Miskonsepsi Kekerasan Seksual

 Oleh: Helmi Al Djufri*

Pada tahun 2016-2019 masyarakat Indonesia disibukkan dengan adanya Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Kontroversi tersebut bersumber dari pemahaman ideologis dan paradigmatik konsep kekerasan seksual di dalam naskah akademik dan rancangan undang-undangnya. Walaupun saat ini RUU P-KS sudah tidak dilanjutkan pembahasannya karena berisi pasal-pasal kontroversial dan bertentangan dengan Pancasila serta nilai-nilai Ketuhanan, tetapi secara semangat ideologis, konsep dan paradigma kekerasan seksual yang ada dalam RUU P-KS selalu digaungkan di media sosial, terutama jika ada kasus pelecehan seksual. Penulis sangat tertarik menyoroti diskursus yang dikemukanan berbagai pihak; baik yang pro maupun yang kontra. Dalam hal ini penulis akan memberikan pandangan secara teori,  normatif maupun praktiknya.

KRITIK PARADIGMA RUU P-KS

Paradigma kekerasan seksual sebagaimana dapat ditemukan dalam draft awal RUU P-KS (sebelum direvisi), yang mendefinisikan sebagai berikut:

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.

Dari definisi tersebut, kemudian dijabarkan terdiri dari 9 bentuk kekerasan seksual, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 ayat (2):

  • Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. pelecehan seksual;
  2. eksploitasi seksual;
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan aborsi;
  5. perkosaan;
  6. pemaksaan perkawinan;
  7. pemaksaan pelacuran;
  8. perbudakan seksual; dan/atau
  9. penyiksaan seksual.

Dalam draft terakhir Pasal 11 ayat (2) ini pun sudah mengalami perubahan dengan menghapus beberapa bentuk kekerasan seksual, Penulis tetap mengkritisi draft pertama sebagai rujukan pada tulisan ini, karena menurut penulis draft pertama merupakan draft orisinil dari para penyusunnya, dan kehendak dari adanya RUU P-KS tersebut juga dapat mudah dipetakan, sehingga kritik terhadap gagasan maupun paradigmanya dapat dibaca secara teoritik, normatif maupun secara praktik.

Definisi maupun sembilan bentuk kekerasan seksual tersebut didasari pada praktik empiris atau masalah faktual yang kebanyakan dialami kaum perempuan, hal ini dapat ditemukan dalam naskah akademiknya halaman 34-44.

Naskah akademik dan RUU P-KS nya tidak menguraikan bentuk kekerasan seksual tersebut sebagai konsep kejahatan seksual. Sehingga muatan substansinya berperspektif perempuan, tidak berperspektif objektif dan normatif. Secara objektif, kejahatan seksual banyak juga dilakukan oleh perempuan, bukan saja laki-laki, seperti kasus perkosaan; ada juga perempuan yang memerkosa laki-laki, ada juga kasus homoseksual memerkosa orang lain yang sejenis. Sedangkan  hubungan seks bebas yang lebih dominan telah menjadi realitas sosial masyarakat tidak disinggung sedikitpun dalam naskah akademik dan RUU nya.

Secara normatif, bentuk hubungan seksual itu termasuk dalam kategori kejahatan. Maka, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai yang dianut masyarakat adat, sepatutnya menjadi sumber nilai dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan seksual. Bukan bersumber dari laporan dan pengaduan masyarakat khususnya perempuan ke Komnas Perempuan atau Forum Pengada Layanan. Hal ini mengaburkan konsep kejahatan seksual yang sebenarnya. Karena itu paradigma yang digunakan dalam RUU P-KS cenderung tendensius dan bernuansa emosional (perasaan), bukan bertujuan untuk membangun peradaban mulia dengan cara mencegah terjadinya hubungan seks bebas dan penyimpangan seksual. Penulis secara tegas mendasarkan pandangannya secara teoritik hukum pidana dalam bahasan berikutnya.

