, hlm. 11

(7) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Serambi, Jakarta, Cet. I, 2008, hlm. 341

(8)United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003, hlm. 9, 13

(9)International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, hlm. 52, 53

(10) Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, Cet.II, Agustus 2007, hlm. 62, 63

(11) sebagaimana dinukil oleh Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, Darul Fikr, Beirut, Cet. I, 1980 M – 1401 H, Jilid 9, hlm. 167)

(12) Yaitu QS. An-Nisa‟:1, QS. Al-An‟am: 98, QS. Al-A‟raf: 189, QS. Luqman: 28, QS. Az-Zumar: 6 (13) Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah, 596-597 (14) QS. Ali Imran: 59

(15) HR. Bukhori dalam shahihnya, Bab Lima Khalaqtu bi Yadayya, hadis nomer 6975, dan Muslim dalam Kitâb al-Iman, Bâb Adnâ Ahli al-Jannah Manzilatan, hadis nomer 193.

(16) QS. An-Nisa‟: 1, QS. Al-A‟raf: 189 dan QS. Az-Zumar: 6

(17) HR. Bukhori, Kitâb Bad‟i al-Wahyi, Bâb Wa Idz Qâla Rabbuka, hadis nomer: 3084, Muslim, Kitâb Ar-Radha‟, Bâb al-Washiyyah bi an-Nisa`, hadis nomer: 1468, At-Tirmidzi, Kitâb Ath-Thalâq, Bâb Mâ Jâ`a fi Mudârah an-Nisa`, hadis nomer: 1188, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, Imam Ahmad dan ad-Darimy.

(18) Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistyowayi Irianto, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor, Jakarta, Cet II, 2008, hlm. 158

(19) HR. Muslim, Kitâb Az-Zakâh, Bâb Bayân Ismi as-Sadaqah, hadis nomer: 1006, hadis ini diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar al-Ghifary ra.

(20) Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan mengatakan bahwa sanadnya shahih (2/208), juga Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, hadis nomer: 14553

(21) Ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, Maktabah Nazar Musthafa, Riyadh, Cet.I, 1997, hlm. 493.

(22) Dr. Nawal Sa‟dawi, Qadhaya al Mar‟ah wa al-Fikr wa as-Siyasah, Maktabah Madbuli, Cairo, 2002, h. 218.

(23) Dr. Aminah Wadud, Al-Qur‟an wa Al-Mar‟ah: I‟adah Qira‟ah an-Nash al-Qur‟any min Manzhur Nisa‟iy, Maktabah Madbuli, Cairo, Cet.I, 2006 hlm. 129-132.

(24) Dr. Muhammad Syahrur: Al-Kitab wa al-Quran: Qira‟ah Mu‟ashirah, Syarikah al-Mathbu‟at li Tauzi wa an-Nasyr, Beirut, Cet.I, 1992 M – 1412 H, hlm. 605-606.

(25) Muhammad Said al-Asymawy, Ma‟alim al-Islam, Sina li an-Nasyr, Cairo, Cet.I, 1989, h. 124-125

(26) Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar‟ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, Nahdhah Misr, Cairo, Cet.I, 1999, hlm. 10-11

(27) Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Penerbit LkiS, Yogyakarta, Cet. II, 2007, h. 29-30

(28) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tentang Partai Politik

(29) Seperti yang beliau tulis dalam karyanya, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syar‟iyyah, Tahqiq: Nayif Ahmad al-Hamd, Dar Alam al-Fawa‟id, Makkah, Cet.I, 1428 H.

(30) Dr. Ahmad Idris Ath-Tha‟an, Al-Qur‟ân al-Karîm wa at-Ta‟wîliyah al-Almâniyyah, hlm. 2.

(31) Dr. Nashr Hamib Abu Zaid, Isykaliyât al-Qirâ‟ah wa Âliyât at-Ta‟wîl, Al-Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, Casablanca, 2005, hlm. 13

(32) Manal Shalih al-Muhaimid, Tahawwulât an-Nash Baina al-Binyawiyah wa at-Tafkîkiyah, hlm. 1.

(33) lihat: Megan ar-Ruwaily, Dalil an-Naqid al-Adaby, al-Markaz ats-Tsaqafy al-Araby, Casablanca-Maroko, Cet.III, 2002, hlm. 108

(34) Nihilisme (al-Adamiyah) sebuah paham dan aliran yang didasarkan pada pengingkaran/penafiyan terhadap nilai-nilai atau pemikiran sebagai sesuatu yang absolut, nilai atau norma tersebut sangat relatif, maka tak perlu diatur oleh undang-undang atau negara karena menyangkut kebebesan dan privat (Akademi Bahasa Arab Mesir, al-Mu‟jam al-Falsafy, Al-Mathabi‟ al-Amiriyah, Cairo, 1983 M- 1403 H, hlm. 118)

(35) Seperti yang ditulis oleh Dr. Shalah Fadhl, Manâhij an-Naqd al-Mu‟âshir wa Mushtalahâtihi, Merit, Cairo, Cet. I, 2002, hlm. 111-112.

(36) Ibid, hlm. 121-122.

(37) Nuruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983, hlm. 13.

(38) Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur‟an, Elsaq Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 100.

(39) Lihat, misalnya: BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1, dan BAB III (Hak dan Kewajiban) pasal 14 dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender)

(40) Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Scared, Suhail Academy, Lahore, 1988, hlm. 66.

(41) Madzhab yang memandang bahwa semua agama adalah sama benar, terpengaruh dengan falsafah relativisme yang menafsirkan eksistensi, perilaku dengan perspektif yang berbeda-beda (Al-Mu‟jam al-Falsafi, Ibid, hlm. 48).

(42) Seperti termaktub dalam: BAB IX (Ketentuan Pidana), Pasal 70-72 dalam RUU KKG . (43) lihat: International Islamic Commitee for Women and Child (IICWC), Tatanan Keluarga dalam Islam, Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I), Jakarta, 2012, hlm. vii

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.