Penulis: Henri Shalahudin
Belakangan ini komunitas pegiat seks menyimpang (LGBT) sedikit berbesar kepala. Pasalnya mereka mendapatkan pembelaan dari kalangan liberal. Para pelaku LGBT yang sebelumnya menyembunyikan jati dirinya di publik, kini malah semakin lantang menuntut hak kawin sejenis. Mereka tidak lagi terbebani dengan dosa terkutuk. Sebab sejumlah aktivis liberal telah meyakinkan mereka bahwa kedudukan LGBT hanyalah masalah khilafiyah dalam fiqh.
Perkara yang sebenarnya mutlak dilaknat ini telah direlatifkan menjadi masalah furu’iyyah (cabang) yang muncul dari keberagaman tafsir. Padahal al-Qur’an secara pasti menyebut kaum Nabi Luth sebagai kaum yang keterlaluan/berlebih-lebihan (musrifun), melampaui batas (‘adun), dan jahil. (lihat: QS. 7:81; QS. 26:166; QS. 27:55). Kata “israf” yang membentuk “musrifun” berarti perilaku yang melebihi batas kepatutan. Lawan katanya adalah “iqtisad” (sederhana).
Al-Qur’an mengisahkan bahwa kejahatan seksual kaum Nabi Luth adalah jenis kemungkaran baru yang belum dilakukan kaum sebelumnya. Oleh karena itu ia disebut “bid’ah al-ma’ashi” (jamak dari maksiat) yang melampaui batas akhir suatu tindak kejahatan. Oleh karena itu mereka juga digolongkan sebagai kaum yang jahil, karena telah menganggap baik sesuatu yang semestinya tercela.
Pembelaan Liberal
Setidaknya sejak tahun 2008, beberapa aktivis liberal telah menyuarakan pembelaan terhadap hak kaum LGBT. Mereka mengkampanyekan perlunya dekonstruksi tafsir terhadap ayat-ayat homoseksual. Inti alasannya antara lain:
(i) Meragukan azab yang menimpa kaum Nabi Luth sebagai fakta sejarah.
(ii) Mempertanyakan perilaku homoseksual sebagai penyebab tunggal turunnya azab, jika memang azab itu adalah fakta.
(iii) Membanding-bandingkan dengan umat Nabi Nuh dan umat terdahulu lainnya yang juga diazab, padahal mereka tidak melakukan homoseksual.
(iv) Membagi perilaku homoseksual yang dikutuk dan tidak. Menurut mereka homoseksual yang dikutuk apabila dilakukan dengan paksaan, gonta-ganti pasangan, adanya dominasi, kekerasan dan ketidaksetaraan. Hal ini tentunya tidak bisa disamakan jikalau dilakukan dengan kerelaan (‘an tarodhin), keadilan, kebebasan, tidak di bawah umur, dan cinta kasih (mawaddah).
(v) Adanya perbedaan hukuman di kalangan ulama fiqh.
(vi) Homoseksual dipandang sebagai takdir (faktor biologis).
(vii) Seksualitas dalam Islam lebih dipahami dari sisi unsur legalitas mendapatkan sebuah kenikmatan, bukan terletak pada pembedaan heteroseksual dan homoseksual.
(viii) Memfitnah ulama klasik yang diklaim membolehkan homoseksual, misalnya Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi. (Lebih lanjut silahkan lihat artikel SMM dalam Majalah Madina, edisi Mei 2008, dan artikel GR dalam JP 58, 2008).
Dengan argumen di atas, kumpulan liberal mendukung legalitas kawin sejenis. Mungkin logikanya daripada berzina atau berganti-ganti pasangan, lebih baik dikawinkan saja. Maka dicetuskanlah ide pandangan keislaman yang lebih akomodatif dan humanis terhadap kaum homo, mengingat realitas sosiologis sekarang dan dulu sudah banyak berbeda. Intinya, yang penting bertakwa dan ber-fastabiqul khairat, apa pun orientasi seksualnya. Konsekuensinya, mungkin akan diada-adakan istilah waria yang soleh, ahli zuhud yang homo, mujtahidah yang lesbian, dst., na’udzu billah. Sungguh sebuah logika yang terjungkal.
Argumen yang diulang-ulang ataukah plagiarisme?
Beberapa waktu lalu muncul lagi oknum liberal, sebut saja MS, yang membela LGBT dengan argumen yang nyaris sama persis dengan sebelumnya. Sayangnya, dia tidak menyebut rujukan para pendahulunya. Seolah-olah ide yang ditulisnya 100% murni darinya. Padahal tidak ada yang baru dalam artikelnya, kecuali hanya beda ungkapan bahasa dan ditambahi ungkapan yang bombastis, serta menambahkan nama ulama yang difitnah, yaitu Ibnu Hazm dan Syinqiti. Di situ Ibnu Hazm digambarkan seolah-olah tidak mempersalahkan perilaku homoseksual, karena tidak mengkaitkan azab dengan homoseksualitas, tetapi dengan kekafiran.
Tentunya, hal ini adalah fitnah yang keji. Sebab dalam kitab “al-Muhalla”, Ibnu Hazm menulis sebagai berikut:
“Anna al-rojma al-ladzi ashobahum lam yakun lil fahisyah wahdaha, lakin lil kufri wa laha. Fa lazimahum an la yarjumu man fa’ala fi’la qoumi Luth illa an yakuna kafiron”.
