Konsep Waris tidak Merendahkan Wanita

Oleh Moh. Hamdi*

 ThisisGender.Com-Salah satu topik yang menarik diperbincangkan dalam isu kesetaraan gender (gender equality) adalah hukum waris. Aktifis feminisme meyakini bahwa hukum waris tidak memihak perempuan. Hukum ini tidak adil karena laki-laki mendapatkan bagian yang lebih dibandingkan perempuan.

Dalam konteks hukum Islam, mereka menggugat hukum waris antara laki-laki dan wanita. Hukum waris harus diganti, kata mereka. Anggapan bahwa pembagian harta warisan bagi seorang anak laki-laki sebanding dengan dua orang anak perempuan merupakan sebuah kedzaliman terhadap perempuan. Amina Wadud Muhsin, seorang tokoh feminis, memandang bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel asal memenuhi asas manfa’at dan keadilan. Dengan demikian, bisa berubah sesuai realitas zaman. Namun pertanyaannya sekarang adalah benarkah demikian?

Sistem Pembagian Hak Waris dalam Islam

Untuk memperjelas suatu pemahaman, terlebih dahulu akan dikemukakan definisi tentang waris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia. Sesuatu yang diwariskannya itu, seperti harta dan nama baik disebut warisan. Kedua kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu waritsa, yaritsu wirâtsatan. Menurut Ibnu Faris dalam bukunya Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, akar kata waw ra tsa maknanya berkisar pada perpindahan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain, baik karena keturunan atau sebab lain.

Sesuatu yang dipindahkan/diwariskan itu dapat berbentuk materi seperti harta dan kerajaan, atau lainnya seperti ilmu, kebaikan atau kesalehan. Yang bersifat materi biasanya disebut dengan mîrâts atau turâts, dan yang bersifat nama baik disebut al-irts. Dalam QS. Al-Naml: 16 disebutkan Nabi Sulaiman mewarisi Nabi Daud (wawaritsa Sulaymânu Dâwûda), yaitu warisan yang berupa kenabian dan kerajaan, bukan berupa harta menurut sebagian ahli tafsir, sebab para nabi tidak mewariskan harta. Menurut sebagian lain, termasuk juga harta

Dalam Al-Qur`an kata yang terbentuk dari akar kata waratsa terulang sebanyak 35 kali. Al-Wârits adalah salah satu nama Allah yang terbaik (al-Asmâ al-Husnâ). Kata ini hanya ditemukan sekali dalam bentuk tunggal, yaitu dalam QS. Al-Baqarah: 233, dan lima kali dalam bentuk jamak. Tiga di antarnya menunjuk kepada Allah Subhânahu wata`âlâ, yaitu QS. Al-Hijr: 33, Al-Anbiya: 89 dan Al-Qashash: 58, dan dua lainnya menunjuk kepada manusia, yaitu Al-Mu`minun: 10 dan Al-Qashash: 5.

Imam Ghazali memahami kata al-Wârits dalam arti, “Dia yang kembali kepada-Nya kepemilikan, setelah kematian para pemilik”. Allah adalah al-Wârits yang mutlak, karena semua akan mati dan hanya Dia yang kekal abadi. Semua kekuasaan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Mu`min : 16). Oleh Nabi Zakaria, ketika berdoa agar dianugerahi keturunan, Allah disifati olehnya dengan Khayr al-Wâritsîn (sebaik-baik yang mewarisi) (QS. Al-Anbiyâ: 89). Dalam kehidupan dunia, Allah tidak hanya mewariskan bumi dan semua yang ada di atasnya (QS. Maryam : 40), serta seluruh alam raya (QS. Ali Imran : 180), tetapi juga pengajaran al-kitab / kitab suci (QS. Fathir : 32).

Demikian betapa luasnya cakupan makna waris dalam Al-Qur`an. Tentu bukan waris yang berupa ilmu, kebaikan atau kesalehan yang dimaksud dalam tulisan ini, tetapi hak-hak perempuan yang berupa peninggalan harta benda.

Salah satu ayat tentang pembagian waris yang selalu dijadikan alat probaganda untuk memojokkan Islam adalah ayat 12 surat An-Nisa’ (yushîkumullâh fî awlâdikum, li adz-dzakarayni mitslu hazzil untsayayni). Ayat ini dipandang bertentangan dengan prinsip persamaan dan keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh peradaban modern.

