Lima Langkah Membina Keluarga Istiqamah

Oleh: Kholili Hasib

Allah swt memberi perhatian penting terhadap institusi keluarga. Orang-orang beriman diperintah secara khusus dalam al-Qur’an untuk menjadikan rumah mereka sebagai ‘rumah tangga surga’. Menjaga dari jerat-jerat api neraka.

Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dank eras, yang tidak durhaka kepada Allah swt terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkannya” (QS. Al-Tahrim: 6).

Ibn Kastir menjelaskan ayat tersebut mengandung dua perintah utama dalam membina keluarga, yaitu dengan ta’at kepada Allah swt dan takut terhadap maksiat kepada-Nya.

Rumah yang penghuninya ta’at kepada Allah swt dan taqwa kepada-Nya merupakan potret rumah tangga surga, rumah tangga yang istiqamah. Rumahnya selalu terjaga berkat rahmat-Nya.

Dalam ayat tersebut seruan Allah ditujukan kepada orang-orang beriman. Ayat ini menunjukkan, jika kita sudah menyatakan diri sebagai mu’min, maka harusnya keluarga yang ia diami istiqamah di jalan-Nya.

Menjadi kepala keluarga yang beriman atau ibu rumah tangga yang mu’minah tidak diperkenankan mendiamkan jika ada jerat-jerat kemaksiatan memasuki rumah tangganya.

Kini jerat-jerat kemasiatan sangat mudah masuk ke dalam rumah. Tayangan televisi menyajikan aneka program yang tidak semuanya baik diakses anggota keluarga. Media-media elektronik juga terkadang tidak mudah dikontrol penggunaannya. Sehingga kepala rumah tangga wajib mengontrol penggunaan.

Kesyirikan, pornografi, kesesatan pemikiran dan lainnya mudah sekali masuk ke dalam rumah tanpa kita sadari jika penggunaan media-media itu tak terkontrol dengan baik.

Untuk membentuk rumah tangga istiqamah, pertama-pertama kita harus perbaiki diri kita sendiri terlebih dahulu. Ayat tersebut di atas di awali dengan kata “Quu anfusakum” (jagalah diri kamu), yang menunjukkan sebelum menjaga kelurga, upayakan diri kita menjadi contoh pribadi takwa yang menjaga dari api neraka.

Setelah itu, dapat kita melaksanakan beberapa cara menjaga keluarga dari api neraka;

Pertama, Menta’dib anggota keluarga secara kontinyu. Setiap kali usai shalat berjamaah sempatkan memberi pencerahan kepada anak. Membacakan satu ayat, satu hadis, atau satu fatwa ulama’ kemudian dengan sedikit penjelasan itu sudah cukup. Jika ilmu kita belum mampu menta’dib, panggillah sesekali ulama’ atau ustadz untuk memberikan tausiyah. Lebih utama lagi bersama-sama ikut mengaji ke majelis-majelis ilmu.

Kedua, selalu mengajak shalat berjamaah bersama-sama. Ketika ada waktu, kita wajib sempatkan berjamaah bersama keluarga. Shalat yang dilakukan berjamaah biasanya menciptakan suasana teduh, tenang dan hangat. Ini merupakan buah dari rahmat Allah. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama’ dahulu, rahmat Allah itu turun terutama saat mengikuti majelis ilmu dan shalat berjamaah. Tanda jika rahmat-Nya turun, hati kita menjadi lebih tenang. Dengan cara ini serumit apapun persoalan keluarga dapat mendinginkan kepala kita.

Ketiga, Jangan sekali mengeluarkan umpatan kepada anggota lain. Allah swt berfirman, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela” (QS. Al-Humazah:1). Membiarkan anggota saling mengumpat sama saja menyulut api yang bisa membakar rumah tangga. Pengumpat adalah karakter jiwa orang yang kosong dari keimanan. Allah swt mengancam orang-orang yang gemar mengumpat dengan memasukk ke dalam neraka Huthamah. Umpatan memicu permusuhan antar anggota keluarga. Maka Rasulullah saw memberi petunjuk, berkatalah dengan kata-kata baik atau diam saja.

Keempat, Jangan sekali-kali menafkahi dengan harta yang haram, sebab daging yang tumbuh dari harta haram akan mendorong anggota tubuh itu untuk berbuat haram. Rasulullah saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dalam tubuh yang berasal dari sesuatu yang haram, maka nerakahlah lebih berhak untuk menjadi tempat tinggalnya” (HR. al-Tabrani).

Kelima, Husnudzan kepada anggota keluarga. Orang yang husnudzan melihat persoalan dengan hati bijak, cerdas dan tidak melahirkan masalah lain. Sebaliknya su’udzan selalu melihat persoalan dengan kacamata kebencian. Sedikit saja ada soal, penyelesaiannya dengan emosi. Jika sudah emosi, pasti setan akan berperan mengadu domba. Rasulullah saw bersabda: “Jauhilah perasangka buruk. Sebab, sesungguhnya perasangka itu ucapan yang paling dusta” (HR. Muslim). Jika ada orang menyebar fitnah, maka hati-hatilah. Allah berifirman “Wahai orang-orang yang beriman, Jika sesesorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakan suatu kaum karena kebodohan” (QS. Al-Hujarat: 6).

Walhasil, keluarga istiqamah adalah kelaurga yang menjadikan ta’at dan taqwa kepada Allah swt sebagai pondasi utama. Menjadikan syariat sebagai solusi utama terhadap segala persoalan yang menimpa. Inilah potret rumah tangga surga, jauh dari apa neraka.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.