Oleh: Sarah Mantovani
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan adanya kasus sodomi terhadap anak TK usia 6 tahun di sebuah sekolah internasional di daerah Jakarta Selatan oleh pasangan sesama jenis, kemudian ada pula kasus Emon yang menyodomi ratusan anak sekolah di Sukabumi. Belum hilang ingatan kita akan kasus sodomi ini, seorang oknum perempuan yang diduga merupakan relawan HIV/AIDS terlihat oleh seorang warga Lhokseumawe sedang membagi-bagikan brosur vulgar pada siswa-siswi SMP dan SMA pada awal September lalu. Brosur vulgar tersebut selain berisi pencegahan agar tidak terkena HIV/AIDS, juga berisikan cara pemakaian kondom dengan benar.
Data dari Kemenkes pada bulan Juni 2014 menunjukkan, sebanyak 1.298 orang dengan perilaku penyimpangan seksual terkena AIDS dan jumlah terbanyak dialami oleh laki-laki dengan total 29.882 orang. Sementara itu, situs Tempo melansir pada tahun 2014 penderita HIV/AIDS dari golongan gay di Malang terus meningkat. Dari total populasi 4.500 golongan gay, sebanyak 102 terinfeksi HIV/AIDS. Pada Juli lalu sebanyak empat orang terdeteksi HIV/AIDS dalam voluntary counselling and testing (VCT). Jumlahnya meningkat dari sebelumnya, antara dua sampai empat orang per bulan.
Selain itu, beberapa tahun lalu terdapat laporan yang mengekspos kajian kedokteran di Amerika. Hasilnya mereka yang memiliki perilaku penyimpangan seksual lebih banyak terkena serangan bakteri ganas jenis baru yang menyerang zat antibiotik. Bakteri tersebut dikenal dengan nama bakteri pemakan daging manusia.
Lebih lanjut, Hisham Thalbah dan ilmuwan Islam yang menulis dalam Ensiklopedi Mukjizat Qur’an dan Hadits memaparkan, kajian ini menjelaskan bahwa radang yang timbul akibat dari penyakit ini disebut dengan radang bakteri staphylococcus aureus yang menyerang methicillin (penisilin semi sintetis). Istilah ini disingkat dengan sebutan bakteri MRSA, yaitu jenis bakteri yang menyerang hampir semua zat antibiotik di dalam tubuh.
Kemudian yang mengejutkan, pada beberapa tahun terakhir, jumlah orang yang meninggal di Amerika akibat bakteri ini lebih banyak prosentasenya daripada orang yang mati karena virus HIV/AIDS. Bakteri MRSA ini sangat mematikan dan bisa menyebabkan seseorang terkena penyakit radang paru-paru akut dan bernanah.
Selama ini, masyarakat kita selalu diperlihatkan penanganan HIV/AIDS dengan pemakaian kondom, selain dengan pemeriksaan ke dokter. Meminjam himbauan pada brosur vulgar yang dibagikan pada siswa-siswi SMP dan SMA di Lhokseumawe “Di luar banyak godaan, anak istri jangan sampai ketularan. Selalu pakai kondom dan periksa penyakit kelamin sekarang!”. Intinya, siapapun termasuk suami dan pasangan LGBT boleh melakukan seks asalkan pakai kondom, dengan kondom dijamin aman, dengan kondom pula penyakit menular seksual tidak akan berani datang. Namun, apakah dengan pemakaian kondom akan menghentikan perilaku penyimpangan seksual yang turut menyumbang angka pengidap HIV/AIDS?.
Tidak hanya itu, kampanye dukungan hubungan sesama jenis, ditambah dengan dihapusnya perilaku ini sebagai perilaku menyimpang dari kamus psikiatri Amerika pada tahun 1970, kemudian pernyataan menjadi seorang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan takdir Tuhan, bawaan sejak lahir dan tidak bisa disembuhkan sangat gencar dilakukan oleh para aktivis HAM Barat maupun pegiat LGBT.
Mengenai perilaku penyimpangan seksual yang tidak bisa disembuhkan, Allah pernah berfirman dalam Surat Al-An’am ayat 17, “Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan padamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendantangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Pun Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, bahwa Allah tidak menurunkan penyakit melainkan ada penawarnya.
Pakar Psikologi Internasional dari Sudan, Prof. Malik Badri dalam sebuah kuliah umum di sebuah kampus Islam Bogor yang diadakan dua tahun lalu juga telah membantah bahwa LGBT merupakan bawaan sejak lahir. Menurutnya, sebagaimana yang dilansir thisisgender.com, jika kita mengatakan bahwa LGBT merupakan bawaan sejak lahir berarti kita telah memvonis Tuhan tidak adil. Begitu pula dengan Psikiater, Prof. Dadang Hawari, dalam wawancaranya dengan wartawan Republika.co.id pada Juli 2013 lalu, mengatakan bahwa LGBT merupakan penyimpangan dan bisa disembuhkan karena bukan dari gen, melainkan dari pengaruh lingkungan.
Tentu, harus ada kesadaran dari pelaku untuk berubah dan mau disembuhkan. Cara penyembuhannya pun bukan dengan tetap mendukungnya melakukan hubungan sejenis dengan memberikan kondom, tetapi ia harus dibawa dan diterapi oleh psikiater, juga disembuhkan melalui pendekatan agama. Salah satunya seperti yang pernah terjadi pada Ferry, penderita depresi akibat narkotika dan mengidap homoseksual, ia dibawa oleh keluarganya ke klinik milik Prof. Dadang Hawari.
Seperti yang dilansir dari majalah Suara Hidayatullah edisi September 2012, selama tiga bulan, penuh Ferry menjalani terapi fisik dan psikis. Menurut Ketua Yayasan Madani Mental Health Care, Darmawan, 50 persen terapi menggunakan obat-obatan. Selain obat, Ferry juga menjalani konseling pribadi dan kelompok, diajari gaya hidup sehat, shalat lima waktu, dan diajak menonton film bersama, terutama film tentang HIV/AIDS, kemudian ia juga digembleng agamanya dan diajak untuk bermuhasabah. Hasilnya, setelah terapi tiga bulan, Ferry tidak senyum-senyum lagi ke sesama jenis dan ia mulai tertarik pada lawan jenis.
Tidak cukup sampai di situ, pendiri International Association of Muslim Psychologists, Prof. Malik Badri, juga mengungkapkan penderita pelaku penyimpangan seksual harus diterapi dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik, yang mendukung kesembuhannya dan harus dijauhkan dari komunitasnya. Namun yang paling terpenting dari semua itu ialah orang-orang terdekat, terutama keluarga harus berusaha membangun kesadarannya bahwa apa yang diperbuatnya salah tanpa menyudutkan, kemudian mereka juga harus menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku.
Sehingga pemakaian kondom bukan solusi paling efektif untuk mengurangi penyakit HIV/AIDS pada pelaku LGBT. Sebab, pemakaian kondom bukannya akan menyelesaikan masalah, melainkan malah mendatangkan masalah baru, perumpamaannya seperti peribahasa yang mengatakan “gali lubang, tutup lubang”.