Menurut Shahrur, pemikir Liberal asal Syiria, firman Allah (li adz-dzakarayni mitslu hazzil untsayayni), menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali lipat jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki; dalam pengertian bahwa terdapat jumlah objektif (mawdu’i) bukan jumlah hipotesis (iftirâdi) untuk menyatakan jumlah satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah himpunan jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

[  1 laki-laki  + 2  perempuan ]

[  2 laki-laki  + 4  perempuan ]

[ 3 laki-laki   + 6 perempuan….dst. ]

Apabila jumlah perempuan lebih besar dari dua kali jumlah laki-laki, seperti seorang laki-laki dengan 3, 4, atau 5 perempuan dan seterusnya. Menurut  Shahrur, dalam hal ini berlaku firman Allah (fa in kunna nisâ’an fawqa itsnatayni fa lahunna tsulutsâ mâ taraka (maka jika mereka adalah lebih dari dua orang wanita, maka mereka mendapat dua pertiga dari apa yang ia tinggalkan). Dalam hal ini, jumlah perempuan berubah dan berganti dan jatah laki-laki tidak mencapai dua kali lipat jatah perempuan. Misalnya, jika kita tentukan jumlah harta warisan bagi empat anak, yang terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan, tentulah jatah laki-laki mencapai 33,33% dari harta tinggalan, dan jatah perempuan, masing-masing adalah 66,66% : 3 = 22,22%. jika kita tentukan, misalnya, harta waris bagi enam anak yang terdiri dari satu laki-laki dan lima perempuan, tentulah laki-laki mendapat jatah sebesar 33,33%, sedangkan jatah perempuan 66,66% : 5 = 13,33%.

Adapun jika seorang mayit meninggalkan hanya satu anak perempuan, maka ia mengambil setengah harta tinggalan dan setengah sisanya diambil laki-laki. Kata Shahrur, Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya : wa in kânat wâhidatan fa lahâ an nisfu (dan jika dia adalah satu orang perempuan, maka baginya separuh)

Pandangan-pandangan tersebut di atas, bertentangan dengan sistem waris dalam Islam. Dalam ajaran Islam, besar kecilnya bagian waris tidak ditentukan oleh jenis kelamin, baik itu laki-laki atau perempuan. Akan tetapi lebih ditentukan oleh beberapa faktor berikut ini:

  1. Tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) dan orang yang meninggal. Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar juga bagian warisan yang ia terima.
  2. Kedudukan tingkat generasi. Maka generasi muda dari kalangan pewaris yang masa depannya masih panjang terkadang memperoleh bagian warisan yang lebih besar dibanding generasi tua, tanpa memandang kelelakian atau kewanitaannya. Sebagai contoh, anak perempuan (bint) mendapatkan warisan yang lebih banyak dari ibunya atau ayahnya; anak laki-laki (ibn) mendapatkan warisan lebih banyak dari ayahnya.
  3. Tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Poin inilah yang terkadang membuahkan perbedaan bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, walaupun berada pada tingkat kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung nafkah istri dan keluarganya. Sedangkan anak perempuan tidak diberi tanggung jawab seperti laki-laki.

Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya Al-Mâwarits fî Asy-Syarî’ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitâb wa as-Sunnah mengatakan bahwa anak laki-laki menerima bagian lebih besar dua kali lipat dari pada anak perempuan adalah karena beberapa hal :

  1. Perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya.
  2. Perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya.
  3. Belanja laki-laki dan pengeluaran keungannya lebih besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
  4. Laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.
  5. Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami (laki-laki).

Kendati demikian, hak waris perempuan tidak selamanya lebih sedikit dari laki-laki. Sebaliknya dalam banyak hal, perempuan mendapatkan bagian harta waris lebih banyak dari laki-laki. Sebagaimana hasil penelitan Prof. Dr. Shalahuddin Sulthan, guru besar Syariah, Universitas Kairo, bahwa hanya dalam empat kasus saja perempuan mewarisi setengah bagian waris laki-laki. Sementara itu terdapat 30 kasus perempuan mendapat hak waris sama dengan laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki, atau perempuan mewarisi sementara laki-laki tidak. (Penjelasan lebih jauh baca: Shalahuddin Sulthan, Mîrâts al-Mar`ah wa Qadhiyyat al-Musâwât, Kairo : Nahdhat Mishr, 2004).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam hak waris antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat penindasan, diskriminasi, ketidakadilan ataupun “bias gender”, sebagaimana yang dituduhkan para feminis terhadap hukum Islam.

Adanya tuduhan bahwa dalam hak waris terdapat ketidakadilan atau kedzaliman itu lebih disebabkan  karena melihat perempuan secara individual, bukan sebagai bagian dari anggota keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang saling melengkapi. Pemikiran seperti ini disebabkan karena pengaruh peradaban Barat. Barat memandang manusia secara individualis; hanya melihat perempuan sebagai individu dan sebagai manusia. Lebih dari itu, peradaban Barat mengajarkan paham equality (kesetaraan) yang tidak melihat sisi kodrat dan fitrah wanita. Sedangkan Islam, meskipun mengakui sisi kemanusiaan perempuan dengan segala hak yang terkait dengannya, Islam tetap menghargai fitrah yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Karenanya Islam memperlakukan perempuan sebagai manusia dan sebagai pasangan laki-laki secara proporsional. Demikian pula yang terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum dan etika pergaulan.[]

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor

Telah dimuat di Majalah Gontor edisi Mei 2012

Red: Kholil

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.