Kesetaraan Gender Versus Keadilan Islam[1]
Oleh: Rira Nurmaida
Bismillahirrahmaanirrahiim
Mukaddimah
Penyetaraan hak laki-laki dan perempuan menjadi agenda pokok yang diperjuangkan oleh para feminis, mulanya merupakan respon atas kultur yang tidak menghargai perempuan secara semestinya sebagai manusia. Namun belakangan ini, ideologi feminisme[2] yang dituangkan ke dalam paham kesetaraan gender (gender equality)[3] telah menjadi tren baru masyarakat modern. Bahkan menjadi tolak ukur maju tidaknya pembangunan di sebuah negara, yaitu dengan menggunakan ukuran HDI (Human Development Indeks), GDI (Gender-related Development Index), GEM (Gender Empowerment Measurament), dll. Dengan ukuran-ukuran itu dan kampanye yang massif, kesetaraan gender seolah telah menjadi keniscayaan dan menjadi konsep yang patut diterima tanpa dipertanyakan lagi. Kesetaraan gender disebar untuk diundangkan secara global melalui instrumen CEDAW yang digagas PBB dan diratifikasi mayoritas negara di seluruh dunia. Benarkah kesetaraan gender merupakan jawaban atas ketidakadilan yang dihadapi perempuan di seluruh dunia?
Wacana Kesetaraan Gender
Dalam membangun wacana kesetaraan gender, para feminis seringkali memulainya dengan membedakan definisi seks dan gender. Dua istilah tersebut lazim kita anggap sama, yakni bermakna jenis kelamin manusia yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, dan sifatnya mutlak harus diterima sebagaimana mestinya.[4] Namun, menurut mereka hal tersebut hanya terbatas pada pembagian manusia secara biologis yang didefinisikan sebagai seks,[5] sedangkan gender diberi definisi baru sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural. Dengan demikian gender—bagi mereka— merupakan konstruksi sosial yang bersifat tidak permanen dan dapat diubah. Bagi para feminis, konstruksi tradisional telah menempatkan perempuan pada posisi dan peran yang berada di bawah kuasa laki-laki. Sistem ini mereka sebut dengan sistem patriarkal.
Posisi perempuan yang menjadi subordinat laki-laki meniscayakan ketidakberdayaan perempuan dan mengurangi hak-hak mereka sebagai manusia. Pandangan itu dikukuhkan dalam pendapat religius[6] masyarakat Barat dan nyata dalam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Fenomenanya antara lain: ketiadaan hak bagi perempuan untuk mendapatkan warisan atau berpartisipasi dalam dunia politik. Singkatnya, perempuan hanya dipandang sebagai objek seksual dan aset domestik tanpa berkesempatan untuk turut serta dalam kehidupan publik. Tidak hanya di Barat, bahkan di Arab pada masa pra-Islam, perempuan dipandang lebih rendah lagi dengan munculnya perasaan terhina pada seorang ayah saat mendapatkan keturunan perempuan, dan kehormatannya dikembalikan dengan membunuh anaknya tersebut hidup-hidup.
Berangkat dari situasi tersebut, muncul gagasan dan gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang merupakan sejarah yang panjang[7] hingga pada sekitar abad XX, gerakan tersebut kemudian terkoordinasi pada level internasional dan menghasilkan susunan hak perempuan semacam “Bill of Rights” khusus bagi perempuan yang dikenal dengan CEDAW[8]. Instrumen ini dikatakan bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi[9] terhadap perempuan dan mewujudkan kesetaraan gender.
Term “kesetaraan gender” yang dapat disimpulkan sejauh ini bermakna meniadakan pembedaan yang dialami perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Kesetaraan yang ingin dicapai bersifat substantif, yakni kesetaraan yang digambarkan sebagai kesetaraan hakiki, bukan yang dipandang kesetaraan semu semisal hanya membuka kesempatan yang sama bagi perempuan, akan tetapi perlu diberikan dukungan untuk dapat meraih kesetaraan itu secara riil. Bila perlu diberi hak-hak khusus untuk meraih kesetaraan itu, contohnya hak khusus mengenai kuota anggota parlemen.
Pada perjalanannya, aspek yang diperjuangkan meluas dan tidak terbatas pada ranah sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi masuk ke dalam persoalan seksualitas dan permasalahan keluarga. Yakni, dimasukkannya tuntutan untuk memilih ekspresi seksual secara bebas, misalnya LGBT, atau kebolehan pasangan homoseksual mengadopsi anak, sebagai bentuk kesetaraan hak.
