Oleh: Ayu Arba Zaman [1]
Setelah pada periode lalu (2014-2019) DPR RI resmi memutuskan untuk tidak mengesahkan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masih harus tetap dibahas. Hal ini dikarenakan DPR RI periode baru (2019-2024) resmi telah menetapkan RUU P-KS menjadi Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2020. Pertanyaan-pertanyaan kemudian bermunculan, berkaitan dengan alasan mengapa DPR kembali menetapkan RUU tersebut menjadi Prolegnas setelah sebelumnya terjadi penolakan dan kritik dari masyarakat.
Materialisme dalam Relasi Kuasa/Relasi Gender
Naskah Akademik RUU P-KS menjelaskan bahwa teori hukum yang digunakan ialah feminist legal theory yang merupakan kerangka kerja hukum yang berperspektif perempuan. Dari paradigma yang digunakan tersebut, selanjutnya, yang perlu diperhatikan di dalam RUU P-KS yaitu perumusan definisi yang merepresentasikan cara pandang atau paradigma individu atau kelompok dalam melihat realitas yang mengelilinginya—dalam hal ini kekerasan seksual yang beragam—sebagai sebuah fenomena yang perlu direspon. Kekerasan Seksual didefinisikan sebagai;
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Dalam definsi disebutkan bahwa sebab-sebab tubuh, hasrat seksual dan fungsi reproduksi diperlakukan secara paksa atau di luar kehendak individu ialah relasi kuasa dan/atau relasi gender. Masuknya frasa relasi kuasa atau relasi gender tersebut berangkat dari hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Penggagas RUU membaca bahwa penyebab terjadinya kekerasan seksual, khususnya pada perempuan, bukan perkara nafsu dan seks belaka—yang dianggap sering mengkambinghitamkan korban dengan alasan situasi dan kondisi korban yang mengundang terjadinya kekerasan—melainkan adanya keinginan pelaku untuk mendominasi atau menguasai korban.
Perempuan yang terlibat dalam praktik pelacuran, mengalami incest akibat sempitnya kondisi rumah dipandang sebagai korban kekerasan negara yang berkuasa dan mendukung akumulasi kapital korporasi yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemiskinan perempuan. Bentuk lain yang dinilai sebagai suatu bentuk penguasaan kelompok/individu terhadap perempuan yang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah tindak kekerasan seksual ialah misalnya Kawin Cina Buta yang terjadi di Provinsi Aceh, Kawin Lily di Nusa Tenggara Timur. Semuanya itu terjadi—menurut definisi Kekerasan Seksual dalam RUU P-KS—karena adanya relasi kuasa/relasi gender.
Nalar demikian berangkat dari pemikiran materialisme Engels yang menyimpulkan bahwa dunia ini bekerja karena suatu konstruksi sistematis yang membentuknya. Ia bersifat relatif dan akan terus berubah. Sejak runtuhnya rezim mother-right gens yang memakmurkan perempuan melalui garis keturunan ibu dalam tradisi kawin Punaluan, rezim laki-laki kini berbalik menguasai karena sebuah evolusi dalam sistem perkawinan. Selanjutnya, kesimpulan Engels tersebut dianalisis Marx dengan menggunakan teori relasi internal Hegel yang kemudian membuat Marx melihat esensi dari suatu entitas selalu mengkondisikan dengan relasi-relasinya. Di dalam relasi-relasi tersebut akan terbentuk pola berdasarkan kepemilikan satu kepada yang lainnya. Maka akan selalu ada subjek yang memiliki objek serta pembagian kerja di antara keduanya.
Dalam konteks RUU P-KS, esensi perempuan dikondisikan relasinya dengan laki-laki sebagai entitas yang memiliki interaksi dengannya dalam tatanan sosial. Melihat latar belakang yang diceritakan Engels dan analisis Marx, berbaliknya kekuasaan perempuan kepada laki-laki yang mana kontruksi sistem budaya berdiri sebagai terdakwa di antara keduanya, meneguhkan berbagai opini selanjutnya kepada pemikir dan gerakan-gerakan yang kemudian lahir, yakni penempatan perempuan dan laki-laki sebagai oposisi biner; subjek-objek, ordinasi-sub ordinasi, pemimpin-hamba, superior-inferior, aktif-pasif, publik-privat. Demikian konsekuensi yang dihasilkan jika pisau materialisme Marx digunakan dalam melihat fenomena yang di dalamnya terdapat perbedaan, ia akan dinilai sebagai ketimpangan dan ketidaksetaraan.
Ancaman Institusi Pernikahan dan Keluarga
Ide di atas kemudian terafirmasi di dalam RUU P-KS dengan masuknya frasa relasi kuasa dan relasi gender di mana di dalamnya sudah tentu menyinggung tentang peran laki-laki dan perempuan berkenaan dengan hubungan keduanya, serta sebuah konsekuensi diperluasnya makna perkosaan di dalam RUU. Hal ini akan membentuk tatanan baru dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, pernikahan—di mana ia merupakan manifestasi bentuk relasi laki-laki dan perempuan yang sah secara hukum agama dan hukum negara, secara implikatif ikut terseret dan dimaknai sebagai institusi yang dianggap menjadi sumber kekerasan. Konsep pernikahan yang telah mapan akan dibongkar. Hal demikian telah kita kenali dengan munculnya istilah marital rape atau perkosaan dalam pernikahan.
Konsep rape yang utamanya didefinisikan sebagai kejahatan karena bertentangan dengan kehendak individu, ditarik ke dalam suatu institusi yang memiliki konsep tersendiri yang telah mapan, yakni pernikahan. Maka dalam hal ini, ada atau tidaknya hak seseorang untuk melakukan seks dengan suami/istrinya, hanya berporos pada kehendak individu suami/istri tersebut terlepas dari status pernikahannya.
