Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (2)

Muslimah dalam Wacana Feminis

Bias feminisme Barat yang menghasilkan misrepresentasi sebagaimana disampaikan dalam tulisan sebelumnya (lihat: Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (1)),  menimbulkan reaksi dari beberapa pemikir muslim untuk membangun feminisme dari sudut pandang Islam. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi feminisme Islam. Badran Margot, salah satu sarjana yang banyak membahas feminisme Islam menggambarkan gerakan tersebut sebagai,

 

a feminist discourse and practice that derives its understanding and mandate from the Qur’an, seeking rights and justice within the framework of gender equality for women and men in the totality of their existence. Islamic feminism explicates the idea of gender equality as part and parcel of the Qur’anic notion of equality of all insan (human beings) and calls for the implementation of gender equality in the state, civil institutions, and everyday life...[1]

 

Dari gambaran ini diperoleh kesan bahwa femnisisme Islam mengambil basisnya langsung dari al-Qur’an sebagai alternatif bagi feminisme Barat. Kedudukan feminisme Islam sebagai alternatif  juga bisa dilihat di dalam sikap Fatima Mernissi sebagai salah satu tokoh feminis Islam terhadap feminisme Barat. Ia secara jelas mengecam misrepresentasi feminisme Barat terhadap Islam secara umum dan muslimah secara khusus. Bagi Mernissi, misrepresentasi Barat hanya menambah kompleksnya persoalan perempuan di dunia Islam serta memancing permusuhan dari mereka.[2]

Ironisnya meskipun Mernissi menyuarakan oposisi terhadap misrepresentasi feminisme Barat, el-Guindi menilainnya justru terjebak di dalam ideologi asal misrepresentasi yang dilawannya itu. Dalam persoalan harem misalnya, walaupun memakai sumber-sumber Arab, Mernissi tetap bersandar kepada ideologi Kristen-Eropa ketika menafsirkannya sehingga harem tereduksi menjadi sekedar persoalan gender dan seksualitas[3]

Mernissi bukanlah satu-satunya feminis Muslim yang terjebak di dalam ideologi Barat ketika hendak menafsirkan Islam. Studi yang dilakukan Khalif Muammar terhadap  pemikiran-pemikiran beberapa tokoh feminis Islam menunjukan hal tersebut. Studi itu meliputi beberapa usaha feminis Islam untuk mencari legitimasi kesetaraan gender dengan cara merekonstruksi bangunan syari’ah, meninjau ulang beberapa persolan fikih perempuan, serta reinterpretasi beberapa ayat dan hadis yang dianggap misoginis.

Dari kritik epistemolisnya terhadap wacana feminis Islam tersebut, Khalif Muammar menyimpulkan bahwa lontaran ide-ide mereka sama sekali asing bagi Islam, mereka juga banyak keliru dalam memakai metodologi keilmuan Islam. Hal itu terjadi sebab mereka memang hanya mencari validitas di dalam teks keagamaan bagi pemikiran yang diusung. Sebuah pemikiran yang berangkat dari worldview sekuler Barat.[4] Beberapa feminis Muslim yang betul-betul terbaratkan seperti Nawal el-Sadawi, Irshad Manji, dan Taslima Nasrin bahkan menjadi sangat liar dalam mengkritisi Islam sebagai sebab ketimpangan gender. Kritik mereka telah menjadi varian dari Islamophobia, Muhamadul Hasan menyebutnya gendered Islamophobia. [5] Akibatnya, alih-alih mengatasi masalah yang ada, mereka justru lebih banyak membangkitkan kontroversi di tengah masyarakat Islam.

Akhirnya, sama seperti feminisme Barat, feminisme Islam pun terjebak di dalam mispreresentasi terhadap muslimah sehingga upaya pemberdayaan mereka justru kontraproduktif. Sachiko Murata telah mengingatkan bahwa kritik feminisme terhadap Islam memang berangkat dari suatu pandangan-dunia yang secara radikal asing bagi Islam sehingga alih-alih membangun ia justru berdampak buruk. Kritik tersebut disebarkan dengan semangat proselitisme khas Barat dan diterima oleh sebagian umat Islam yang telah kehilangan sentuhan dengan jagat intelektual dan spritualitas mereka sendiri.[6]

Apalagi kampanye feminisme tidak berhenti pada tataran teoritis saja, dengan mengendarai badan-badan internasional seperti UNDP, teori-teori kesetaraan yang dibangun di atas ideologi mereka diimpor ke seluruh dunia hingga ia menjadi arus utama dalam diskursus tentang perempuan dan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di hampir semua negara di dunia Islam.[7] Maksud dari kampanye besar-besaran tersebut adalah untuk memberdayakan perempuan. Namun prinsip pemberdayaan mereka berasal dari akar ideologi yang  asing bagi umat Islam. Padahal untuk pemberdayaan perempuan, umat seharusnya memulainya dari landasan agama mereka sendiri.