Demi meraih target kesetaraan tersebut, berbagai penghalang harus dihilangkan atau “disesuaikan”. Penghalang yang kuat biasanya muncul dari tradisi dan agama. Jika tidak dapat dilenyapkan, biasanya dibuat tafsir baru atas keyakinan yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat sehingga target-target kesetaraan gender tercapai. Karena itu tidak mengherankan ketika bermunculan studi-studi baru tentang agama yang menyertakan “sudut pandang kesetaraan gender”. Pada praktiknya, hal ini telah menghadirkan paham menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang sesungguhnya.[10]
Kesetaraan versus Keadilan
Di bagian awal tulisan ini disebut bahwa munculnya feminisme bermula dari penderitaan perempuan yang menderita akibat ketidakadilan sistem patriarkal. Hal menarik yang patut digarisbawahi adalah kecenderungan para feminis untuk melawan ketidakadilan tersebut dengan menawarkan bentuk ketidakadilan yang lain. Dapat dilihat dari definisi diskriminasi yang digunakan sebagai parameter, bahwa tujuan eksplisit dari perjuangan tersebut adalah untuk menyamakan perempuan dengan laki-laki; untuk membuat perempuan memiliki hak-hak yang sama seperti laki-laki. Pada kenyataannya, ketika perempuan berusaha untuk “have it all”, maka ia pun harus dapat “do it all”[11]. Padahal secara biologis terdapat perbedaan signifikan pada laki-laki dan perempuan yang berkontribusi pada perbedaan karakter dasar, kapasitas, dan keunggulan maupun kelemahan masing-masing. Penyamaan posisi dan peran laki-laki dan perempuan jelas menafikan semua itu dan merupakan bentuk ketidakadilan karena dua pihak yang berbeda kapasitas dan karakteristik dipaksa untuk menghadirkan performa yang sama bahkan berkompetisi menjadi yang terbaik.
Selain itu, ketika mengejar kesetaraan gender yang berpihak pada perempuan, pada saat yang sama para feminis melupakan adanya laki-laki yang juga menjadi korban ketidakadilan sistem sosial yang berlaku pada saat ini. Bukan hanya perempuan yang miskin; menjadi korban kriminal, pelecehan, bahkan KDRT.
Selain itu, konsep kesetaraan substantif yang diajukan juga menghadirkan keganjilan tersendiri. Dikatakan adil ketika menuntut kuota keterwakilan perempuan di parlemen sementara pada saat yang sama laki-laki dengan kapasitas tertentu yang dianggap memadai untuk lolos dibatasi dengan kuota yang ada. Mengapa tidak menerapkan sistem persaingan terbuka sehingga terbuka kesempatan yang adil bagi setiap orang? Kemudian, kala menuntut upah yang sama, pada saat yang sama para feminis juga menuntut hak-hak khusus bagi perempuan semacam cuti bulanan pada saat menstruasi dan tempat penitipan anak di tempat kerja. Dari hal-hal seperti ini, tampak jelas bahwa kesetaraan yang diimpikan tidak ada realitasnya. Karena pada saat perempuan didorong untuk mengejar kedudukan yang sama dengan laki-laki justru yang dihadirkan adalah bentuk ketidakadilan lain yang muncul dari hak-hak khusus yang dibutuhkan perempuan untuk mendukung aktivitasnya.
Konsep Keadilan Islam
Islam sebagai agama yang sesuai fitrah, menempatkan manusia, laki-laki dan perempuan sesuai dengan kadar masing-masing, diperhitungkan setiap amalnya tanpa pengecualian[12]— dan tidak ada yang lebih baik pengetahuannya terhadap hal tersebut kecuali Allah SWT, sang Khaliq—, tanpa memperlakukan salah satu lebih istimewa dari yang lain kecuali taqwanya.
Islam pun memandang laki-laki dan perempuan sebagai mitra[13] yang saling membantu satu sama lain dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah. Tidak dibenarkan yang satu menghamba pada yang lainnya. Karena itu salah besar tuduhan yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama misoginis karena memberikan kekuasaan besar di tangan laki-laki dan mendiskreditkan perempuan.
Kekuasaan bukanlah parameter keistimewaan seseorang. Islam memandang kekuasaan sebagai amanah dan tanggung jawab yang besar. Tidak dibebankannya suatu kuasa pada seseorang juga tidak serta merta merupakan bentuk penghinaan yang merendahkan posisinya. Karena itu ketika perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin dalam pemerintahan, bukan berarti merendahkan kedudukan dan martabatnya.