Dalam teks tersebut beliau menyatakan bahwa azab turun karena homoseksual dan kekafiran. Maka hukuman rajam menurut beliau hanya bisa dilakukan jika pelakunya (homoseksualitas, red.) adalah kafir. Lalu bagaimana kedudukan pelaku homoseks yang tidak kafir? Menurut Ibnu Hazm ia telah melakukan kemungkaran (annahu ata munkaron) yang harus dicegah dengan tangan (kekuatan/kekuasaan). Hukuman spesifiknya menurut beliau adalah ta’zir yang diserahkan kepada pihak berkuasa.
Selebihnya, artikel MS hanya bermain dalam kata-kata, seperti gagasan “mono-prophetic”. Dalam pendahuluan artikelnya dia juga sesumbar bahwa tulisannya dimaksudkan untuk meruntuhkan argumen tekstual (yakni ayat-ayat al-Qur’an) yang sering digunakan untuk menolak hak-hak kaum LGBT. Dengan runtuhnya argumen itu, dia berharap perkawinan sejenis harus dilegitimasi. MS cenderung menganggap jika kawin sejenis dilegalkan, maka hukuman bagi pelakunya otomatis gugur. Sebab dia berasumsi bahwa menurut tiga madzhab (Maliki, Syafi’i dan Hambali) bentuk hukuman pelaku homoseksual adalah seperti hukuman zina. Dengan asumsi ini, terkesan MS membangun spekulasi liarnya bahwa sodomi yang dilakukan dalam bingkai pernikahan tidak bisa dihukumi zina. Berdasarkan ini pula, dia membangun konsep kemaslahatan untuk perkawinan sejenis. Di luar kedangkalan logika argumentasinya di atas, sejatinya idenya ini persis dengan apa yang ditulis SMM tahun 2008.
Hampir sulit dipungkiri bahwa kebiasaan mencatut teks sepotong-sepotong, mengelirukan makna, mencomot nama ulama klasik dan mengulang-ulangi ide tanpa menyebut sumbernya akhir-akhir ini kerap menjangkiti kumpulan liberal. Terlebih jika sumber aslinya adalah sesama pegiat liberalisme lokal. Apakah ini ada kaitannya dengan berebut “rating” dan “making headlines” di kalangan internal mereka? Tentu hanya merekalah yang berhak menjawabnya.
Qasim Nurseha adalah di antara sarjana muda muslim yang membongkar kebiasaan kumpulan liberal mencatut nama-nama ulama semisal Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi untuk membenarkan pandangan mereka. Al-Tifasyi yang diklaim berpendapat, “al-sahq syahwah thabi’iyyah” (lesbianisme merupakan hasrat seksual yang normal), menurut Qasim sebenarnya hanyalah menceritakan pendapat sebagian orang dalam buku beliau: Nuzhat al-Albab fima la Yujad fi al-Kitab (hal 236). Lebih lanjut, al-Tifaysi sendiri mencatat pendapat-pendapat yang mencela lesbianisne dan menyebutnya sebagai abnormal. Sementara Fahmi Salim menjelaskan tentang ijtihad Ibnu Hazm, khususnya soal hukuman ta’zir bagi pelaku homoseksual, bukan hudud. Persoalannya hanya sebatas jenis hukuman, bukan pada keharamannya. Bahkan menurut Ibnu Hazm, orang yang menghalalkan homoseksual bisa tergolong kafir dan musyrik.
Tidak disebutkannya jenis hukuman atas suatu perbuatan tercela dalam al-Qur’an, bukan berarti keharamannya bisa diragukan. Memukul orang tua, meludahi anak tetangga, mengadu domba masyarakat, dan menggunjing, adalah di antara perbuatan tercela yang tidak dijelaskan hukumannya secara detail dalam al-Qur’an. Siapa pun tidak akan menghalalkan perilaku-perilaku di atas, gara-gara tidak menemukan jenis hukumannya dalam al-Qur’an. Sangat sulit dipercaya jika ada orang sehat yang mengkampanyekan hak menggunjing orang lain dengan dalih HAM, kemaslahatan atau tidak adanya kepastian jenis hukumannya dalam al-Qur’an. Demikian halnya dengan pembelaan terhadap LGBT.
Penutup
Berkembangnya tradisi seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan intellectual viruses dalam masyarakat awam. Alih-alih menumbuhkan semangat akademik dalam berwacana, kalangan liberal justru lebih tertarik menebar kontroversi dan mempermainkan emosi kalangan awam. Beberapa contoh argumen kaum liberal di atas, mengindikasikan adanya suatu ambisi yang dipaksakan, dan cenderung asal menolak sebuah fakta. Yakni fakta bahwa LGBT adalah perilaku terlaknat dalam al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.
Era kebebasan dan demokrasi tidak semestinya disalahpahami untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi penebar kemungkaran. Dalam hal ini, peran negara tidak boleh netral di antara hak dan batil. Apalagi membiarkan alur HAM dan kebebasan untuk melecehkan wibawa ilmu dan agama. Sebab tidak semua fakta sosial dalam masyarakat yang majemuk harus dilestarikan. “Nyatakanlah kebenaran, bukan membenarkan kenyataan”, demikian nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal sekitar 21 tahun silam.
Untuk para pegiat, pembela dan penyandang dana LGBT, Shaykh Hamza Yusuf dalam sebuah tausiyah beliau pernah menyampaikan sebuah puisi Mawlana Jalaluddin Rumi yang patut untuk direnungkan: “Come, come again..! Whatever you’ve done. This isn’t caravan of despair. Sinner, if you’ve broken your vows a thousand times, just come back. The door is open. And anybody that closes it is a shaytan… Because this world can defile you, but no matter how defiled you are, Allah’s door is open”.
Wallahu a’lam wa ahkam.
Bangkok, 29 February 2016
Hati2 dgn LGBT ,jeruk makan jeruk jd nya…