Dr. Dinar Dewi Kania
Peneliti Insists & Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), akhir-akhir ini terus menjadi sorotan publik, baik di media nasional maupun internasional. Penangkapan oleh pihak kepolisian terhadap 144 lelaki yang diduga melakukan perbuatan pornografi dan homoseksual, membuat para aktivis HAM kembali mengkritisi penegakkan HAM di Indonesia terkait hak-hak kaum homoseksual. Belum lagi pada pertengahan 2016 lalu, sejumlah akademisi dan aktivis keluarga yang diinisiasi oleh AILA Indonesia, mengajukan Judicial Review (JR) beberapa pasal kesusilaan yang mencakup perbuatan cabul sesama jenis. Pengajuan JR tersebut membuat para aktivis LGBT dan media Pro LGBT semakin meradang dan menganggap fenomena tersebut sebagai sinyal kebangkitan ekstrimisme Islam di Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di masyarakat, diskursus seputar LGBT sebenarnya mengerucut pada satu pertanyaan, “apakah perilaku LGBT merupakan perbuatan buruk/ salah?”. Pertanyaan tentang status moral perbuatan homoseksual termasuk dalam ranah filsafat moral atau etika normatif. Etika normatif terdiri dari 3 teori utama, yaitu Etika Keutamaan (virtue ethics), Utilitarianisme, dan Deontologi. Teori Etika Keutamaan (virtue ethics) dalam konsepsi al-Attas, sangat sesuai dengan konsep manusia beradab yang tertera pada sila ke -2 Pancasila. Menurutnya, terminologi adab memiliki akar pada tradisi Islam, yang bermakna perilaku yang benar yang timbul dari pengawalan diri sendiri berasaskan ilmu dan diperoleh dari kebijaksanaan (hikmah). Prinsip-prinsip etika atau moralitas yang benar, hanya bisa diperoleh ketika jiwa berhubungan dengan Allah swt, dalam bimbingan wahyu dan akal yang sehat (Al-Attas, 2013, 2015) .
Dengan menggunakan pendekatan Teori Keutamaan (virtue ethics), perilaku homoseksual merupakan tindakan yang tidak beradab karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seorang Homoseksual tidak bisa dikategorikan sebagai manusia beradab karena manusia beradab, kekuatan jiwa rasionalnya akan mengontrol kekuatan jiwa binantang (animal soul) yang terdapat pada diri manusia . Tindakan homoseksual merupakan refleksi dari ketidakseimbangan fakultas syahwat (hasrat) , sehingga aktivitas seksual tidak dapat lagi dikendalikan akal atau rasio. Perilaku homoseksual juga merupakan bentuk kezaliman kepada diri sendiri karena manusia telah diberikan pengetahuan dan petunjuk oleh Tuhan, agar mampu membedakan benar dan salah. Konsep kezaliman terhadap diri sendiri ini, merupakan ciri khas etika Islam yang tidak ditemui dalam etika Barat sekuler .
Apabila kita menggunakan perspektif Utilitarianisme, perilaku homoseksual juga dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak bermoral. Utilitarianisme menganggap sebuah kebaikan adalah apa yang memberikan manfaat terbesar bagi orang banyak (the greatest good of the greatest number). Perilaku homoseksual merupakan merupakan perilaku berbahaya yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Fakta-fakta empirik menunjukan bahwa homoseksual merupakan perilaku seksual yang paling beresiko tertular HIV-Aids dan penyakit kelamin lainnya. Penyakit HIV-Aids ditemukan pertama kali pada kelompok Homoseksual di Amerika dan saat ini bermunculan berbagai jenis penyakit kelamin mematikan yang hanya ditemui pada kelompok homoseksual. Meskipun fakta tersebut diakui oleh World Health Organizations (WHO), namun tidak menyurutkan Negara-negara Barat untuk mempromosikan LGBT ke seluruh dunia. Sejak tahun 1973, perilaku homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai perilaku abnormal oleh Asosiasi Psikiatri Amerika (APA). Mereka berargumen bahwa orientasi seksual adalah ‘given’ dan tak bisa diubah. Padahal gen homoseksual (gay-gene ) dan konsep gender ke-3 merupakan konsep pseudo-ilmiah yang sudah banyak ditentang oleh para saintis yang masih memiliki moralitas.