Sisi lain yang diserang dalam syari’at Islam adalah soal warisan perempuan yang dikatakan hanya separuh dari bagian laki-laki. Padahal dalam kenyataannya terdapat sejumlah perhitungan waris sebagai berikut: 1. hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki; 2. ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki; 3. ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki; 4. ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya.[14]
Permasalahan itu muncul karena dalam benak para feminis, harta termasuk parameter keistimewaan seseorang. Kepemilikan aset menjadi simbol kekuasaan, karena itu mereka memandang bebasnya perempuan dari kekangan patriarki adalah dengan jalan melepaskan diri dari ketergantungan secara ekonomi pada laki-laki. Padahal perlu ditekankan di sini bahwa unsur ekonomi bukan merupakan parameter kemuliaan seseorang. Tidaklah yang diberi kewajiban menafkahi otomatis lebih mulia dari yang dinafkahi; atau yang memiliki harta lebih banyak menjadi yang lebih tinggi derajatnya dari yang lainnya[15].
Selain itu, perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu sebagaimana laki-laki. Perempuan juga diperbolehkan keluar rumah dan beraktivitas dengan memenuhi beberapa kaidah. Juga berhak meriwayatkan hadis[16] dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah).
Hal-hal tersebut itu merupakan kondisi ideal sebagai bentuk keadilan dalam Islam yang dapat diraih muslimah. Karena itu muslimah tidak membutuhkan feminisme dan ide kesetaraan gendernya, karena mereka telah mulia dalam Islam. Kenyataan sosial saat ini yang menunjukkan terpuruknya muslimah sebagai korban sistem sosial yang ada hendaknya tidak menjadikan muslimah salah langkah dengan berharap pada feminisme sebagai solusinya. Akan hanya dapat diperbaiki dengan mengembalikan Islam pada posisinya sebagai pandangan hidup dan ideologi manusia sehingga syari’atnya tegak dan keadilannya dirasakan oleh semua orang.
Wallahu a’lam bishshawab.
[1] Disampaikan pada Kajian Muslimah Keputrian FKG UGM, 28 November 2014
[2] Menurut Susan Osborne, feminisme adalah cara melihat dunia (worldview) di mana perempuan melihatnya dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas perempuan melalui lembaga lembaga sosial, politik dan ekonomi.
[3] Para feminis yang mulanya menuntut hak-hak perempuan atas nama emansipasi, lalu mengembangkan konsep gender sekitar tahun 1970-an. Kemudian wacana gender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977. Sejak itu para feminis mengusung konsep gender equality atau kesetaraan gender sebagai mainstream gerakan mereka.
[4] Gender merupakan kosa kata baru yang belum ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada bahasa-bahasa lain kata tersebut lazimnya juga masih disamakan definisinya dengan seks.
[5] Seks merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris “sex” yang diterjemahkan sebagai jenis kelamin, yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian manusia secara biologis, yaitu lelaki atau wanita. Namun, dalam pemakaian sehari-hari oleh masyarakat Indonesia, kata ini disalahartikan sebagai hubungan badan. Lihat Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2004), h. 19.
[6] Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. (Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya).
[7] Gerakan feminis pada mulanya adalah gerak sekelompok aktivis perempuan Barat, misalnya Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton, yang memiliki surat kabar sendiri yaitu The Revolution. Kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk negara-negara muslim, melalui program “woman studies”. (Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat berperspektif Feminis, Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok, 2002, h.20)
[8] Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) seringkali dirujuk sebagai “Bill of Rights” bagi perempuan karena CEDAW secara khusus menargetkan promosi dan perlindungan terhadap hak asasi perempuan. Lebih jauh lagi, dinyatakan bahwa CEDAW menjanjikan upaya-upaya pemberdayaan perempuan untuk memastikan perempuan mendapatkan hak-haknya tersebut.
[9] Dalam Pasal 1 CEDAW, “diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (CEDAW, 1979:2).
[10] Contoh kasus, Amina Wadud yang mengimami shalat jama’ah yang terdiri atas pria dan wanita dengan alasan perempuan memiliki hak yang sama dalam ibadah.
[11] Zara Huda Faris “Do Women Need Feminism”, transkrip audio, Muslim Debate Initiative
[12] “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (Q.S Ali Imran: [195])
[13] Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kaum perempuan adalah mitra kaum laki-laki. (HR. Abu Dawud).
[14] Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, (Cairo: Nahdhah Misr, 1999), h. 10-11. Dalam Saiful Bahri, Kesetaraan Gender dan Desakralisasi Agama.
[15] “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisa: [34]). Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini bukan bermakna derajat, akan tetapi kapasitas. Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an menyatakan: “as God has given him the necessary qualities and training to undertake this task and assigned to him the duty of meeting the family’s living expenses.”
[16] M. Akram Nadwi. Muhaddhithat.