Sebagai bagian dari upaya membangkitkan peradaban Islam, perjuangan Muslimah haruslah didasarkan pada upaya mengkaji kembali khazanah keislaman secara kreatif dengan tidak keluar dari worldview Islam.[8] Agama ini telah memiliki konsepnya sendiri tentang perempuan. Mengadopsi mentah-mentah konsep dari peradaban lain, sebagaimana telah dijelaskan di atas justru menambah persoalan. Abu Sulayman menegaskan bahwa di dalam sejarah, umat Islam tidak pernah bisa maju ketika mereka mengadopsi pemikiran dari peradaban lain sebagai basis perjuangannya.[9]

Salah satu  bentuk perjuangan muslimah saat ini adalah melawan hegemoni  wacana feminisme tentang muslimah yang sarat misrepresentasi. Sebagaimana telah dipaparkan, pengetahuan tentang muslimah yang diproduksi orientalis kolonial dan diwarisi feminisme Barat telah mengaburkan identitas muslimah. Wacana feminis poskolonial yang dibangkitkan perempuan-perempuan dari negara-negara bekas jajahan tidak bisa betul-betul mengakomodir sebab basis mereka umumnya adalah ras atau nasionalitas.[10] Feminisme Islam pun tidak bisa diharapkan sebab mereka juga pada kenyataannya telah terbaratkan. Olehnya, perjuangan muslimah tidak terbatas pada kajian terhadap khazanah keislaman atau peningkatan kualitas hidup mereka. Lebih dari itu, muslimah memiliki kewajiban untuk membersihkan sisa-sisa misrepresentasi kolonialistik yang hingga kini menutupi hakikat perempuan dalam Islam dan kerap berujung pada kesalahpahaman. Jasmin Zine menyebut usaha tersebut “writing ourselves[11], muslimah harus menuliskan tentang diri mereka sendiri untuk mencipta kontra-narasi bagi misrepresentasi feminisme.

Wallahu a’lam.

 

 

[1] Margot Badran. “Islamic Feminism Revisited.” Al-Ahram Weekly On-Line 78.1 (2006): hal 9.

[2] Fatima Mernissi, “Arab Women’s Rights and the Muslim State in the Twenty-first Century ; Reflection on Islam as Religion and State” dalam Mahnaz Afkhami (ed), Faith and Freedom ; Women’s Human Rights in the Muslim World. (New York : Syracuse University Press, 1995), hal 33.

[3] Fedwa el-Guindi, Jilbab….hal 58.

[4] Beberapa gugatan feminis yang dikaji Khalif Muammar adalah persoalan penciptaan Hawa dari tulang rusuk, peran wanita di dalam keluarga, kepemimpinan lelaki dalam keluarga, kepemipinan perempuan, dan kontroversi tentang kelemahan akal wanita. Tokoh-tokoh yang pendapatnya dikaji antara lain Farid Esack, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Ashgar Ali Engginer. Lihat Khalif Muammar, “Wacana Kesetaraan Gender: Islamis Versus Feminisme Islam” Islamia,  3. 5 (2010), hal 40 – 55.

[5] Md Muhammadul Hasan,“Feminism as Islamophobia: A Review of Misogyny Charges against Islam”.” Intellectual Discourse 20.1 (2012), hal  55-78.

[6]Sachiko Murata, The Tao of Islam ; Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung : Mizan, 1999), hal 24 – 25.

[7] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ;Sudut Pandang Baru dalam Relasi Gender, (Bandung : Mizan, 1999), hal 24.

[8] Mohammad Muslih, Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo : CIOS, 2007), hal 30

[9] Abdul Hamid, A. Abusulayman, Crisis in the Muslim Mind, (Herndon : IIIT, 1993), hal 11.

[10] Morny Joy, “Postcolonial and Gendered Reflection: Challenges For Religous Studies” dalam Ursula King dan Tina Beattie, Gender, Religion and Diversity ; Cros-Cultural Perspective, (London dan New York : Continuum, 2005) hal 31.

[11] Jasmin Zine, . “Muslim Women And The Politics Of Representation…. “ hal 17

 

*Penulis merupakan alumni Fak. Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang saat ini sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.