Bahkan apabila kita “terpaksa” menggunakan kacamata etika kaum subjektivis (relativisme), perilaku homoseksual tetap saja tidak bisa dilegalkan di Indonesia. Pihak Barat tidak boleh memaksa suatu Negara untuk mengakui hak-hak homosekual karena menurut etika relativisme budaya (cultural relativism), benar atau salah sangat bergantung kepada budaya di mana tindakan tersebut dilakukan. Nilai-nilai agama dan budaya di Indonesia secara umum menolak homoseksual. Meskipun aktivitas homoseksual ditemukan di beberapa kelompok masyarakat, namun hal tersebut tidak menujukkan penerimaan mayoritas masyarakat Indonesia terhadap penyimpangan tersebut.
Apabila kita membaca sejarah kebudayaan Barat , perilaku homoseksual tidak pernah diterima oleh masyarakat Barat sebelum adanya proganda homo politics pada abad 20. Barat selama ratusan tahun memiliki anti-sodomy law yang terkenal dengan Code of Justinian dan Act of 25 Henry VIII. Bahkan menurut Adonis dalam bukunya Homosexuality in ancient Greece (2004), perilaku homoseksual bukan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat Yunani kuno secara umum, meskipun selama ini Barat mencitrakan sebaliknya. Bukti-bukti sejarah menunjukan bahwa perilaku homoseksual sangat identik dengan pedofilia karena mereka cendrung menyasar anak dan remaja laki-laki. Masyarakat Yunani kuno di Kota Athena, memiliki hukuman yang tegas terhadap pelaku homoseksual, bahkan dalam beberapa kasus pelaku homoseksual akan diganjar dengan hukuman mati.
Satu-satunya argumentasi “favorit” pendukung LGBT adalah Teori Hak yang merupakan turunan dari Teori Deontologi. Teori ini menjadi dasar lahirnya konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep HAM sendiri tidak bisa dilepaskan dari agama, karena dari manakah hak tersebut berasal jika bukan Tuhan yang menganugrahkan kepada manusia ? Dan secara umum, seluruh agama mengharamkan perilaku homoseksual, kecuali agamawan yang sudah berpandangan liberal. Teori HAM juga tidak tunggal, namun ada yang bersifat universal dan ada yang partikular, bergantung pada situasi dan kondisi negara masing-masing. Hak asasi menurut perspektif HAM bukanlah hak yang an sich namun disertai dengan kewajiban atau tanggung jawab sosial.
Saat ini, mereka yang menolak LGBT, dianggap sebagai orang–orang fanatik yang tidak rasional dan sok moralis. Namun kenyataannya, argumentasi para pendukung LGBT tidak memiliki landasan filosofis, empiris, historis apalagi teologis. Gerakan pendukung homoseksual di Barat semakin gencar di era 1960 dan 1970-an seiring dengan penghapusan anti-sodomy law yang selama ribuan tahun telah mengkriminalisasi aktivitas homoseksual . Homoseksual sejak kemunculannya di berbagai belahan dunia, telah dianggap sebagai penyimpangan seksual karena bertentangan dengan moralitas dan agama. Namun sayang di zaman postmodern ini, moralitas dan agama dipaksa tunduk pada argumentasi pseudo-ilmiah dan propaganda kaum anti-moral. Sehingga apabila kita tidak melakukan upaya strategis untuk membendung gerakan tersebut, maka kita akan menyaksikan keruntuhan peradaban manusia. Wallahualam.
Artikel ini pernah dimuat dalam rubrik opini Koran Republika.