TEORI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

Menurut Utrecht (1994: 82-83) KUHPidana membagi delik-delik (peristiwa pidana) itu dalam: kejahatan (misdrijf) dan pelanggaran (overtreding). Menurut Memorie van Toelichting (KUHP) pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarakan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechts delict) dan apa yang disebut delik undang-undang (wets delict).

Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas daripada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana. Oleh sebab itu, maka termasuk azas-azas hukum positif itu jugalah azas-azas hukum yang tidak dicantumkan secara tegas dalam undang-undang pidana. Dengan kata lain: termasuk azas-azas tersebut jugalah perbuatan-perbuatan yang dapat disebut strafwaardig (bukan strafbaar), yaitu perbuatan-perbuatan yang seharusnya dikenai hukuman tetapi undang-undang pidana tidak menyebutnya sebagai delik.

Contoh: permohonan pengujian undang-undang terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, dalam kesadaran hukum masyarakat bahwa zina adalah dilarang menurut agama, adat dan moral Pancasila, pemohon meminta agar makna zina diperluas, tidak terbatas atau menjadi suatu sarat perbuatan pidana yang pelakunya salah satunya terikat perkawinan. Dasar pemikiran pemohon sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung, makna zina yang diperluas oleh Mahkamah Agung sebagaimana Yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1976 tanggal 19-11-1977 dinyatakan: “Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai bandingannya dengan KUHP. Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan oleh Pasal 281 KUHP ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP”. Begitupun dengan  perbuatan cabul, pemohon meminta agar perbuatan cabul dengan anak bukan menjadi suatu sarat perbuatan pidana, melainkan cabul dengan sesama orang dewasa pun merupakan kejahatan yang harus diatur dalam KUHP. (pen.) 

Yang dimaksud dengan delik undang-undang (wets delict) itulah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat.

Contoh: undang-undang lalu lintas, yang menentukan berbagai sarat pengemudi dapat mengendarai kendaraannya di jalanan harus memenuhi ketentuan undang-undang; memakai helm, menyalakan lampu besar, memiliki dua kaca spion, memiliki SIM, STNK, dan sebagainya. Orang yang melanggar salah satu ketentuan tersebut disebut sebagai pelanggaran (wets delict), bukan kejahatan (rechts delict). Sebagai misal, di wilayah Bali penggunaan simbol agama untuk penutup kepala (peci/ songkok, atau ikat kepala untuk ibadah orang Hindu) sebagai pengganti helm dapat dibolehkan oleh penegak hukum karena menghargai nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat, dan orang yang tidak memiliki SIM atau tidak terdapat dua kaca spion di motornya tidaklah dapat dikatakan sebagai pengendara yang jahat, karena pelanggaran atas hal tersebut tidaklah melanggar norma agama, adat atau nilai-nilai sakral yang diyakini oleh masyarakat. (pen.)

Menurut Gewin (1913) sebagaimana dikutip Utrecht (1994: 89) ia melihat kejahatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan, sedangkan pelanggaran lebih boleh dilihat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum (publik) yang dibuat manusia.

Pembagian delik pada kejahatan dan pelanggaran sudah ada sejak abad pertengahan, yang terkenal juga pembagian delik dalam Freidensbruche dan Rechsbruche. Dalam Rechsbruche dapat diadakan komposisi, yaitu hukuman dapat ditebus atau dibeli (afkoop) dengan membayar sejumlah uang. Dalam Islam hal ini dikenal dengan hukuman diyat (pen.). Pada abad ke-17 seorang ahli hukum bernama Carpzovius menurutnya, di Jerman, delik dapat dibagi dalam:

  1. Delicta atrocissima, yang dihukum dengan menjatuhkan hukuman mati istimewa (hukuman mati yang dijalankan secara paling keras) –hal ini mirip dengan hukum Islam mengenai hukuman rajam bagi pelaku zina yang terikat perkawinan (pen.)-
  2. Delicta atrocia, yang dihukum dengan menjatuhkan hukuman mati biasa atau hukuman badan (lijsstraffen).
  3. Delicta levia, yang dihukum dengan dengan menjatuhkan hukuman ringan.