Dalam Islam, pernikahan memiliki konsep tentang hak dan kewajiban berkenaan dengan hubungan seks suami dan istri, di mana keduanya itu saling berkelindan. Hak diri dibatasi kewajiban diri atas pasangan, kewajiban diri dipenuhi untuk hak pasangan. Suami/istri memiliki hak atas seks karena pernikahan menghalalkan keduanya. Namun demikian, hak itu dibatasi dengan kewajiban yang juga harus dipenuhi, yakni suami atau istri diharamkan meminta haknya dengan cara yang tidak makruf seperti melakukan hubungan seks dengan memukul (masokisme), bukan pada tempatnya (oral, sodomi), dan pada saat istri nifas atau haid. Dalam konsep ini, kehendak individu tidak semata-mata dijadikan poros. Kewajiban suami melayani karena ada hak istri di dalamnya, begitupun sebaliknya. Oleh karenanya, umpamanya terjadi keengganan yang tidak syar’i dari salah satunya untuk memenuhi kewajibannya, hal itu tidak menghilangkan hak atas seks dari salah satunya. Dalam pembacaan RUU P-KS—di mana karakteristik RUU ini bersifat kuratif, konsep pernikahan yang bersifat preventif di atas kecil kemungkinan memperoleh tempat untuk dipertimbangkan, oleh karenanya muncullah istilah marital rape tersebut, hal ini karena fenomena yang terjadi dibaca secara materialistis ala Marx; relasi kuasalah yang menciptakan kejahatan.
Padahal hakikatnya, kejahatan terjadi karena dua faktor, yaitu dari internal manusia; nafsu, dan eksternal; godaan iblis. Oleh karenanya ia bisa terjadi kepada manusia manapun, tidak mengenal jenis kelamin, peran, ataupun kekuasaan yang diempunya. Mereka yang tidak dapat mengendalikan nafsunya akan melakukan perbuatan dzalim (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya), tindak pemerkosaan adalah salah satu di antaranya. Dan keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Perlindungan yang diperlukanpun tidak hanya bersifat kuratif melainkan preventif.
Ketahanan Keluarga dalam Islam
Ibnu Katsir mengutip sebuah hadits shahih dari Jabir dalam Kitab Shahih Muslim, dikatakan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil perempuan dari orang tuanya untuk dinikahi, berarti dia telah melakukan perjanjian atas nama Allah sebagaimana Dia telah menghalalkannya dengan kalimat Allah.
Berkenaan hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang telah dibahas di atas, hal tersebut tidak beralasan hanya semata berbalas materi dari apa yang telah diberikan antara keduanya, melainkan ada sebuah pembingkaian agung, yakni mitsaqan ghalizan. Oleh karenanya, segala bentuk pemberian hak terhadap pasangan, dan pelaksanaan kewajiban untuk pasangan adalah untuk sesuatu yang besar, berlepas dari segala bentuk penghambaan kepada materi; beribadah kepada Rabb.
Materialisme Marx yang juga telah kita bahas, tidak akan mampu mencapai aspek metafisis itu karena mengukur relasi manusia dengan manusia lainnya hanya terbatas pada apa yang zahir di antara keduanya, yang kemudian menciptakan kompetisi yang juga materialistis, duniawi dan bersifat sementara di antara keduanya. Sedangkan Allah menilai peran laki-laki dan perempuan di dalam hubungan antara keduanya berdasarkan bagaimana keduanya berlomba dalam kebaikan dan bertakwa. Oleh karenanya, dalam konteks pernikahan dan kaitannya dengan membangun keluarga, takwa dengan memahami hak dan kewajiban serta peran antara suami maupun istri adalah wajib hukumnya. Sebab terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah terkomposisi oleh relasi yang baik, kerjasama bukan semata sama-sama kerja. Inilah konsep yang mengenalkan pernikahan dan keluarga tidak hanya sebatas canda dan tangis karena salah satu darinya menyakiti, bukan pula yang hanya mengenalkan kemesraan dan cekcok karena satu di antaranya tidak memperoleh akses publik. Sebuah konsep yang tiada bisa dicari dalam tesis-tesis Marx yang fenomenal itu; Barakah. Wallahu a’lam bisshawab.*
Daftar Pustaka
- Naskah Akademik RUU P-KS
- Andrew Halpin. 2004. Definition in the Criminal Law. USA and Canada: Hart Publishing
- Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
- Magdaleneid, Mitos dan Fakta Pemerkosaan.
- Stevi Jackson. 2009. Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
- Rosemarie Putnam Tong. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra
- Ratna Batara Munti. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas Di Era Global. Yogyakarta: LKiS
- Michael Foucault. Disiplin Tubuh
- Michael Foucault. 2000. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
- Mark Vernon. Post-Skriptum “Aku Bukanlah Aku”: Foucault, Asketisisme Kristen, dan “Jalan Keluar” dari Seksualitas dalam Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wacana Terpilih Foucault. 1999. Yogyakarta: Jalasutra
- Thisisgender. Marital Rape.
- Kania, dkk. Delusi Kesetaraan Gender. Jakarta: Yayasan AILA Indonesia
- Megawangi. Membiarkan Berbeda. Bandung: Penerbit Mizan
- Muslih. Bangunan Wacana Gender. Ponorogo: CIOS Gontor
- Salim A. Fillah. Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: Pro U-Media
[1] Peneliti Centre for Gender Studies, Divisi Kajian dan Hukum AILA Indonesia, Alumni Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati dan Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor.