Oleh: Ahmad Kholili Hasib*
Risalah Islam hadir dengan tidak merendahkan satu jenis kelamin. Buktinya, para muslimah zaman Islam tidak ada yang protes dengan syariat Islam. Justru mereka merasa lebih aman dan nyaman. Tidak sama dengan di Barat dimana pernah terjadi gelombang protes keras kaum wanita hingga lahir paham feminisme.
Para pejuang kesetaraan gender menyerang ajaran syariat Islam. Tuduhannya; tidak adil, pro-laki-laki, patriarki, dan lain-lain. Sasaran kritiknya adalah ajaran aurat, waris, talaq, mahar. Bahkan, tentang kejadian asal manusia juga dikritik.
Persepsi yang keliru di kalangan pejuang gender equality adalah dengan mengukur derajat manusia yang ditentukan secara materi, dan tata urutan. Atas lebih utama dari bawah. Depan lebih utama dari belakang dan seterusnya.
Dalam persoalan manusia yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam ‘alaihissalam bukanlah manusia pertama. Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif.
Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan
Permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Nabi Adam dan nabi-nabi lain utusan-Nya, menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.
Perwalian dan Hak Talak
Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya. Padahal, mahar adalah kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya. Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan.
Talak atau perceraian juga diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan. Karena menurut mereka, laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang setara. Menurut para pejuang kesetaraan gender, bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak perceraian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Dengan demikian, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bentuk keadilan dan kesetaraan gender menurut mereka.
Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk dipulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman.
*Kandidat Doktor, Peneliti Center for Gender Studies.