(Utrecht, 1994: 85).

Menurut De Beccaria (1764) sebagaimana dikuti Utrecht (1994) seorang ahli kejahatan dan hukum pidana membagi kejahatan terdiri dari dua macam:

  1. Kejahatan ganas, yang ditujukan kepada jiwa manusia, dan
  2. Kejahatan biasa.

Dalam perundang-undangan hukum pidana di Negeri Perancis pada tahun 1971, delik dibagi dalam tiga macam: crimes, delits, contraventions. Pembagian delik ini kemudian diikuti juga di Jerman. Hukum pidana Jerman membagi delik itu dalam Verbrechen, Vergehen, dan Ueberttretungen. Perbedaan antara tiga macam delik ini dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan. (Utrecht, 1994: 85). Karena Code Penal berlaku juga di Negeri Belanda, maka sampai tahun 1886 terkenal juga pembagian delik dalam tiga macam tersebut, karena KUHPidana tahun 1866 dan KUHPidana tahun 1872 di Indonesia adalah tiruan dari Code Penal Perancis, yang sebelum tahun 1886 masih berlaku di Negeri Belanda, maka disini juga terkenal pembagian delik dalam tiga macam tersebut sampai tanggal 1 januari 1918, hukum pidana di Indonesia mengenal:

  1. Misdrijven (crimes)
  2. Wanbedrijven (delits)
  3. Overtredingen (contraventions).

Namun, pembagian delik ini dalam Code Penal Perancis hanyalah untuk menyesuaikan kekuasaan menghukum dengan hirarki badan-badan pengadilan di Negeri Perancis, tidak ada alasan hukum dan prinsipil atas pembagian ini. Atas pembagian itu, menurut Utrecht (1994: 87) bahwa pada hakekatnya setelah tahun 1915 di Indonesia tetap mengenal tiga macam pembagian delik, yaitu:

  1. Kejahatan,
  2. Kejahatan enteng,
  3. Pelanggaran

Lebih lanjut Utrecht (1994: 94) menjelaskan bahwa pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” seperti diadakan oleh KUHPidana itu menimbulkan beberapa akibat penting dalam hukum pidana positif. Dalam hal “kejahatan” maka harus dibuktikan adanya sengaja (opzet) atau kealpaan (culpa, schuld) pada pembuat delik, yakni dalam hal kejahatan maka dipersoalkan apakah pembuat delik melakukan perbuatannya dengan sengaja atau delik terjadi karena pembuat kurang berhati-hati (kurang teliti, lalai, onachtzaam), yang harus membuktikan adanya sengaja atau kealpaan itu Jaksa (dan Hakim).

Dalam hal pelanggaran biasanya ada sengaja atau kealpaan itu tidak perlu dibuktikan. Di sini sengaja atau kealpaan itu dianggap ada. untuk pembuktian pelanggaran Jaksa dibebaskan dari kewajiban membuktikan adanya sengaja atau kealpaan itu. Tetapi, apabila Terdakwa dapat membuktikan dirinya tidak bersalah maka ia dibebaskan dari hukuman. Azas ini terkenal dengan rumus “tiada hukuman dengan tiada kesalahan” (geen straf zonder schuld). Azas ini diterima di Negeri Belanda maupun di Indonesia sejak tahun 1916.

 

*Penulis adalah

  • Sekretaris dan Advokat dan Konsultan Hukum pada Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Cabang DKI Jakarta (PAHAM Jakarta),
  • Sekretaris Bidang Hukum dan Legislasi PP KB PII,
  • Mahasiswa Doktoral SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Daftar Pustaka

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, tahun 2017.

Permohonan Pengujian Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016 (KUHP).

Putusan Nomor: 46/PUU-XIV/2016. Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI, putusan dibacakan tanggal 14 Desember 2017.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, (draft awal).

Soerodibroto, R. Soenarto, (2009). “KUHP dan KUHAP”. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.

Utrecht, E., (1994). “Hukum Pidana I”. Surabaya, Pustaka Tinta Mas.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 16 Juli 2020.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.